SEKULARISME

SEKULARISME
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata Filsafat Umum)
Dosen pengampu : Dr. H, Djono, M.Ag




 






Erna Erlina (14121110049)

  


Fakultas Tarbiyah
Jurusan PAIAsemester 1

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Jl.Perjuangan By Pass Cirebon Telp. (0231) 480262









 



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini kami beri judul ”SEKULARISME” dengan tujuan untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya”SEKULARISME”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Karena beliau  adalah  salah satu figur umat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.Selanjutnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. H. Djono, M.Ag selaku dosen pengampu  Mata Kuliah Filsafat Umum, yang telah membimbing kami. Dan  kepada semua pihak yang  terlibat dalam  pembuatan  makalah ini hingga selesai.
Kami  mohon ma’af  yang  sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan  makalah  selanjutnya.












Cirebon, 4 Desember 2012







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR   ......................................................................................... i
DAFTAR ISI    ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang   ............................................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C.   Tujuan Masalah ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN   
A.   Pengertian Sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme............................................. 2
B.   George jacub Holyoake (1817-1906) ................................................................ 3
C.  Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme...... ……………………………………... 5         
BAB III  PENUTUP
A.   Kesimpulan  ....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
                                         

















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Walaupun agama kristen pada mulanya lahir di Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini dimungkinkan sejak Kaisar Romawi, Konstantin yang agung (280-337), melegalisasi agama tersebut dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya sehingga merata di benua Eropa sampai sekarang hingga getarannya masih terasa hingga kini. Terutama di abad pertengahan, warna Kristiani menyelimuti kehidupan Barat, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya pada umumnya. Namun warna tersebut sejak akhir abad pertengahan mulai menipis, terus menipis hingga pertengahan abad ini. Warna Kristiani tersebut dapat dikatakan mulai menghilang dan diganti dengan warna lain yang amat kontras, inilah warna sekuler.
Sesuai dengan warna baru tersebut, yang telah melenyapkan warna Kristiani secara bertahap oleh para ahli disebut sekularisme. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu, sekularisasi pernah terkristal dalam bentuk aliran dibidang etika dan filsafat yang disebut sekularisasi, yang pertama kali dirumuskan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906).

B.     Rumusan masalah  
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan Masalah-masalah sebagai berikut :
1.      Apa penngertian Sekuler, Sekularisasi danSekularisme?
2.      Siapa George jacub Holyoake (1817-1906)?
3.      Apa Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme?

C.    Tujuan Masalah
1.      Unruk mengetahui pengertian Sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme.
2.      Untuk mengetahui siapa George jacub Holyoake (1817-1906).
3.      Untuk mengetahui Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme?

                       









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme.
1.      Sekuler
Secara leksikologis, kata secular berasal dari bahasa Inggris yang berarti; yang bersifat duniawi, fana, temporal, yang tidak bersifat spiritual, abadi dan sacral, kehidupan diluar biara dan sebagainya.[1] Sedangkan istilah sekuler yang berasal dari kata latin saeculum mempunyai arti ganda, ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau zaman kini. Jadi kata saeculum berarti masa kini atau zaman kini. Dan masa kini atau zaman kini menunjuk pada peristiwa didunia ini, atau juga berarti peristiwa masa kini Atau boleh dikatakan bahwa makna “sekuler” lebih ditekankan pada waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah.[2]
Konotasi ruang dan waktu (spatio-temporal) dalam konsep sekuler ini secara historis terlahirkan di dalam sejarah Kristen Barat. Di Barat pada Abad Pertengahan, telah terjadi langkah-langkah pemisahan antara hal yang menyangkut masalah agama dan non agama (bidang sekuler). Dalam perkembangannya, pengertian sekuler pada abad ke-19 diartikan bahwa kekuasaan Gereja tidak berhak campur tangan dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Pada waktu itu sudah ada yang menentang sekularisasi, misalnya Robertson dari Brighton, yang pada tahun 1863 mengatakan,”kita mengecap suatu bidang kehidupan sebagai sekuler, dan kemudian agama menjadi hal yang kabur dan tidak riil.[3]
2.      Sekularisasi
Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrowi (akhirat). Sekularisasi, sebagaimana yang telah dikembangkan sejak Abad Pertengahan, menunjukan arah perubahan dan penggantian hal-hal yang bersifat adi-kodrati dan teologis menjadi hal-hal yang bersifat ilmiah, dalam dunia ilmu pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan argumentatif[4]
Selanjutnya sekularisasi menurut Cornelis van Peursen seorang Theolog dari Belanda, didefinisikan sebagai pembebasan manusia”pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya”. Itu berari “terlepasnya dunia dari pengertian-pengerian religius dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci ‘defatalisasi sejarah’, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas apa yang ia perbuat dengannya ; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepas dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia sini dan waktu kini. [5].
 Menurut Surjanto Poepowardojo, pada hakikatnya sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya.[6]Dengan demikian, manusia mempunyai otonomi, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan rasio. Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal yang baru, dan dengan metode-metode ilmiah empiris yang telah berkembang sejak abad ke-18, manusia menjadi mempunyai kreativitas untuk menangkap dan mengungkapkan realitas yang konkret.
Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan politik saja, tetapi juga telah merembes ke aspek kultural, karena proses tersebut menunjukan lenyapnya penentuan simbol-simbol integrasi kultural. [7]Hal ini menunjukan proses historis yang terus menerus yang tidak dapat dibalikkan, dimana masyarakat semakin lama semakin terbebaskan dari nilai-nilai spiritual dan pandangan metafisis yang tertutup. Al-Attas menyebutkan sebagai suatu perkembangan pembebasan dan hasil akhir dari sekularisasi adalah relativisme historis. [8]Oleh karena itu proses sejarah juga sering dikatakan sebagai proses sekularisasi, yang menurut konsep seorang sosiolog Jerman Max Weber, dimaksudkan sebagai pembebasan alam dari noda-noda keagamaan.
3.      Sekularisme
Istilah sekularisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake yang menyatakan bahwa schularism is an ethical system pounded on the principle of natural morality and in independent of reveald religion or supernaturalism. (sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme).
Jika sekularisasi menunjuk kepada suatu proses yang terjadi dalam pikiran orang seorang dalam kehidupan masyarakat dan negara maka sekularisme menunjuk kepada suatu aliran, paham, pandangan hidup, sistem atau sejenisnya yang dianut oleh individu atau masyarakat. H.M.Rasjidi mendefinisikan sekularisme sebagai berikut, Sekularisme adalah nama sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian.
 Dalam kamus Al-Mu’jam Ad-Dauliy Ats-Tsalits Al-Jadid menjelaskan kata ”secularism” sebagai berikut:
“Sebuah orientasi dalam kehidupan atau dalam urusan apapun secara khusus, yang berdiri diatas prinsip bahwa sesungguhnya agama atau istilah-istilah agama itu, wajib untuk tidak intervensi ke dalam pemerintahan. Dengan kata lain, sebuah orientasi yang membuang jauh-jauh makna dari istilah tersebut. Akhirnya, muncul pengertian seperti ini: hanya politik non agamais (Atheis) yang ada di dalam pemerintahan, yaitu sebuah sistem sosial dalam membentuk akhlak, dan sebagai pencetus atas pemikiran wajibnya menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan modern dan dalam lingkup masyarakat sosial tanpa harus memandang agama”.[9]
B.     George Jacub Holyoake (1817-1906 M).
Pendiri sekularisme adalah Holyoake kelahiran Birmingham, Inggris, anak seorang pekerja kasar. Kehidupan ia pada mulanya berpendidikan agama, kehidupan remajanya yang diliputi dan ditimpa oleh situasi social dan poilitik ditempat kelahirannya yang keras, maka sikap Holyoake berubah, dan akhirnya ia menjadi terkenal karena Sekularismenya. Perlu dicatat bahwa pada mulanya Sekularisme ini belum berupa aliran etika dan filsafat, melainkan hanya merupakan gerakan protes sosial dan politik.
Pokok-pokok ajaran sekularisme dapat diperoleh dalam karyanya, seperti: Principles of secularism (1861), Hie Trial of Ttieism (1558), The limits of Atheism (1861), the origin and Nature Of Secularisme (1866), dan lain-lain.[10]


C.    Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme
Berikut ini dijelaskan mengenai beberapa paham/ajaran sekularisme, yaitu:
1. Paham Sekuler tentang Etika
Sebagai suatu sistem etika yang didasarkan atas prinsip-prinsip moralitas alamiah dan bebas dari agama wahyu atau supranatural, pandangan sekularisme harus didasarkan atas kebenaran ilmiah, kebenaran yang bersifat sekuler, tanpa ada kaitannya dengan agama atau metafisika. Sekularisme lahir disaat pertentangan antara ilmu (sains) dan agama sangat tajam (agama – kristen). Ilmu tampil dengan independensinya yang mutlak, sehingga bersifat sekuler. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pengalaman yang telah menghasilkan kemajuan ilmu-ilmu sekuler seperti matematika, fisika dan kimia telah berhasil membawa kemajuan bagi kehidupan manusia. Justeru kebenaran ilmiah itu harus mendasari etika, tingkah laku, dan perikehidupan manusia.
Disini, tampak adanya pengaruh positivisme dan sekularisme. Bahkan kalau dilacak lebih mendalam, sekularisme dibidang etika dan menerapkan kebenaran ilmiah padanya, sudah dikemukakan oleh Voiltaire (1694-1778) seorang filsof Perancis yang pernah mengemukakan bahwa tuntunan hidup kesusilaan tidak bergantung pada pandangan metafisika dan agama, tetapi harus sesuai dengan tuntunan akal dan rasio.
2. Paham sekuler tentang Agama
Agama dalam pandangan hidup sekularisme adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Prinsip sekularisme, dalam hal ini adalah theisme dan atheisme, sama-sama tidak mendapatkan dibuktikan dengan pengalaman. Dengan begitu, ia berada di luar pola pemikiran sekularisme. Theologi memberikan interpretasi tentang dunia yang tidak dikenal, sedangkan sekularisme tidak mau tahu sama sekali tentang dunia seperti ini serta interpretasinya. Namun, telah berkembang suatu paham yang menekankan bahwa karakter-karakter agama itu berbeda. Misalnya karakter Agama Islam berbeda dengan agama lain, penganut agama lain. Menurut paham ini, agama Islam akan mudah menerima netralitas negara terhadap pluralitas agama. Namun, Islam mempunyai karakter tersendiri yang berbeda.Samuel Huntington mendukung pula paham ini. Misalnya, dikatakan bahwa orang Kristen Barat tidak menuntut diberlakukannya hukum kristen dibidang pemerintahan dan ekonomi. Keterlibatan agama hanya sebatas nilai moral dan acara ritual tertentu saja. Namun, konsep netralitas seperti itu akan sulit diterapkan untuk agama Islam.
Sekularisme memandang bahwa simbol-simbol agama harus dihilangkan karena hal ini dapat memicu terjadinya pertentangan atau perpecahan. Perancis,misalnya dengan tegas, mendeklarasikan negaranya sebagai negara sekuler dan berusaha terus menerus untuk menghilangkan simbol-simbol itu, baik untuk umat kristiani maupun umat Islam.
3. Paham sekuler tentang prinsip-prinsip rasio dan kecerdasan
Prinsip-prinsip dan kecerdasan ini sangat dijungjung tinggi sekularisme karena kelanggengan sekularisme sangat bergantung pada prinsip ini, sebagaimana ilmu pengetahuan pun ditopang oleh prinsip ini. Oleh karena itu, sekularisme pun sekaligus meyakini bahwa ilmu pengetahuan mampu mengajarkan aturan-aturan yang berkenaan dengan kebahagiaan. Ilmu itu bisa berprinsip bahwasanya dalam kemapanan situasi dan kondisi kehidupan material, ia mampu menghilangkan kemiskinan dan kebejatan moral.
4. Paham sekuler tentang toleransi
Toleransi dalam pandangan sekularisme merupakan salah satu ciri yang sangat penting. Karena ciri ini, kita bisa melihat bahwa penganut sekularisme tidak segan-segan untuk bekerja sama, baik dengan kaum theis maupun atheis.[11]
5. Sekularisme dan Islam
Sekularisme yang dalam bahasa Arabnya dikenal “al-’Ilmaniyyah”, diambil dari kata ilmu. Konon, secara mafhum, ia bermaksud mengangkat martabat ilmu. Dalam hal ini tentu tidak bertentangan dengan paham Islam yang juga menjadikan ilmu sebagai satu perkara penting manusia. Bahkan, sejak awal, Islam menganjurkan untuk memuliakan ilmu. Tetapi sebenarnya, penerjemahan kata sekular kepada “al-’Ilmaniyyah” hanyalah tipu daya yang berlindung di balik slogan ilmu. Sebenarnya makna tersirat bagi sekular adalah “al-Ladiniyah” yakni tanpa agama atau “al-Laaqidah” yakni tanpa aqidah.
Menurut seorang tokoh pemikir Islam Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam tulisannya tentang sekularisme, pernah menyebutkan bahwa Istilah “al-’Ilmaniyyah” dipilih untuk mengelabui mata umat Islam agar menerimanya kerana jika digunakan istilah “al-Ladiniyyah” atau “al-La’aqidah“, sudah pasti umat Islam akan menolaknya. Sebab itulah kita merasakan betapa jahatnya penterjemahan sekular kepada istilah “al-’Ilmaniyyah” dengan tujuan mengabui mata dan betapa jahatnya golongan ini yang ingin menutup perbuatan mereka tanpa diketahui oleh kebanyakan orang.[12]
Tidak mengherankan jika Paham sekularisme mendapat tempat di Barat. Ini bermula dari pengekangan gereja dan tindakannya menyekat pintu pemikiran dan penemuan sains. Ia bertindak ganas dengan menguasai akal dan hati manusia, dengan arti kata lain segala keputusan adalah di tangan pihak gereja dengan mengambil kesempatan mengeruk keuntungan dari pengikutnya dengan cara yang salah.
Eropa pernah tenggelam dengan darah mangsa-mangsa pihak gereja ketika ratusan bahkan ribuan orang mati di dalam penjara dan di tali gantung. Dengan sebab ini berlakulah pertempuran antara gereja dan sains yang akhirnya tegaklah paham sekularisme yang berarti “memisahkan agama (Kristen) dari negara”. Suasana kacau balau dalam agama Kristen hasil penyelewengan yang terjadi di dalamnya (-ia hasil dari perencanaan yahudi-) memungkinkan tegaknya faham sekularisme di samping agama Kristen yang sudah ada.
Sekularisme disebarkan untuk keluar dari kungkungan gereja yang begitu mengekang pengikutnya. Masyarakat Eropa tertekan dan dizalimi di bawah pemerintahan gereja. Bagi pejuang sekular, mereka menganggap dengan berada di bawah kuasa gereja mereka tidak akan mencapai kemajuan. Sebab itulah mereka memutuskan tali ikatan diri mereka dengan gereja dan menjadi orang yang beragama Kristen hanya pada nama tidak pada pengamalan agama.
Sekularisme adalah suatu kepercayaan atau fahaman yang menganggap bahwa urusan keagamaan atau ketuhanan atau gereja tidak boleh dicampurkan dengan urusan negara, politik dan pemerintahan. Ringkasnya sekularisme adalah satu paham yang memisahkan antara urusan agama dan kehidupan dunia seperti politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Yang jelas menurut paham sekular, soal bernegara, berpolitik, berekonomi dan sebagainya tidak ada kaitan dengan soal agama atau gereja.
Apabila paham sekularisme ingin dipindakan dari Barat ke Timur, golongan ini tidak menyadari (secara sengaja atau tidak) suasana di Timur yang berpegang kuat dengan agama Islam. Sudah pasti ia tidak sekali-kali merelakan pemisahan agama (Islam) dari negara. Keadaan dalam Islam tidak sama dengan apa yang terjadi dalam Kristen di mana sepanjang sejarah Islam tidak ada penzaliman terhadap penganutnya. Begitu juga Islam tidak membenarkan pemisahan agama (Islam) dari negara karena negara dengan fiqh Islam adalah bukan dua perkara yang berasingan. Dalam Islam, agama tidak mungkin tegak dengan sempurna tanpa negara yang akan menguatkan undang-undang agama. Dan tidak mungkin negara tegak dengan baik jika tidak ada agama yang memandunya.
Hasan Al Banna dalam “Majmu’ah Rasa’il” menegaskan bahwa Islam merupakan sistem sempurna yang merangkum urusan kehidupan manusia semuanya. Ia merangkum negara, kerajaan, rakyat, akidah, syariat, akhlak, ekonomi, keadilan, undang-undang, ilmu, jihad, dakwah, kemiliteran dan lain-lain. Pendek kata tidak ada perkara yang dibiarkan melainkan Islam merangkumnya.
Al-Quran sendiri telah menggariskan beberapa dasar umum untuk umat Islam dalam memandu kehidupan mereka. Sebagai contoh dalam bidang akidah (lihat surah Ali Imran ayat 19), bidang ibadat (lihat surah Al Baqarah ayat 43), bidang sosial (lihat surah Al-Baqarah ayat 188), bidang politik (lihat surah Saba’ ayat 15), bidang undang-undang pepemerintahan (lihat surah Al-Nisa’ ayat 59) dan juga bidang-bidang yang lain. Islam menghadapi sekularisme dengan universalitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan: materi dan spritual, individu dan masyarakat, sementara sekularisme tidak menerima universalitas ini, sehingga tidak ayal lagi terjadilah benturan antara keduanya. Agama Nashrani kadang-kadang menerima pendikotonomian kehidupan dan manusia kedalam dua arah, yaitu agama dan negara, atau dalam penjelasan Injil dikatakan seperti ini: “Arah bagi Tuhan dan arah bagi kaisar, maka berikanlah kaisar apa yang menjadi bagiannya, dan berikan pula kepada Tuhan apa yang menjadi bagiannya.”
Sementara Islam, ia memandang kehidupan sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan, dan memandang manusia sebagai sebuah bangunan yang tidak terkotak-kotakan. Islam berpandangan bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan bagi seluruh kehidupan dan bagi segenap umat Islam. Oleh karena itu, Islam tidak menerima kaisar sebagai sekutu Allah. Apa dan siapapun yang ada di langit dan di bumi, semuanya milik Allah. Kaisar tidak memiliki apapun. Semuanya milik Allah. Jadi Kaisar tidak boleh menguasai sebagian dari kehidupan lantas membawanya jauh dari petunjuk Allah.
Sesungguhnya, Islam hanya ingin mengarahkan seluruh kehidupan dengan hukum dan ajaran-ajarannya, serta mewarnainya dengan warnanya, yaitu dengan ajaran Allah. Islam ingin memenuhi kehidupan itu dengan jiwanya yang suci, yaitu jiwa, akhlak dan humanisme yang berpedoman kepada ajaran Tuhan.[13]  Konsep sekularis – bagaimanapun – menghalangi pergerakan umat Islam dengan segenap kemampuannya. Sebab, ia adalah asing bagi umat Islam, masuk kedalam tubuh umat Islam, namun tidak mampu menggerakannya dari dalam.
Contoh nyata mengenai negara Islam yang diperintah oleh sekularisme, bahwa sekularisme telah menerapkan strategi-strategi didalamnya, menghancurkan semua yang menantangnya, sehingga terjadilah lautan darah didalam negeri itu adalah Turki. Ia adalah negara kekhalifahan Islam terakhir, yang oleh Attaturk dipaksakan penerapan sejumlah konsep Barat didalam seluruh aspek kehidupan, baik didalam bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan. Attaturk memaksa negara ini menanggalkan warisannya, tradisinya (adat-istiadat) seperti lepasnya seekor domba betina dari kulitnya, lantas ia menegakan perundang-undangan Atheis, mengisolasi agama dari kehidupan secara menyeluruh, mendirikan – diatas pondasinya – hukum-hukum yang bertentangan dengan Islam sampai dalam urusan keluarga dan hak privasi sekalipun.[14]

Sekularisme di negara-negara Arab dan dunia Islam bisa disebut sebagai contoh, antara lain:
a.       Di Mesir : Khudaiwi Ismail memasukan perundang-undangan Prancis pada tahun 1883 M. Tokoh ini sudah tergila-gila terhadap Barat. Cita-citanya ingin menjadikan Mesir sebagai bagian dari Barat.
b.      India: sampai tahun 1791 M, hukum yang berlaku di negeri ini masih sejalan dengan syari’at Islam. Tetapi setelah didalangi oleh Inggris kemudian berangsur-angsur berubah, melepaskan syari’at Islam. Sehingga pada pertengahan abad ke-19, syari’at Islam telah habis sama sekali di negeri itu.
c.        Al-Jazair : Negara ini menghapuskan hukum Islam setelah dijajah Prancis pada tahun 1830 M.
d.      Tunis : memasukan perundang-undangan Perancis pada tahun 1906 M
e.       Marokko : memasukan perundang-undangan Perancis tahun 1913 M.
f.       Irak dan Syam : Hukum Islam dihapuskan setelah Khalifah Islamiyah Osmaniyah tamat, dan tegaknya kekuasaan Inggris dan Perancis di negeri itu sampai berurat akar.[15]
                     





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebagai cabang dari pemikiran filsafat, sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutama yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.
Sekularisme menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya. Manusia mempunyai otonomi untuk berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan rasio. Dalam perkembangannya selanjutnya sekularisme yang terkristalkan dalam paham filsafat, menjadi paham ideologi politik dan sosial, dimana negara dan kehidupan sosial terlepas dari interpensi agama.
Islam memandang sekularisme sebagai paham yang kontradiktif dengan ajaran Islam. Dalam sekularisme pendiokotomian seluruh aspek kehidupan dengan agama sangat kontras, karena ia meyakini tidak terdapat hubungan yang signifikan diantara keduanya. Sedangkan Islam merupakan sistem sempurna yang merangkum urusan kehidupan manusia semuanya. Ia merangkum negara, kerajaan, rakyat, akidah, syariat, akhlak, ekonomi, keadilan, undang-undang, ilmu, jihad, dakwah, kemiliteran dan lain-lain.






                                            

                                                                                         


Daftar Pustaka
Al-Attas, S.M.A., 1981, Islam dan Sekularisme, diterjemahkan oleh: Karsidjo Djodjosuwarno, Peneribit Pustaka, Bandung.
Al-Qardhawi, Y., 1997, Islam dan Sekularisme, diterjemahkan oleh: Amirullah Kandu, Lc., CV. Pustaka Setia, Bandung.
Hakim Atang abdul, 200. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV Pustaka Setia. 2008.
Ismail Faisal, 1984. Tentang Sekuler, Sekularisme, dalam  Percikan Pemikiran Islam.
Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, 1995, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, diterjemahkan oleh: A. Najiyulloh, Al-Ishlahy Press, Jakarta.
Pardoyo, 1993, Sekularisasi dalam Polemik,Pustaka Utama Grafitti, Jakarta.
Rasjidi, H.M., 1997, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme, Bulan Bintang, Jakarta
Solihin, M., 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, CV. Pustaka Setia, Bandung.









[1] M. Solihin, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik hingga Moderen, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. Hlm.244
[2] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: penerbit pustaka. 1981. Hlm. 19
[3] Faisal Ismail, Tentang Sekuler, Sekularisme, dalam  Percikan Pemikiran Islam. 1984. Hlm, 10
[4] Prodoyo, sekuarisme dalam polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1993. Hlm. 20
[5]Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas. Op. Cit. hlm. 20
[6] Pradoyo. Op.cit. hlm.20
[7] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas. Op. Cit. Hlm. 20
[8] Ibid. hlm 21
[9] Yusuf Al-Qardhawi, Islam dan Sekularisme diterjemahkan dari buku Al-Islam Wal Ilma Niyah Wajhim, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Hlm. 67.
[10] Atang abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV Pustaka Setia. 2008. Hlm. 408
[11] M. solihin. Op.Cit. 247-249
[12]. Yusuf Al-Qardhawi, Op.Cit. 65-66
[13]Ibid. hlm. 126-127
[14] Ibid. hlm. 78
[15]Lembaga Pengkajian dan penelitan WAMI Gerakan keagamaan dan pemikikiran (akar ideologis dan penyebarannya), Jakarta: Al-Ishlahy press. 1995. hlm 284

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Individu

WAKAF, HIBAH, SEDEKAH, DAN HADIAH

Sejarah Peradaban Islam Masa Nabi Muhammad Saw.

makalah pengertian pendidikan

MAKALAH PERKEMBANGAN MASA ANAK-ANAK