SEKULARISME
SEKULARISME
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata
Filsafat Umum)
Dosen pengampu : Dr. H, Djono, M.Ag
Erna Erlina (14121110049)
Fakultas Tarbiyah
Jurusan PAIAsemester 1
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Jl.Perjuangan By Pass Cirebon Telp. (0231)
480262
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan hidayah, taufik, dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan
ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
rencana. Makalah ini kami beri judul ”SEKULARISME” dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimanakah sebenarnya”SEKULARISME”.
Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Karena beliau
adalah salah satu
figur umat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.Selanjutnya kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. H.
Djono, M.Ag selaku dosen pengampu Mata Kuliah Filsafat Umum, yang telah membimbing
kami. Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini hingga
selesai.
Kami mohon ma’af yang sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah selanjutnya.
Cirebon, 4 Desember 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C.
Tujuan Masalah ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sekuler,
Sekularisasi dan Sekularisme............................................. 2
B. George jacub Holyoake (1817-1906) ................................................................ 3
C. Prinsip Dasar dan Etika
Sekularisme...... ……………………………………... 5
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Walaupun agama kristen pada mulanya lahir di Timur, namun warna
Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini
dimungkinkan sejak Kaisar Romawi, Konstantin yang agung (280-337), melegalisasi
agama tersebut dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya sehingga
merata di benua Eropa sampai sekarang hingga getarannya masih terasa hingga
kini. Terutama di abad pertengahan, warna Kristiani menyelimuti kehidupan
Barat, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya pada umumnya. Namun warna
tersebut sejak akhir abad pertengahan mulai menipis, terus menipis hingga
pertengahan abad ini. Warna Kristiani tersebut dapat dikatakan mulai menghilang
dan diganti dengan warna lain yang amat kontras, inilah warna sekuler.
Sesuai dengan warna baru tersebut, yang telah melenyapkan warna
Kristiani secara bertahap oleh para ahli disebut sekularisme. Dalam perjalanan
sejarahnya yang panjang itu, sekularisasi pernah terkristal dalam bentuk aliran
dibidang etika dan filsafat yang disebut sekularisasi, yang pertama kali
dirumuskan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906).
B.
Rumusan masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan Masalah-masalah
sebagai berikut :
1.
Apa penngertian Sekuler, Sekularisasi danSekularisme?
2.
Siapa George jacub Holyoake (1817-1906)?
3.
Apa Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme?
C.
Tujuan Masalah
1.
Unruk mengetahui pengertian Sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme.
2.
Untuk mengetahui siapa George jacub Holyoake (1817-1906).
3.
Untuk mengetahui Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme.
1.
Sekuler
Secara leksikologis, kata secular berasal dari bahasa Inggris yang
berarti; yang bersifat duniawi, fana, temporal, yang tidak bersifat spiritual,
abadi dan sacral, kehidupan diluar biara dan sebagainya.[1] Sedangkan istilah sekuler yang berasal
dari kata latin saeculum mempunyai arti ganda, ruang dan waktu. Ruang menunjuk
pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau
zaman kini. Jadi kata saeculum berarti masa kini atau zaman kini. Dan masa kini
atau zaman kini menunjuk pada peristiwa didunia ini, atau juga berarti
peristiwa masa kini Atau boleh dikatakan bahwa makna “sekuler” lebih ditekankan
pada waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses
sejarah.[2]
Konotasi ruang dan waktu (spatio-temporal) dalam konsep sekuler ini
secara historis terlahirkan di dalam sejarah Kristen Barat. Di Barat pada Abad
Pertengahan, telah terjadi langkah-langkah pemisahan antara hal yang menyangkut
masalah agama dan non agama (bidang sekuler). Dalam perkembangannya, pengertian
sekuler pada abad ke-19 diartikan bahwa kekuasaan Gereja tidak berhak campur
tangan dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Pada waktu itu
sudah ada yang menentang sekularisasi, misalnya Robertson dari Brighton, yang
pada tahun 1863 mengatakan,”kita mengecap suatu bidang kehidupan sebagai
sekuler, dan kemudian agama menjadi hal yang kabur dan tidak riil.[3]
2.
Sekularisasi
Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan
negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan
ukhrowi (akhirat). Sekularisasi, sebagaimana yang telah dikembangkan sejak Abad
Pertengahan, menunjukan arah perubahan dan penggantian hal-hal yang bersifat
adi-kodrati dan teologis menjadi hal-hal yang bersifat ilmiah, dalam dunia ilmu
pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan argumentatif[4]
Selanjutnya sekularisasi menurut Cornelis van Peursen seorang Theolog
dari Belanda, didefinisikan sebagai pembebasan manusia”pertama-tama dari agama
dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya”. Itu berari
“terlepasnya dunia dari pengertian-pengerian religius dan religius-semu,
terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua
mitos supranatural dan lambang-lambang suci ‘defatalisasi sejarah’, penemuan
manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di tangannya,
sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas apa yang ia
perbuat dengannya ; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepas dari
dunia-dunia di atas sana ke arah dunia sini dan waktu kini. [5].
Menurut Surjanto Poepowardojo,
pada hakikatnya sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama
dan ilmu pengetahuan, dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya.[6]Dengan
demikian, manusia mempunyai otonomi, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai
dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan rasio. Atas dasar orientasi ilmiah,
manusia berusaha untuk menemukan hal-hal yang baru, dan dengan metode-metode
ilmiah empiris yang telah berkembang sejak abad ke-18, manusia menjadi
mempunyai kreativitas untuk menangkap dan mengungkapkan realitas yang konkret.
Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan
politik saja, tetapi juga telah merembes ke aspek kultural, karena proses
tersebut menunjukan lenyapnya penentuan simbol-simbol integrasi kultural. [7]Hal ini
menunjukan proses historis yang terus menerus yang tidak dapat dibalikkan,
dimana masyarakat semakin lama semakin terbebaskan dari nilai-nilai spiritual
dan pandangan metafisis yang tertutup. Al-Attas menyebutkan sebagai suatu
perkembangan pembebasan dan hasil akhir dari sekularisasi adalah relativisme
historis. [8]Oleh karena itu proses sejarah juga sering dikatakan sebagai proses
sekularisasi, yang menurut konsep seorang sosiolog Jerman Max Weber,
dimaksudkan sebagai pembebasan alam dari noda-noda keagamaan.
3.
Sekularisme
Istilah sekularisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1846 oleh
George Jacub Holyoake yang menyatakan bahwa schularism is an ethical system
pounded on the principle of natural morality and in independent of reveald
religion or supernaturalism. (sekularisme adalah suatu sistem etik yang
didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau
supernaturalisme).
Jika sekularisasi menunjuk kepada suatu proses yang terjadi dalam
pikiran orang seorang dalam kehidupan masyarakat dan negara maka sekularisme
menunjuk kepada suatu aliran, paham, pandangan hidup, sistem atau sejenisnya
yang dianut oleh individu atau masyarakat. H.M.Rasjidi mendefinisikan
sekularisme sebagai berikut, Sekularisme adalah nama sistem etika plus filsafat
yang bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia
tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian.
Dalam kamus Al-Mu’jam Ad-Dauliy
Ats-Tsalits Al-Jadid menjelaskan kata ”secularism” sebagai berikut:
“Sebuah orientasi dalam kehidupan atau dalam urusan apapun secara
khusus, yang berdiri diatas prinsip bahwa sesungguhnya agama atau
istilah-istilah agama itu, wajib untuk tidak intervensi ke dalam pemerintahan.
Dengan kata lain, sebuah orientasi yang membuang jauh-jauh makna dari istilah
tersebut. Akhirnya, muncul pengertian seperti ini: hanya politik non agamais
(Atheis) yang ada di dalam pemerintahan, yaitu sebuah sistem sosial dalam
membentuk akhlak, dan sebagai pencetus atas pemikiran wajibnya menegakkan nilai-nilai
moral dalam kehidupan modern dan dalam lingkup masyarakat sosial tanpa harus
memandang agama”.[9]
B.
George Jacub Holyoake (1817-1906 M).
Pendiri sekularisme adalah Holyoake kelahiran Birmingham, Inggris, anak
seorang pekerja kasar. Kehidupan ia pada mulanya berpendidikan agama, kehidupan
remajanya yang diliputi dan ditimpa oleh situasi social dan poilitik ditempat
kelahirannya yang keras, maka sikap Holyoake berubah, dan akhirnya ia menjadi
terkenal karena Sekularismenya. Perlu dicatat bahwa pada mulanya Sekularisme
ini belum berupa aliran etika dan filsafat, melainkan hanya merupakan gerakan
protes sosial dan politik.
Pokok-pokok ajaran sekularisme dapat diperoleh dalam karyanya, seperti:
Principles of secularism (1861), Hie Trial of Ttieism (1558), The limits of
Atheism (1861), the origin and Nature Of Secularisme (1866), dan lain-lain.[10]
C.
Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme
Berikut ini
dijelaskan mengenai beberapa paham/ajaran sekularisme, yaitu:
1. Paham Sekuler tentang Etika
Sebagai suatu sistem etika yang didasarkan atas prinsip-prinsip
moralitas alamiah dan bebas dari agama wahyu atau supranatural, pandangan
sekularisme harus didasarkan atas kebenaran ilmiah, kebenaran yang bersifat
sekuler, tanpa ada kaitannya dengan agama atau metafisika. Sekularisme lahir
disaat pertentangan antara ilmu (sains) dan agama sangat tajam (agama –
kristen). Ilmu tampil dengan independensinya yang mutlak, sehingga bersifat
sekuler. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pengalaman yang telah
menghasilkan kemajuan ilmu-ilmu sekuler seperti matematika, fisika dan kimia
telah berhasil membawa kemajuan bagi kehidupan manusia. Justeru kebenaran
ilmiah itu harus mendasari etika, tingkah laku, dan perikehidupan manusia.
Disini, tampak adanya pengaruh positivisme dan sekularisme. Bahkan kalau
dilacak lebih mendalam, sekularisme dibidang etika dan menerapkan kebenaran
ilmiah padanya, sudah dikemukakan oleh Voiltaire (1694-1778) seorang filsof
Perancis yang pernah mengemukakan bahwa tuntunan hidup kesusilaan tidak
bergantung pada pandangan metafisika dan agama, tetapi harus sesuai dengan
tuntunan akal dan rasio.
2. Paham sekuler tentang Agama
Agama dalam pandangan hidup sekularisme adalah sesuatu yang berdiri
sendiri. Prinsip sekularisme, dalam hal ini adalah theisme dan atheisme,
sama-sama tidak mendapatkan dibuktikan dengan pengalaman. Dengan begitu, ia
berada di luar pola pemikiran sekularisme. Theologi memberikan interpretasi
tentang dunia yang tidak dikenal, sedangkan sekularisme tidak mau tahu sama
sekali tentang dunia seperti ini serta interpretasinya. Namun, telah berkembang
suatu paham yang menekankan bahwa karakter-karakter agama itu berbeda. Misalnya
karakter Agama Islam berbeda dengan agama lain, penganut agama lain. Menurut
paham ini, agama Islam akan mudah menerima netralitas negara terhadap
pluralitas agama. Namun, Islam mempunyai karakter tersendiri yang
berbeda.Samuel Huntington mendukung pula paham ini. Misalnya, dikatakan bahwa
orang Kristen Barat tidak menuntut diberlakukannya hukum kristen dibidang
pemerintahan dan ekonomi. Keterlibatan agama hanya sebatas nilai moral dan
acara ritual tertentu saja. Namun, konsep netralitas seperti itu akan sulit diterapkan
untuk agama Islam.
Sekularisme memandang bahwa simbol-simbol agama harus dihilangkan karena
hal ini dapat memicu terjadinya pertentangan atau perpecahan. Perancis,misalnya
dengan tegas, mendeklarasikan negaranya sebagai negara sekuler dan berusaha
terus menerus untuk menghilangkan simbol-simbol itu, baik untuk umat kristiani
maupun umat Islam.
3. Paham sekuler tentang prinsip-prinsip rasio dan kecerdasan
Prinsip-prinsip dan kecerdasan ini sangat dijungjung tinggi sekularisme
karena kelanggengan sekularisme sangat bergantung pada prinsip ini, sebagaimana
ilmu pengetahuan pun ditopang oleh prinsip ini. Oleh karena itu, sekularisme
pun sekaligus meyakini bahwa ilmu pengetahuan mampu mengajarkan aturan-aturan
yang berkenaan dengan kebahagiaan. Ilmu itu bisa berprinsip bahwasanya dalam
kemapanan situasi dan kondisi kehidupan material, ia mampu menghilangkan
kemiskinan dan kebejatan moral.
4. Paham sekuler tentang toleransi
Toleransi dalam pandangan sekularisme merupakan salah satu ciri yang
sangat penting. Karena ciri ini, kita bisa melihat bahwa penganut sekularisme
tidak segan-segan untuk bekerja sama, baik dengan kaum theis maupun atheis.[11]
5. Sekularisme dan Islam
Sekularisme yang dalam bahasa Arabnya dikenal “al-’Ilmaniyyah”, diambil
dari kata ilmu. Konon, secara mafhum, ia bermaksud mengangkat martabat ilmu.
Dalam hal ini tentu tidak bertentangan dengan paham Islam yang juga menjadikan
ilmu sebagai satu perkara penting manusia. Bahkan, sejak awal, Islam
menganjurkan untuk memuliakan ilmu. Tetapi sebenarnya, penerjemahan kata
sekular kepada “al-’Ilmaniyyah” hanyalah tipu daya yang berlindung di balik
slogan ilmu. Sebenarnya makna tersirat bagi sekular adalah “al-Ladiniyah” yakni
tanpa agama atau “al-Laaqidah” yakni tanpa aqidah.
Menurut seorang tokoh pemikir Islam Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam
tulisannya tentang sekularisme, pernah menyebutkan bahwa Istilah
“al-’Ilmaniyyah” dipilih untuk mengelabui mata umat Islam agar menerimanya
kerana jika digunakan istilah “al-Ladiniyyah” atau “al-La’aqidah“, sudah pasti
umat Islam akan menolaknya. Sebab itulah kita merasakan betapa jahatnya
penterjemahan sekular kepada istilah “al-’Ilmaniyyah” dengan tujuan mengabui
mata dan betapa jahatnya golongan ini yang ingin menutup perbuatan mereka tanpa
diketahui oleh kebanyakan orang.[12]
Tidak mengherankan jika Paham sekularisme mendapat tempat di Barat. Ini
bermula dari pengekangan gereja dan tindakannya menyekat pintu pemikiran dan
penemuan sains. Ia bertindak ganas dengan menguasai akal dan hati manusia,
dengan arti kata lain segala keputusan adalah di tangan pihak gereja dengan
mengambil kesempatan mengeruk keuntungan dari pengikutnya dengan cara yang
salah.
Eropa pernah tenggelam dengan darah mangsa-mangsa pihak gereja ketika
ratusan bahkan ribuan orang mati di dalam penjara dan di tali gantung. Dengan
sebab ini berlakulah pertempuran antara gereja dan sains yang akhirnya tegaklah
paham sekularisme yang berarti “memisahkan agama (Kristen) dari negara”.
Suasana kacau balau dalam agama Kristen hasil penyelewengan yang terjadi di
dalamnya (-ia hasil dari perencanaan yahudi-) memungkinkan tegaknya faham
sekularisme di samping agama Kristen yang sudah ada.
Sekularisme disebarkan untuk keluar dari kungkungan gereja yang begitu
mengekang pengikutnya. Masyarakat Eropa tertekan dan dizalimi di bawah
pemerintahan gereja. Bagi pejuang sekular, mereka menganggap dengan berada di
bawah kuasa gereja mereka tidak akan mencapai kemajuan. Sebab itulah mereka
memutuskan tali ikatan diri mereka dengan gereja dan menjadi orang yang beragama
Kristen hanya pada nama tidak pada pengamalan agama.
Sekularisme adalah suatu kepercayaan atau fahaman yang menganggap bahwa
urusan keagamaan atau ketuhanan atau gereja tidak boleh dicampurkan dengan
urusan negara, politik dan pemerintahan. Ringkasnya sekularisme adalah satu
paham yang memisahkan antara urusan agama dan kehidupan dunia seperti politik,
pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Yang jelas menurut paham
sekular, soal bernegara, berpolitik, berekonomi dan sebagainya tidak ada kaitan
dengan soal agama atau gereja.
Apabila paham sekularisme ingin dipindakan dari Barat ke Timur, golongan
ini tidak menyadari (secara sengaja atau tidak) suasana di Timur yang berpegang
kuat dengan agama Islam. Sudah pasti ia tidak sekali-kali merelakan pemisahan
agama (Islam) dari negara. Keadaan dalam Islam tidak sama dengan apa yang
terjadi dalam Kristen di mana sepanjang sejarah Islam tidak ada penzaliman
terhadap penganutnya. Begitu juga Islam tidak membenarkan pemisahan agama
(Islam) dari negara karena negara dengan fiqh Islam adalah bukan dua perkara
yang berasingan. Dalam Islam, agama tidak mungkin tegak dengan sempurna tanpa
negara yang akan menguatkan undang-undang agama. Dan tidak mungkin negara tegak
dengan baik jika tidak ada agama yang memandunya.
Hasan Al Banna dalam “Majmu’ah Rasa’il” menegaskan bahwa Islam merupakan
sistem sempurna yang merangkum urusan kehidupan manusia semuanya. Ia merangkum
negara, kerajaan, rakyat, akidah, syariat, akhlak, ekonomi, keadilan,
undang-undang, ilmu, jihad, dakwah, kemiliteran dan lain-lain. Pendek kata
tidak ada perkara yang dibiarkan melainkan Islam merangkumnya.
Al-Quran sendiri telah menggariskan beberapa dasar umum untuk umat Islam
dalam memandu kehidupan mereka. Sebagai contoh dalam bidang akidah (lihat surah
Ali Imran ayat 19), bidang ibadat (lihat surah Al Baqarah ayat 43), bidang
sosial (lihat surah Al-Baqarah ayat 188), bidang politik (lihat surah Saba’
ayat 15), bidang undang-undang pepemerintahan (lihat surah Al-Nisa’ ayat 59)
dan juga bidang-bidang yang lain. Islam menghadapi sekularisme dengan
universalitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan: materi dan spritual,
individu dan masyarakat, sementara sekularisme tidak menerima universalitas
ini, sehingga tidak ayal lagi terjadilah benturan antara keduanya. Agama
Nashrani kadang-kadang menerima pendikotonomian kehidupan dan manusia kedalam
dua arah, yaitu agama dan negara, atau dalam penjelasan Injil dikatakan seperti
ini: “Arah bagi Tuhan dan arah bagi kaisar, maka berikanlah kaisar apa yang
menjadi bagiannya, dan berikan pula kepada Tuhan apa yang menjadi bagiannya.”
Sementara Islam, ia memandang kehidupan sebagai sebuah kesatuan yang
tidak terpisah-pisahkan, dan memandang manusia sebagai sebuah bangunan yang
tidak terkotak-kotakan. Islam berpandangan bahwa sesungguhnya Allah adalah
Tuhan bagi seluruh kehidupan dan bagi segenap umat Islam. Oleh karena itu,
Islam tidak menerima kaisar sebagai sekutu Allah. Apa dan siapapun yang ada di
langit dan di bumi, semuanya milik Allah. Kaisar tidak memiliki apapun.
Semuanya milik Allah. Jadi Kaisar tidak boleh menguasai sebagian dari kehidupan
lantas membawanya jauh dari petunjuk Allah.
Sesungguhnya, Islam hanya ingin mengarahkan seluruh kehidupan dengan
hukum dan ajaran-ajarannya, serta mewarnainya dengan warnanya, yaitu dengan
ajaran Allah. Islam ingin memenuhi kehidupan itu dengan jiwanya yang suci,
yaitu jiwa, akhlak dan humanisme yang berpedoman kepada ajaran Tuhan.[13] Konsep sekularis – bagaimanapun
– menghalangi pergerakan umat Islam dengan segenap kemampuannya. Sebab, ia
adalah asing bagi umat Islam, masuk kedalam tubuh umat Islam, namun tidak mampu
menggerakannya dari dalam.
Contoh nyata mengenai negara Islam yang diperintah oleh sekularisme,
bahwa sekularisme telah menerapkan strategi-strategi didalamnya, menghancurkan
semua yang menantangnya, sehingga terjadilah lautan darah didalam negeri itu
adalah Turki. Ia adalah negara kekhalifahan Islam terakhir, yang oleh Attaturk
dipaksakan penerapan sejumlah konsep Barat didalam seluruh aspek kehidupan,
baik didalam bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan. Attaturk
memaksa negara ini menanggalkan warisannya, tradisinya (adat-istiadat) seperti
lepasnya seekor domba betina dari kulitnya, lantas ia menegakan
perundang-undangan Atheis, mengisolasi agama dari kehidupan secara menyeluruh,
mendirikan – diatas pondasinya – hukum-hukum yang bertentangan dengan Islam
sampai dalam urusan keluarga dan hak privasi sekalipun.[14]
Sekularisme di negara-negara Arab dan dunia Islam bisa disebut sebagai
contoh, antara lain:
a.
Di Mesir : Khudaiwi Ismail memasukan perundang-undangan Prancis pada
tahun 1883 M. Tokoh ini sudah tergila-gila terhadap Barat. Cita-citanya ingin
menjadikan Mesir sebagai bagian dari Barat.
b.
India: sampai tahun 1791 M, hukum yang berlaku di negeri ini masih
sejalan dengan syari’at Islam. Tetapi setelah didalangi oleh Inggris kemudian
berangsur-angsur berubah, melepaskan syari’at Islam. Sehingga pada pertengahan
abad ke-19, syari’at Islam telah habis sama sekali di negeri itu.
c.
Al-Jazair : Negara ini menghapuskan
hukum Islam setelah dijajah Prancis pada tahun 1830 M.
d.
Tunis : memasukan perundang-undangan Perancis pada tahun 1906 M
e.
Marokko : memasukan perundang-undangan Perancis tahun 1913 M.
f.
Irak dan Syam : Hukum Islam dihapuskan setelah Khalifah Islamiyah
Osmaniyah tamat, dan tegaknya kekuasaan Inggris dan Perancis di negeri itu
sampai berurat akar.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai cabang dari pemikiran filsafat, sekulerisme dalam penggunaan
masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa
sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme
juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutama
yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan
fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.
Sekularisme menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu
pengetahuan dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya. Manusia
mempunyai otonomi untuk berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki
berdasarkan rasio. Dalam perkembangannya selanjutnya sekularisme yang
terkristalkan dalam paham filsafat, menjadi paham ideologi politik dan sosial,
dimana negara dan kehidupan sosial terlepas dari interpensi agama.
Islam memandang sekularisme sebagai paham yang kontradiktif dengan
ajaran Islam. Dalam sekularisme pendiokotomian seluruh aspek kehidupan dengan
agama sangat kontras, karena ia meyakini tidak terdapat hubungan yang
signifikan diantara keduanya. Sedangkan Islam merupakan sistem sempurna yang
merangkum urusan kehidupan manusia semuanya. Ia merangkum negara, kerajaan,
rakyat, akidah, syariat, akhlak, ekonomi, keadilan, undang-undang, ilmu, jihad,
dakwah, kemiliteran dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S.M.A., 1981, Islam dan Sekularisme, diterjemahkan oleh:
Karsidjo Djodjosuwarno, Peneribit Pustaka, Bandung.
Al-Qardhawi, Y., 1997, Islam dan Sekularisme, diterjemahkan oleh:
Amirullah Kandu, Lc., CV. Pustaka Setia, Bandung.
Hakim Atang abdul, 200. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi,
Bandung: CV Pustaka Setia. 2008.
Ismail Faisal, 1984. Tentang Sekuler, Sekularisme, dalam Percikan Pemikiran Islam.
Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, 1995, Gerakan Keagamaan dan
Pemikiran, diterjemahkan oleh: A. Najiyulloh, Al-Ishlahy Press, Jakarta.
Pardoyo, 1993, Sekularisasi dalam Polemik,Pustaka Utama Grafitti,
Jakarta.
Rasjidi, H.M., 1997, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang
Sekularisme, Bulan Bintang, Jakarta
Solihin, M., 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga
Modern, CV. Pustaka Setia, Bandung.
[1] M.
Solihin, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik hingga Moderen,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. Hlm.244
[2]
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung:
penerbit pustaka. 1981. Hlm. 19
[3]
Faisal Ismail, Tentang Sekuler, Sekularisme, dalam Percikan Pemikiran Islam. 1984. Hlm, 10
[4]
Prodoyo, sekuarisme dalam polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1993.
Hlm. 20
[5]Syed
Muhammad Al-Naquib Al-Attas. Op. Cit. hlm. 20
[6]
Pradoyo. Op.cit. hlm.20
[7]
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas. Op. Cit. Hlm. 20
[8] Ibid.
hlm 21
[9]
Yusuf Al-Qardhawi, Islam dan Sekularisme diterjemahkan dari buku Al-Islam
Wal Ilma Niyah Wajhim, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Hlm. 67.
[10]
Atang abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV
Pustaka Setia. 2008. Hlm. 408
[11]
M. solihin. Op.Cit. 247-249
[12].
Yusuf Al-Qardhawi, Op.Cit. 65-66
[13]Ibid.
hlm. 126-127
[14] Ibid. hlm. 78
[15]Lembaga
Pengkajian dan penelitan WAMI Gerakan keagamaan dan pemikikiran (akar ideologis
dan penyebarannya), Jakarta: Al-Ishlahy press. 1995. hlm 284
Komentar
Posting Komentar