FILSAFAT KONTEMPORER (PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME, FENOMENOLOGI)
FILSAFAT KONTEMPORER
(PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME, FENOMENOLOGI)
Makalah
ini diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah :FilsafatUmum
Dosen
Pengampu: Dr. Anda Juanda, M.Pd
Oleh:
Erna Erlina
Khumaeroh
SitiLabibah
SholehNugraha
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
2015 M/ 1436 H.
2015 M/ 1436 H.
Daftar Isi.............................................................................. i
Kata Pengantar...................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................
iv
A.
Latar Belakang..........................................................
iv
B.
Rumusan Masalah.....................................................
iv
C.
Tujuan Masalah.........................................................
iv
BAB II
Filsafat Kontempoer............................................................
1
A.
Pragmatisme ............................................................. 1
1. Riwayat
hidup fiolosof.......................................
2
2. Ajaran
dan karya kefilsafatannya....................... 2
3. Sumbangan
filsafat terhadap ilmu pengetahuan masa kini..8
B.
Eksistensialisme........................................................
10
1. Riwayat
hidup filosof.........................................
11
2. Ajaran
dan karya kefilsafatannya....................... 11
3. Sumbangan
filsafat terhadap ilmu pengetahuan masa kini........................................................................... 29
C.
Fenomologi...............................................................
30
1. Riwayat
hidup filosof.........................................
31
2. Ajaran
dan karya kefilsafatannya....................... 31
3.
Sumbangan filsafat terhadap ilmu pengetahuan masa
kini............................................................................
44
BAB III
PENUTUP............................................................................
46
Kesimpulan...................................................................... 46
Daftar Pustaka.....................................................................
v
Kata Pengantar
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kemudahan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Filsafat Kontemporer” untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Filsafat Umum.
Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Dr. Anda Juanda,
M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Umum yang telah memberikan
bimbingan dan arahan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. dan tak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman dan pihak-pihak lain yang turut
serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
terdapat kekurangan. Kami mengharapkan kepada teman-teman untuk bersedia
memberikan kritik dan sarannya menyangkut pembuatan makalah ini, sebagai bahan
pertimbangan untuk membuat makalah selanjutnya. Namun demikian, kami sudah
berusaha menyajikan makalah ini dengan sebaik mungkin. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk pembaca, peminat keilmuan dan calon penulis di masa mendatang.
Cirebon, 7 Maret 2015
BAB
II
FILSAFAT
KONTEMPORER
I. PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang
berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar yang dibuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara
akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima
segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman
pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai benar dan dasar tindakan
asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian patokan
pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis” ,(Tafsir,2013:189).
Selanjutnya Tafsir,( 2013:190), menjelaskan
kata pragmatisme sering sekali di ucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini
biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, rencana ini kurang
pragmatis, maka maksudnya adalah rencana ini kurang praktis. Pengertian seperti
itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tapi belum
menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme. Pragmatisme
mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof
Amerika yang pertama kali menggunakan Pragmatisme sebagai Filsafat, tetapi
pengertian Pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles,
Berceley, dan Hume.
A. Tokoh-tokoh Filosof dan Ajarannya
1. William James (1842-1910 M)
a. Riwayat Hidup
Filosof
James lahir di New York Citty
pada tahun 1842 M, dan merupakan putra dari Hendry James, Sr, seorang yang
terkenal, berkebudayan tinggi, dan pemikir yang kreatif. Ayahnya merupakan
kepala rumah tangga yang menekankan kemajuan intelektual. Pendidikan formalnya
mula-mula tidak teratur lalu James mendapat tutor kebangsaan Inggris, Prancis,
Swis, Jerman, dan Amerika. Akhirnya James memasuki Harvard Medical School pada
tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869 akan tetapi, James kurang
tertarik pada praktik pengobatan, James lebih menyenangi alat-alat tubuh. Oleh
karena itu, James kemudian mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvad. Tahun
1875 perhatiannya leb ihtertarik pada sikologidan fungsi pikiran manusia. Pada
waktu itu, james menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver
Wendel Holmes, Jr, dan lain-lain tokoh dalam Metaphysycal Club untuk berdiskusi
dalam masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metode ilmiah agama dan
evolusi. Di sinilah, james mula-mula mendapat pengaruh Peirce dalam metode
Pragmatisme, (Hakim,2008: 319).
b. Ajaran dan Karya Kefilsafatan William James
Di
dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman
pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal
dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan
diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah
sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya
sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu
secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas
cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang
kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian
hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain, (Syadali,2004:69).
Selanjutnya
menurut Syadali,(2004:69).
Karya-karya James antara lain, The
Principles of Psychology (1890), The
Will to Believe (1897), The Varietes
of Religious Experience (1902) dan Pragmatism
(1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang
mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap
benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa
yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena
itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya,
dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus
yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Nilai pengalaman
dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung
keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan
itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta
kemungkinan-kemungkinan hidup.
c. Sumbangan
William James
Teori James akan insting
sangatlah bersifat individualis pada pelaksanaannya. Mengesampingkan
pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya
pada “Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan kepercayaannya akan tujuan
dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan kelompok,
dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna. Singkatnya, James menegaskan,
dasar dari semua pendidikan adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal
oleh anak-anak, dan tujuan pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan
sebagai bagian dari diri untuk menjadikan pribadi yang lebih baik.
Sumbangan James yang paling berpengaruh
terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan kebiasaan. James
mengtakan: ` “Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah
untuk membuat ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk
menemukan dan mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup.
Untuk itu kita harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri
dari jalan yang memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari
penyakit. Semakin banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat
kita lakukan dengan terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang
dapat digunakan untuk hal yang penting lainnya”, (Anonim. (2010).
2. John Dewey (1859-1952)
a. Riwayat Hidup John Dewey
Dewey
lahir di Baltimore dan kemudian menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan
kemudian juga di bidang pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di
Universitas Columbia (1904-1929).
Dewey adalah seorang yang
Pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia
serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi, (Juhaya,
2005:173).
b. Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Dewey
adalah seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah
Instrumentalis. Menurutnya, tujuan filsafat adalah untuk mengatur
kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk didunia dan sekarang.
Tegasnya, tugas fiilsafat yang utama ialah memberikan garis-garis pengarahan
bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh
tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat
harus berpijak pada pengalaman (experience) , dan menyelidiki serta
mengolah pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan demikian, filsafat akan
dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.
Instrumentalis
adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan
tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan
dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalamn yang
berdasarkan konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Sehubungan
hal diatas, menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau
terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang
tertentu. Oleh karena itu, penyelidakan dengan penilainnya adalah alat
(instrumental). jadi yang di maksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha
untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, (Juhaya,2005:174).
Menurut
Dewey, (Juhaya,2005:175).
Kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya.
Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek
yang kita namakan instrumentalisme. Pertama kata “temporalisme” yang
berarti bahwa ada kemajuan gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata “futurisme”,
mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak hari kemarin. Ketiga, “milionarisme”,
berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Sikap Dewey
dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meniliti tiga aspek dari yang kita
namakan instrumentalisme.
Karya-karya John Dewey
Karya- karya John Dewey banyak
mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari
buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology
yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines
of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894,
terbit lagi The Study Of Etics dan lain- lain.
Sebagai
pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya, (Louis,
1987: 133).
Pertama,
kata temporalisme yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.Kedua,
kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari
kemarin.Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik
dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh wiliam James.
c. Sumbangan
John Dewey
Kontribusi Dewey bagi
perkembangan kebudayaan Amerika yang paling bessar adalah formulasinya tentang filsafat. Baginya, filsafat harus
terarah pada masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk
diklarifikasikan dengan masalah filsafat politik dan ekonomi. Dalam
bahasa lain, tradisi epistemologi dan problem metafisika juga patut
diperhitungkan. Semuanya berpengaruh pada atau membentuk konsep filsafat
sosial.
Berkaitan dengan semuanya, John
Dewey percaya bahwa filsafat membawa pengaruh pada perkembangan pendidikan.
Sebagai akibatnya pendidikan telah memberikan pertimbangan argumen.
Liberalisme Dewey telah mempengaruhi bidang-bidang seperti religius, politik
dan estetika. Hal ini juga bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakili
potensi-potensi yang ada pada budaya Amerika, (Anonim. (2010).
Dewey
juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat
pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan
pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di
Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sistem pendidikan
tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya
digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Dewey
secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya
peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Jadi
menurut Dewey pendidikan harus bersifat
partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada
keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif
menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan
hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru, (Muis,
2004:3).
B. Sumbangan Filsafat Pragmatisme Terhadap Ilmu
Pengetahuan Masa Kini
Teori James akan insting
sangatlah bersifat individualis pada pelaksanaannya. Mengesampingkan
pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya
pada “Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan kepercayaannya akan tujuan
dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan kelompok,
dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna. Singkatnya, James menegaskan,
dasar dari semua pendidikan adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal
oleh anak-anak, dan tujuan pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan
sebagai bagian dari diri untuk menjadikan pribadi yang lebih baik.
Sumbangan James yang paling berpengaruh
terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan kebiasaan. James
mengtakan: ` “Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah
untuk membuat ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk
menemukan dan mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup.
Untuk itu kita harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri
dari jalan yang memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari
penyakit. Semakin banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat
kita lakukan dengan terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang
dapat digunakan untuk hal yang penting lainnya”, (Anonim. (2010).
Kontribusi Dewey bagi
perkembangan kebudayaan Amerika yang paling bessar adalah formulasinya tentang filsafat. Baginya, filsafat harus
terarah pada masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk
diklarifikasikan dengan masalah filsafat politik dan ekonomi. Dalam
bahasa lain, tradisi epistemologi dan problem metafisika juga patut
diperhitungkan. Semuanya berpengaruh pada atau membentuk konsep filsafat
sosial.
Berkaitan dengan semuanya, John
Dewey percaya bahwa filsafat membawa pengaruh pada perkembangan pendidikan.
Sebagai akibatnya pendidikan telah memberikan pertimbangan argumen.
Liberalisme Dewey telah mempengaruhi bidang-bidang seperti religius, politik
dan estetika. Hal ini juga bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakili
potensi-potensi yang ada pada budaya Amerika, (Anonim. (2010).
Dewey
juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat
pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan
pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di
Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sistem pendidikan
tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya
digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Dewey
secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya
peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Jadi
menurut Dewey pendidikan harus bersifat
partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada
keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif
menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan
hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru, (Muis,
2004:3).
II. EKSISTENSIALISME
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang
berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang
berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang
dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai “aku” atau pribadi. Pikiran semacam ini
dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di
sana, sein artinya berada), (Tafsir, 2009:218).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa
cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam
jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi
dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam
keadaan membelum, ia selalu sedang ini atau sedang itu,(Tafsir, 1992:191).
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat
eksistensialisme ini, perlu dibedakan dengan filsafat eksistensi, menurut
Tafsir (dalam Hasan, 1974:7)
menjelaskan bahwa Filsafat
eksistensi yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia
berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan tetapi cara beradanya tidaklah sama
antar keduanya. Manusia berada di dalam dunia, ia mengalami beradanya di dunia
itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai
arti. Adapun artinya manusia sebagai
subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang
disadarinya tersebut disebut dengan obyek.
Hasan,
(1974:7) menyebutkan Ciri-ciri aliran eksistensialisme, meliputi:
1.
Orang yang
dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya;
2.
Orang yang
berhubungan dengan dunia yang ada;
3.
Manusia
merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badan;
4.
Orang
berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.
A.
Tokoh-tokoh Filosof dan Ajarannya
1. Soren
Aabye Kierkegaard (1813-1855)
a. Riwayat
Hidup Soren Aabye Kierkegaard
Soren
Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf pada abad ke-19. Kierkegaard lahir pada
tanggal 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark dan meninggal dunia tanggal 11
November 1855 saat berumur 42 tahun. saat ini kierkegaard dianggap
sebagai bapak filsuf eksistensialisme.
Kierkegaard lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun.
Kierkegaard mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Kierkegaard
menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam
kurun waktu ini Kierkegaard apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan
aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu
pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran, (Dagun 1990:47).
b. Ajaran dan Karya Kefilsafatan Soren
Aabye Kierkegaard sebagai berikut:
1)
Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi
penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan
analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan,
keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918,
terutama di Jerman. Kierkegaard mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan
dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber, (Dagun 1990:49).
Alur pemikiran Kierkegaard
mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani?
Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, Kierkegaard
memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Kierkegaard mengharapkan agar
kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi
agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu.
Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel
akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan
makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan
jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya,
yang akhirnya Kierkegaard memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa
artinya menjadi seorang kristiani, (Tafsir,
2013: 222).
Selanjutnya Tafsir, (2013:222). Menjelaskan bahwa Kierkegaard bertolak
belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel
meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena Hegel mengutamakan idea yang
sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu
"aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
2) Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya
bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang
terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi
manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu
bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu
yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu
memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada
manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya.
Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi
berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya.
Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani
berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya, (Dagun 1990:50-51).
Kierkegaard membedakan tiga bentuk
eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.Eksistensi estetis menyangkut
kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu
fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini
eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan
kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran
norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati
fasilitas dunia, maka Kierkegaard juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk
keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja
tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum.
Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui
jalur perkawinan (etis).
Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi
membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari
manusia. Kierkegaard bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang
menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia
ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religious, (Hadiwijono,
1980: 125).
3) Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan
dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak
terjembatani. Kierkegaard menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala
ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti
ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini,
seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam
kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku
ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang
tidak lagi masuk akal,(Dagun 1990:52).
Selanjutnya Kierkegaard mengatakan
bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang
tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang
ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah
segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau
memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak
tetapi bisa juga salah secara mutlak, (Dagun
1990:94).
Karya –karya Soren Kierkegaard
Banyak dari karya-karya Kierkegaard
membahas masalah-masalah agama misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen,
etika dan teologi Kristen,dan emosi serta perasaan individu
ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. karya-karya
Kierkegaard diantaranya:
1)
Either/Or
(Enten/Eller) – 1843
Buku ini
terdiri dari dua bagian yang mempertentangkan pandangan hidup yang estetis
dengan yang etis. Karya yang panjang ini menampilkan catatan-catatan pribadi,
esai-esai dan percobaan-percobaan psikologis untuk menggoda ahli estetika serta
serangkaian surat yang ditulis seorang hakim kepada ahli estetika yang
menyanjung sisi positif pernikahan dan kehidupan etis. Struktur dialektis karya
ini tidak memberikan penyelesaian, atau "sintesis" dalam konsep
Hegelian, untuk dua pandangan hidup yang bertentangan. Karya ini berfungsi baik
sebagai kritik maupun parodi terhadap filsafat Hegelian.
2)
Fear
and Trembling (Frygt og Baeven) – 1844
Mengambil
contoh pegorbanan Ishak oleh Abraham untuk menyelidiki penundaan etika
teleologi (ajaran atau kepercayaan bahwa segala tindakan disebabkan karena
adanya tujuan yang ingin dicapai). Hal ini merupakan kebutuhan akan ketaatan
mutlak terhadap perintah Allah meskipun perintah itu tidak masuk akal atau
tidak bermoral.
3)
Philosophical
Fragments (Philosophiske Smuler) - 1844
Melalui
karya ini, Kierkegaard memerinci elemen subjektif yang diperlukan dalam
mendapatkan pengetahuan dengan menelusuri doktrin inkarnasi dan apakah
kebahagiaan abadi dapat didasarkan pada peristiwa sejarah.
4)
Concluding
Unscientific Postscript (Afsluttende Uvidenskabelig Efterskrift) – 1845
Sambungan
Philosophical Fragments yang berpendapat bahwa semua kebenaran harus secara
subjektif cocok dan tidak ada jaminan adanya pengetahuan objektif. Kierkegaard
mengangkat Kristus, tokoh yang penuh paradoks, yang adalah manusia dan Allah.
Kierkegaard menekankan bahwa hal ini tidak dapat dipahami secara logis
(sebagaimana dalam sintesa Hegel). Seseorang hanya bisa memiliki sebuah
komitmen yang subjektif yang sungguh-sungguh terhadap kepercayaan ini atau
kepercayaan lain.
5)
Works
Of Love (Kjerlighedens Gjerninger) – 1846
Karya ini berisi Sebuah esei yang meneliti
perintah "Kasihilah sesamamu seperti kau mengasihi dirimu sendiri'. Karya
itu menekankan kualitas cinta yang tak terlukiskan, meneliti siapakah 'sesama'
dan bagaimana cinta sejati (tidak egois) hanya mungkin didapat jika kita
mengenal Tuhan dan menjadi wujud alami iman.
6)
Practice
in Christianity (Indøvelse I Christendom) -
1850
Karya
ini merupakan serangan yang murni dilancarkan Kierkegaard, ditujukan kepada
gereja mapan yang mencoba meminimalisir serangan dalam rangka melayani dunia.
Melalui karya ini, Kierkegaard hendak memperkenalkan kembali kekristenan PB
kepada dunia Kristen.
7)
The
Changelessness of God: A Discourse (Guds Uforanderlighed. En Tale) –
1855
Karya
yang didasarkan pada khotbah tentang Yakobus 1:17 ini memuji ketetapan Tuhan
dan mendorong pembaca untuk mengikut Dia. Tapi pembaca juga diingatkan untuk
berhati-hati dalam bertindak karena mereka akan diadili oleh Tuhan dengan
ketetapan tak tergoyahkan yang sama,
(Anonim. (2015).
c.
Sumbangan Soren
Aabye Kierkegaard
Kierkegaard melihat manusia sebagai
subjek yang bergelut dan bertindak sebagai pelaku dalam hidup konkrit. Dia
ingin agar subjek menampilkan diri apa adanya – menyelaraskan kehidupan batin
dengan kehidupan lahiriah (tampilan luar). Tak boleh ada kepalsuan dan
kemunafikan dalam hidup. Pandangan ini sungguh pas dan mengena
dengan konteks kita saat ini, khususnya di Indonesia – fenomena calon
legislatif (caleg). Banyak caleg yang mengumbar janji muluk kepada rakyat,
bahwa mereka akan memperhatikan kesejahteraan rakyat dan sungguh mewakili suara
rakyat (tampilan lahiriah). Namun, sebenarnya dalam batin mereka hanya
menginginkan pemuasan akan kebutuhan pribadi mereka, bukan kebutuhan atau
kepentiangan rakyat. Di sini, pandangan Kierkegaard menjadi “cambuk“ bagi
mereka agar bisa menampilkan kehidupan secara jujur – tidak palsu, tidak
munafik.
Kierkegaard
juga ingin agar manusia menampilkan “diri otentik“ dengan keluar dari kerumunan
atau massa. Dalam kerumunan orang tidak menampilkan individualitasnya, tetapi
terlarut dalam arus massa dan ikut akut arus. Pandangan ini dapat diterapkan
dalam kehidupan agama Katolik dewasa ini. Banyak orang yang masuk Katolik atau
tetap mengaku diri Katolik karena ikut arus saja (khususnya di daerah yang
mayoritas beragama Katolik), bukan lahir dari penghayatan pribadi. Orang bersembunyi
di balik ”label“ agamanya tanpa tahu dan menghayati dengan sungguh bagaimana
seharusnya beriman dan beragama. Di sini tidak hendak mengatakan bahwa kita
keluar dari persekutuan agama Katolik, tetapi bagaimana menghayati iman secara
personal dan dengan sungguh-sungguh.
Pandangan lain
Kierkegaard yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita dewasa ini adalah soal
kebenaran sebagai subjektivitas yang bermuara pada penyerahan kepada Yang Tak
Terbatas. Yang mau ditonjolkan di sini adalah iman (dengan diri yang terbatas
mengakui realitas yang tak terbatas). Dalam kehidupan beragama dibutuhkan iman.
Imanlah yang menghidupkan agama sekaligus menjawab keraguan, kecemasan dan
ketakpastian manusia. (Anonim,2014).
2.
Jean
Paul Sartre (1905-1980)
a.
Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul
Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Sartre berasal dari
keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang perwira besar angkatan laut Prancis dan
ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas
Sorbone. Ketika Sartre masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa Sartre diasuh
oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini,
Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan
bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi
Sartre banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada
negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.Saat diasuh
oleh kakeknya, (Dagun
1990:94).
Charles
Schweitzer sangat menyayangi cucunya, dan menjaganya tetap di rumah serta
memberikan pendidikan sendiri sampai berusia sepuluh tahun. Masa pengurungan
ini menguntungkan Sartre karena dapat mengasah daya nalarnya melalui buku-buku
studi kakeknya, (Munir,
2008 :104).
Selanjutkan
Dagun, (1990:95). menjelaskan meski Sartre berasal dari keluarga Kristen
protestan dan Sartre sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam
perkembangan pemikirannya Sartre justru tidak menganut agama apapun. Sartre
atheis. Sartre mengaku sama sekali tidak
percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak Sartre berusia 12
tahun. Bagi Sartre, dunia sastra adalah agama baru, karena itu Sartre
menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang. Sartre belajar pada
ecole normale superior pada tajun 1924-1928 M. setelah tamat dari sekolah itu,
pada tahun 1929 M, Sartre mengajarkan filsafat dibeberapa lycess, baik diparis
maupun tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa
peneliti pada institute prancis di Berlin dan di Universitas Preiburg. Pada
tahun 1938 M, terbit novelnya yang berjudul La Nausee, edangkan Le Mur terbit
pada tahun 1939 M.
b.
Ajaran dan Karya kefilsafatan Jean Paul Sartre
Menurut
Sartre, eksisitensi manusia mendahului esensinya. Filasafat eksistensialisme
membicarakan cara berada di dunia ini terutama cara berada manusia. Dengan kata
lain silsafat ini menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral
pembahasanya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah
yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan,
bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak disebut bereksitensi. Filasafat
eksistensialisme mendamparkan manusia ke
dunianya dan menghadapkan manusia kedirinya sendiri.
Menurut
ajaran eksistensialisme Sartre, eksisitensi manusia mendahului esensinya. Hal
ini berbeda dengan tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului
eksisitensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Didalam filsafat
idealism, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (essence-nya).
Jadi, hakikat manusia mempunyai cirri khas tertentu, dan cirri itu menyebabkan
manusia berbeda dari makhluk lain. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu
eksistensinya mendahului esensinya. Formula ini merupakan prinsip utama dan
pertama di dalam filsafat
eksisitensialisme, (Hakim, 2008: 336).
Menurut Sartre (dalam Palmer , 2007:21) seorang
eksistensialis adalah orang yang percaya dan bertindak berdasarkan dalil
berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi mendahului
esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas pendapat ‘esensi
mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari
suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan
program. Artinya bahwa dalam benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului
eksistensi .
Contohnya dapat kita lihat dari gunting. Gunting
mempunyai ide di dalamnya, yaitu alat untuk menggunting sesuatu. Bila kita
menemukan benda, dan itu dapat digunakan untuk menggunting sesuatu, kita dapat
menyebutnya gunting. Karena manusia sebagai pembuat benda (gunting) sudah
memberikan ide gunting dalam benda yang sekarang kita sebut dengan gunting.
Tetapi hal ini tidak berlakuk untuk manusia. Karena tidak ada Tuhan yang
menciptakan ide tentang manusia -setidaknya itulah yang dikatakan Sartre.
Hassan, (1976:103).
Menjelaskan bagi
Sartre , manusia ada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai
demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya
manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya
sendiri. Dengan lain perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan;
berbeda dengan benda-benda yang lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi
manusia eksistensi mendahului esensi.
Demikian Sartre menegaskan asas pertama dari
ajarannya. Ini berarti pula bahwa bagi Sartre asas pertama sebagai dasar untuk
memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai subyektivitas. Manusia sebagai
pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan ikhtiarnya itu.
Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya, maka
manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri, apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang
hendak diberikan pada eksistensinya itu, tiada lain yang bertanggung jawab
adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri itu, manusia
mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang
baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif
yang ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang
lain, tidak pula bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan, (Hassan,1976:103).
Dalam artian tertentu, definisi Sartre mengenai
eksistensialisme hanya meradikalkan pandangan yang sangat umum di antara
kebanyakan ahli ilmu sosial : bahwa tidak ada naluri yang menyebabkan
tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai kucing.
Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak ada
pilihan. (Laba-laba penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung berkicau
pasti berkicau). Benar bahwa ada fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh manusia
yang bekerja dalam keharusan daripada dalam kebebasan, tetapi fungsi-fungsi
tubuh manusia yang seperti itu tidak pernah menghasilkan tindakan-tindakan
manusia sesungguhnya, sebagai contoh adalah perbedaan mengedipkan mata
(tindakan manusia) dan berkedip (bukan tindakan manusia sesungguhnya), (Palmer, 2007: 26).
Karya-karya Jean Paul Sartre
Siswanto, (1998:
140). Mengatakan bahwa Jean Paul Sartre Hasil karya filsafatnya yang utama adalah
“Being and Nothingness” (1943). Dalam diri (L’entre-en-soi) dan
“ber-ada-untuk-diri” (L’entre-pour-soi).
1)
Berada
dalam diri (L’entre-en-soi) adalah semacam berada an sich,
berada itu sendiri. Filsafatnya berpangkal dari realitas yang ada, karna
realitas yang ada itulah yang kita hadapi, kita tangkap, kita mengerti. Ada
banyak yang berada, contoh: pohon, batu, binatang, manusia dan sebagainya.
“Berada” disini mewujudkan ciri segala benda jasmaniah, materi.
2)
Berada
untuk diri (L’entre-pour-soi) ialah berada yang dengan sadar akan
dirinya, yaitu cara berada manusia.Manusia mempunyai hubungan dengan
keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada, misalnya ia
bertanggungjawab atas fakta, bahwa ia seorang pegawai, atau seorang pedagang,
atau seorang pencuri dan sebagainya.Manusia adalah “berada-untuk-diri (L’entre-pour-soi)”.
Oleh karena itu maka manusia terwujud karena “berada” itu meniadakan diri (se
neantise). Manusia sebagai manusia, sebagai L’entre-pour-soi terdiri
dari peniadaan. Ada dua peniadaan yaitu: a) Peniadaan lahiriah (Negation
externe), b) Peniadaan batiniah (Negation interne).
c. Sumbangan
Jean Paul Sartre
Berdasarkan
pada hasil interpretasi tentang kesadaran, Sartre lalu memperkenalkan suatu
metode fenomenologis “baru”, yang ia sebut “Psikoanalisis Eksistensial”. Hasil
studinya mengenai psikoanalisis itu membawa Sartre pada kesimpulan bahwa
psikoanalisis dapat membantu usahanya untuk menerangi dan menganalisa
aspek-aspek gelap dari kesadaran, yang selama ini memang merupakan pusat
perhatiannya. Ia percaya bahwa “perilaku yang tampak” itu sebenarnya mengandung
makna-makna simbolis yang kekuatan-kekuatan penggeraknya perlu diungkap lebih
dalam lagi.
Gejala
yang hendak diungkap dan digali maknanya oleh Sartre melalui Psikoanalisis
Eksistensialnya, tidak lain adalah gejala yang sama dengan yang digali oleh
psikoanalis, yakni “ketidaksadaran” (atau: “kesadaran pra-reflektif”).
Hanya saja gejala ketidaksadaran itu harus bisa diuji dan dialami langsung
melalui faktor-faktor yang bisa dijangkau oleh kesadaran.
Menurut
Sartre, psikoanalis eksistensial, seperti halnya psikoanalisis, harus mulai
dengan perilaku-perilaku yang dapat diamati bukan hanya melalui metode
“introspektif”, tetapi juga melalui metode “objektif”. Akan tetapi setelah
melewati tahap deskriptif ini, psikoanalis harus melanjutkan tugasnya untuk
mengurai makna-makna dari perilaku-perilaku tersebut, (Anonim 2013).
3.
Martin Heidegger (1905 M)
a. Riwayat
Hidup Martin Heidegger
Martin
Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden,
Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan
Amerika Selatan. Heidegger menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari
Universitas Freiburg di mana Heidegger belajar dan menjadi asisten Edmund
Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lebre von Urteil in
Psicologismus (Ajaran tentang putusan dalam Psikologi). Heidegger adalah anak
seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortinus. Sebelumnya Heidegger kuliah
di Fakultas Teologi sampai empat semester, lalu pindah ke filsafat di bawah
bimbingan Heinrich Rickert, pengaruh filsafat Neo- Kantianisme juga banyak
memberi pengaruh padanya, (Bertens,
1990: 137).
Pada tahun
1909 Heidegger masuk Universitas Freidburg untuk belajar di fakultas
teologi. Setelah mempelajari. Setelah mempelajari teologi selama empat
semester, Heidegger mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada
studi filsafat, ditambah dengan kuliah tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan kemanusiaan. Profesor termashur di fakultas filsafat pada waktu itu
adalah Heinrich Rickrt, yang sudah kita kenal sebagai salah seorang penganut
aliran neokantianisme. Dua tahun kemudian Heidegger mempertahankan
Habilitations schrift-nya, yang berjudul Die Kategorien-und Bede utungslehre
des Duns Scotus (ajaran Duns Scotus tentang kategori- kategori dan makna).
Tahun 1915 Martin Heidegger mulai mengajar di Universitas Freiburg. Ketika
Heidegger di bangku kuliah Heidegger sudah mendalami fenomenologi Edmund
Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freidberg, kehadiran itu membawa pengaruh
besar pada diri Heidegger. Di Universitas ini Husserl mengagumi kepintaran
Heidegger dan dipercayakan sebagai asistensinya. Pada tahun 1923, Heidegger
diundang ke Universitas Marburg dan diangkat menjadi professor, (Bertens. 1990: 140).
b. Ajaran dan
Karya Kefilsafatan Martin Heidegger
Ada dua
hal mendasar yang memecut lahirnya pemikiran eksistensialis Heidegger, yaitu pertama
dehumanisasi atau depersonalisasi dimana pasca renaissance dan enlightenment
atau revolusi industry, manusia telah menjadi alat- alat industry, alat
mekanik, zaman mesin (age of automation mechanisme) sehingga betul-
betul membuat manusia menjadi robot, depersonalisasi. Kedua adalah
adanya detotalization. Gejala ini terlihat dengan jelas, baik pada
golongan materialisme ataupun idealisme yang mengakui sebagian sebagai
keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek karena menghadapi objek.
Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya, (Zubaedi,
2007: 152).
Selanjutnya
Zubaedi (2007: 152). Menjelaskan Analisis filsafat
eksistensialisme membedakan cara berada manusia dengan cara berada benda,
dengan menggunakan istilah, bahwa benda- benda itu berada sedangkan manusia itu
bereksistensi, sedangkan benda- benda di luar manusia itu tidak bereksistensi.
Munculnya eksistensialisme sebagai suatu aliran filsafat, merupakan reaksi atas
pandangan mengenai dunia yang terlalu optimistic tetapi dangkal dan terlalu
yakin akan kemajuan. Gerakan ini bangkit dengan pandangan pesimis tentang
masyarakat modern. Hanya manusialah yang bereksistensi. Bereksistensi harus
diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara
aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat
manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaan sebelumnya.
Kebebasan
manusia berarti manusia tidak menjadi objek yang dibentuk di bawah pengaruh
keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dirinya dengan tindakan dan
perbuatannya. Seorang manusia bebas mengambil tanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya, dan tidak membenarkan diri berdasarkan hal- hal sekitarnya.
Karena itu manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam
sejarah. Eksistensialisme adalah suatu gerakan protes dalam filsafat modern.
Istilah eksistensialisme bukan memberikan suatu sistem filsafat secara khusus
karena ada sejumlah perbedaan – perbedaan yang besar antara semacam- macam
filsafat yang dikelompokan sebagai filsafat eksistensialisme. Tetapi arus dasar
gerakan ini sama yakni sikap berontak dan protes terhadap beberapa sifat
filsafat tradisional dan perilaku masyarakat modern. Gerakan eksistensialisme
ingin mengembalikan persoalan pada eksistensinya. Eksistensialisme adalah
filsafat yang memandang segala berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya
adalah manusia. Eksistensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia
ini. Cara berada manusia itu berbeda dengan cara berada dari benda- benda. Kaum
eksistensialisme yang terkenal adalah Martin Heidegger, ( Dagun. 1990: 15-16).
Menurut
Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dijawab melalui jalan ontology, artinya
jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan
itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenotogis. Jadi, yang penting
adalah menemukan arti keberadaan itu.Satu-satunya yang berada dalam arti yang
sebenarnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan
yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat ditengah-tengah dunia sekitarnya.
Keberdaan manusia disebut desein (berda disana, ditempat). Berada artinya
menempati atau mengambil tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya
dan berdiri ditengah-tengah segala yang berada. Desein manusia disebut juga
eksistensi, (Hakim, 2008: 334).
Menurut
Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi ia dilemparkan kedalam
keberadaan. Walaupun keberadaan manusia tidak mengadakan sendiri, bahakan
meupakan keberadaan yang melempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas
keberadanya itu. Manusia harus merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya,
tetapi dalam kenyataanya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta
keberadaan manusia, yang timbul dari Geworfenheid atau situas terlemparnya itu,
(Hakim, 2008: 335).
Hakim (2008:335). Menjelaskan Kepekaan
diungkapkan dalam suasana batin di dalam persaan dan emosi. Diantara suasana
batin dan perasaan itu, yang terpenting ialah rasa cemas. Latar belakang
kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba merasa
sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa seluruh hidup
kita tiada artinya. Oleh karena itu, dalam hidup sehari-hari manusia
bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Akan tetapi, justru karena itu, manusia
memiliki kemungkinan untuk keluar dari eksisitensi yang tidak sebenarynya itu,
keluar dari belenggu oleh pensapat orang banyak dan menemukan dirinya sendiri.
Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnyamenghadapi hidup yang
semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti
kata hatinya itulah, cara bereksistensi yang sebenarnya. Inilah cara menemukan
diri sensiri. Disini orang akan orang akan mendapatkan pegertian atau pemikiran
yang benar tentang manusia dan dunia.
Menurut Dagun (1990: 79). Karya- karya Martin Heidegger antara lain:
1). Sein und Zeit (Ada dan Waktu), 1927
2).
Kant und das Problem der Metaphysic (Kant dan Metafisika), 1929
3).
Wast ist Metaphysic (Apakah Metafisika?), 1929
4).
Holzwege ( Jalan- jalan buntu), 1950
5).
Vortrage und Aufsatze, 1957
6).
Identitat und Differenz, 1969
7).
Zur Sache des Denkes, 1969
8).
Einfuhrung in die Metaphysic, 1953
9).
Was heist Denken, 1954
10).
Nietzhe, 1961
11). Phanomenologie und theologie,
1970.
c. Sumbangan
Martin Heideggerd
Filsafat
Martin Heidegger (1889- 1973) sangat berpengaruh dalam permasalahan
epistemology dan humaniora. Permasalahan yang sangat menarik yaitu permasalahan
mengenai pemahaman bahwa seluruh manusia menemukan dirinya di dunia ini melalui
asumsi- asumsi pemahaman. Pengertiannya adalah asumsi, harapan dan konsep
dipaparkan sebelum berfikir atas eksperimen. Analisa kehidupan sehari- hari
membuktikan, bahwa sesuatu yang dapat dipahami merupakan akibat dari faktor
yang tidak diketahui yang didapatkannya sebelum berfikir.
Setiap
interpretasi, termasuk ilmu biologi, membutuhkan asumsi, contohnya ketika
seseorang melihat batu adalah sebagai batu, bukan sesuatu yang lain. Oleh
karena itu, langkah awal setiap penafsiran, selalu ada terlebih dahulu pendapat
atas segala eksperimen. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai eksisetensi
manusia yang memiliki sarana segala kondisi seseorang akan adanya pendapat.
Heidegger juga meyakini bahwa penafsiran Desain dan eksistensi berdasar pada
teks. Karena desain selalu memahami dan menafsirkan. Desain menafsirkan dunia
dan diri, yakni memandang kehidupannya dengan metode khusus.
Bagi
Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang
sangat berpengaruh, diri terkait dengan kecerdasan identitas. Melalui filsafat
Martin Heidegger eksistensi hidup manusia menjadi sejati, karena manusia
mempunyai pengertian tentang keberadaannya hidup di dunia dan kesadarannnya
akan Tuhan. Pengaruh dari filsafat Heidegger yaitu manusia mampu
menangkap kehadiran-Nya yang disebabkan bahasa ucap mengenai “ada” .
Percaya
bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Kebenaran
tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu eksistensialis menggunakan
bentuk- bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan hati.
Menekankan pada keputusan dan tindakan, sementara pemikiran dan analisis
tidaklah mencukupi. Manusia modern harus melepaskan diri dari keterkungkungan
dan ketergantungan pada segala sesuatu di luar dirinya (Anonim 2014).
B.
Sumbangan Filsafat
Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Eksistensialisme telah memberikan
sumbangan yang sangat besar bagi ilmu, terutama dalam membuka jalan terhadap
kebutuan yang ditimbulkan oleh faham materialisme yang mengatakan bahwa: “Manusia
itu pada hakekatnya adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya
lebih unggul, tetapi manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”.
Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya sekedar material atau kesadaran,
tetapi lebih daripada itu. Berikut adalah sumbangan filsafat Eksistensialisme
terhadap Ilmu pengetahuan masa kini :
1.
Pengaruh
yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern dewasa ini
adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap individu
siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam menentukan
pilihannya.
2.
Filsafat
eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang mendorong manusia
untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari
individu masing-masing apapun keadaannya.
3.
Filsafat
eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu
mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.
4.
Eksistensialisme
tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti
program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis
program kelompok semacam itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai
individu.
5.
Eksistensialisme
tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan
spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi
mempunyai sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan
intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang
merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.
6.
Eksistensialisme
mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran atau tujuan pendidikan,
tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional, hanya sebagai alat dalam
pengembangan eksistensi manusia. (Putra (2014).
7.
III. FENOMONOLOGI
Juhaya
menjelaskan dalam Bertens, (1981:109). Kata fenomenologi berasal dari kata
Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena
bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu
yang menampakan diri, (Bertens, 1981:109). Tokoh fenomenologi adalah Edmund
Husserl (1859-1938), ia adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada
kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya, (Juhaya, 2005:180).
Selain fenomenologi Edmund Husserl, beberapa ahli filsafat yang dapat diajukan
sebagai eksponennya diantaranya Max Scheler,( Hakim, 2008:324).
A.
Tokoh-tokoh Filosof
dan Ajarannya
1.
Edmund Husserl (1859-1938)
a.
Riwayat Hidup Filosof
Fenomenologi
merupakan gerakan filsafat dan juga aliran ilmu (metodologi ilmu), pertama kali
diperkenalkan soleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di
Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi. Di universitas Husserl
belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat, mula-mula di Leipzig
kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina Husserl
tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari
tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di
Freiburg. Husserl
juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara.
Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode
“Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl
meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya
dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia, (Hamersma,1983:114).
b.
Ajaran dan Karya
Kefilsafatan Edmun Husserl
Istilah
“Fenomenologi” pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert (1728 – 1777).
Kemudian istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah
filosof lain. Namun semuanya mengartikan istilah fenomenologi secara berbeda.
Baru Edmund Husserl yang memakai istilah fenomenologi secara khusus dengan
menunjukkan metode berpikir secara tepat, (Bakker,1986: 110).
Contoh
misalnya,dalam karya Hegel yang berjudul “Phenomenolgy of Spirit”.
Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda dengan
“fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita alami dan
tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan
konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah.
Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan
sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta
menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi.
fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan
susunan kesadaran kita,
(Lavine, 2002:382).
Sebagai
satu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat
abad yang pertama dari abad ke-20, kemudian menjalar ke Prancis dan Amerika
serikat. Pencetus aliran fenomenologi adalah Edmund Huserl, (Muzairi,2009:142).
Menurut
Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau
tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang
tampak bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan
semacam revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak
Descartes, kesadaran selalu dipahami sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup),
artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat
mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada
realitas, dimana kesadaran bersifat “intensional”, yakni
realitas yang menampakkan diri, (Maksum,
2004:58).
Sifat-sifat
yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus
ingat bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda.
Bagi fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk
melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi
deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap
struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang nampak. Fenomenologis
memperhatikan benda-benda yang kongkrit,bukan dalam arti yang ada dalam
kehidupan sehari-hari akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda
tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran
kita adalah ukuran dari pengalaman, (Muzairi,2009:142).
Sebagai
seorang ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode
fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni,
kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar
kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting
obyek-obyek merupakan tujuan aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat
akan menjadi sebuah “ilmu setepat-tepatnya” dan pada akhirnya kepastian akan
diraih, (Lavine,2002:383).
Adapun
inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan
pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri.
Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sachen
(to the things). Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa
“benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya.
Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang
yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya
sendiri. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa
bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang
menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look).
Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi
dalam menemukan hakekat, yang disebut denganwesenchau, melihat (secara
intuitif) hakekat gejala-gejala, (Juhaya,2005:179-180).
Juhaya
mengatakan dalam Bakker (1986:112). Husserl
memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni penundaan segala
pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi
ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini
merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk mengetahui
sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan
teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada sehingga obyek diberi
kesempatan untuk “berbicara tentang dirinya sendiri”.
Menurut
Juhaya (2005:181). Istilah lain yang digunakan oleh
Husserl adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu
diantara dua karung. Namun yang dimaksud adalah “ melupakan
pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek
secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada
sebelumnya. Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap
fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral.
Tidak menggunakan teori-teori atau pengertian yang telah ada dalam hal ini
diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.Ada tiga reduksi yang
ditempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologi, yaitu:
1)
Reduksi
Fenomenologis
Juhaya
mengatakan dalam Brouweer (1967;4). Bahwa Fenomena adalah menampakan diri.
Dalam praktik hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa
yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang
kita lihat adalah rill atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas di luar
kita. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam
arti yang ada diluar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami”
secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan
biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala
subjektivitas disingkirkan. Termasuk didalam hal ini teori-teori,
kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita
memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul dalam kesadaran adalah
fenomena itu sendiri. Karna itulah reduksi ini disebut fenomenologis. Reduksi
pertama ini merupakan “pembersih diri” dari segala subjektivitas yang dapat
mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.
2)
Reduksi
Eidetis
Juhaya
mengatakan dalam Hadiwidjono (1980;183). Bahwa Eidetis berasal dari kata eidos,
yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan didalam
kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas
fenomena. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas.
Selanjutnya
Juhaya mengatakan dalam (Bakker, 1986:116) bahwa Hakikat (realitas) yang
dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan
semua sifat hakiki. Untuk menentukan
apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur
mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif
melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambah salah satu sifat.
Pengurangan atau penambahan yang tidak
mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang
hakiki.
Reduksi eidetic ini menunjukan bahwa
dalam fenomenologin criteria kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan
yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan suatu horizon yang
konsisten. Setiap pengamatan member harapan atau tindakan-tindakan yang sesuai
dengan yang pertama atau yang selanjutnya, (Juhaya, 2005:182).
3)
Reduksi
Fenomenologi-Transendental
Didalam
reduksi ini yang ditempatkan diantaranya dua kurung adalah eksistensi dan
segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbale balik dengan kesadaran
murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada
subjek sendiri, (Hadiwidjono, 1980:144).
Reduksi
ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai
hal-hal yang menampakan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan
ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakan diri dalam kesadaran. Dengan
demikian, yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran
sendiri. Kesadaran disini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran
dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan fenomena tertentu. Kesadaran
yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transcendental, yaitu
yang ada bagi diriku di dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut sebagai
subjektivitas atau “aku”transcendental, (Juhaya,
2005: 182-183).
Selanjutnya Juhaya, (2005: 184). menjelaskan Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek
dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin
dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan
ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, di dalam system filssafatnya, Husserl
akhirnya menjurus pada idealisme transcendental seperti digambarkan diatas.
Karya- Karya Edmund Husserl diantaranya:
1) Logische
Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901.
Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan
antara tindakan dari kesadaran dan fenomena
di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi
menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika
ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual
kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya
kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari
tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang
real dan ideal.
2) Ideen zu
einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu
fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya
terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat
cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia
luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam
kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan
metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk
merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3) Meditations
Cartesiennes, 1931
(Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan
Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku
untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang
melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana
caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak
mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri),
sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui
adanya dunia intersubjektif), (Abadi, (2010).
c. Sumbangan Edmund Husserl
Fenomenologi memberikan kontribusi yang sangat
penting dalam sejarah psikologi. Aliran fenomenologi didirikan oleh Roger
Brentanto (1838-1917), guru Edmund Husserl. Penelitian mengenai jiwa
manusia sengaja dilakukan oleh Brentanto untuk menentang premis idealisme.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa “Geist” (roh atau jiwa) yang universal
memiliki cara tersendiri di dalam dunia ini. Brentanto menyatakan bahwa
sifat kejiwaan yang abstrak tidak dapat dijadikan titik tolak dalam psikologi.
Psikologi harus dimulai dari kasus individu, yaitu kasus orang pertama yang
dapat dipahami langsung oleh peneliti. Oleh karena itu, kontribusi aliran
fenomenologi Brentanto adalah membedakan antara obyek material (apa yang
tampak) dan obyek intensional (corak logika) dari suatu keadaan mental untuk
memahami individu.
Kontribusi selanjutnya adalah fenomemologi
sebagai metode dalam psikologi yang berusaha untuk menyiapkan dan menjelaskan
gejala-gejala tingkah laku tersebut mengungkapkan dirinya secara langsung dalam
pengalaman (Van Kaam, 1966). Kontribusi fenomenologi nantinya digunakan oleh
aliran psikologi gestalt sebagai metode untuk menganalisis gejala psikologis.
Fenomenologi digunakan oleh aliran psikologi gestalt untuk meneliti
gejala-gejala dari proses-proses psikologis seperti persepsi, belajar, ingatan,
pikiran, dan perasaan.(Anonim, 2012).
2.
Max Scheler (1874-1928)
a.
Riwayat
Hidup Filosof
Max Scheler adalah filsuf yang terkenal dari
aliran fenomenologi Husserl. Dia dilahirkan di Munchen tahun 1874, mendapat
gelar doctor pada tahun 1897 dibawah pimpinan filsuf Rudolf Eucken. Sesudah
menjadi tersohor karena karangan-karangannya, maka pada tahun 1928 dia
dipanggil ke Frankrut a.M untuk menjadi guru besar. Akan tetapi sebelum mulai
tugasnya, Scheler sudah meninggal dunia,(Sudiarja,2006:
1341).
Ayahnya seorang
Lutheran dan ibunya seorang Yahudi Ortodoks. Sebagai seorang anak remaja, Scheler masuk Katolik, karena
ketertarikkannya pada ajaran mengenai cinta. Scheler belajar ilmu kedokteran di
Munchen dan Berlin, Filsafat dan Sosiologi pada W.Dilthey dan G.Simmel pada tahun 1895. Seluruh hidupnya,
Scheler memiliki pemikiran yang begitu
berpengaruh bagi filsafat pragmatisme Amerika.
Pada tahun 1902, Scheler bertemu bertemu dengan Edmund
Hursell seorang fenomenolog untuk pertama kalinya di Halle. Scheler tidak
pernah menjadi murid Hursell. Akan tetapi, perjumpaan dengannya memberikan
pengaruh yang besar bagi Scheler. Scheler menjadi seorang fenomenolog yang
getol menyebarluaskan ajaran Hursell ini. Dari tahun 1907-1910 Scheler mengajar pada universitas di Munchen. Scheler bergabung dengan lingkungan fenomenolog Munchen
diantaranya M.Beck, Th. Conrad, J. Daubert, M.Geiger. D.Y Hildebrand, Th.Lipps,
and A. Pfaender, (Jaya (2012).
b. Ajaran dan Karya Kefilsafatan Max Scheler
Disamping
Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi adalah Max
Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk
menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan
gejala-gejalanya. Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar”
ketidakpuasannya atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant
dan Psikologisme Empiris. Dan pemikiran yang paling utama Scheler adalah
tentang fenomenologi etika.Dalam pandangan Scheler tentang fenomenologi etis,
benda dianggap sebagai “sesuatu” yang bernilai; oleh karena itu, adalah keliru
menginginkan inti nilai dari benda-benda, atau memandang keduanya dengan tempat
berpijak yang sama. Dunia benda-benda terdiri atas segala sesuatu, maka dapat
dihancurkan oleh kekuatan alam dan sejarah. Dan jika nilai moral kehendak kita
tergantung pada benda-benda, maka kehancuran tersebut akan mempengaruhinya.
Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif, dan prinsip yang
didasarkan diatasnya bersifat relatif, (Frondizi, 2001:109).
Dan
bila dikaitkan dengan perbuatan manusia, maka menurut Scheler, manusia bukanlah
pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu berada diluar diri manusia.
Lebih lanjut Scheler mengatakan bahwa tugas manusia adalah mengakui nilai-nilai
itu serta mengikutinya dalam hidup, (Poedjwijatna, 1997:140).
Karya-Karya
Kefilsafatan
karya-karaya kefilsafatan Max
Scheler dibagi ke dalam dua periode-Periode pertama rentang waktunya di mulai
antara disertasinya pada tahun 1897 hingga karyanya On
the eternal in Man ( manusia dalam
keabadian) pada tahun 1920/1922—volume I-VII. Sedangkan pada periode kedua,
masa-masa dari tahun 1920/1922 hingga 1928 yang terangkum dalam Vol. VIII-XV.
Dalam periode pertama, karyanya
yang paling menonjol adalah penyelidikannya mengenai nilai-etika, perasaan,
agama, dan teori politik. Dalam tahun-tahun ini ada dua karya besar yang
dihasilkannya, The Nature of
Sympathy dan Formalisme Etics dan non- Formal etichs of
Vlues. Dari karya-karyanya ini, Scheler memusatkan perhatiannya
pada, perasaan manusia, cinta, dan kodrat manusia. Scheler memperlihatkan
bahwa ego, akal budi dan
kesadaran manusia mengisyarakan lingkungan manusia dan menyangkal sebuah
kemurnian ego, kemurnian akal budi, atau kemurnian kesadaran. Di sini,
Scheler mengkritik apa yang telah ada sebelumnya yakni apa yang diajarkan
oleh Husserl, Kant, dan Idealisme
Jerman. Bagi Scheler, ego, akal budi dan kesadaran adalah hati manusia yang
merupakan tempat duduk dari cinta lebih dari pada sebuah ego yang transcendent,
akal budi, kehendak atau penginderaan. Dan hal ini merupakan nilai bagi essensi
dari eksistensi manusia. Scheler membeda-bedakan beberapa tipe perasaan, lebih
dari itu ada yang sungguh-sungguh
menyembunyikan diri dan pribadi, dan di antara itu cinta menampakan
diri dan menjadi pusatnya. Kemanusiaan manusia atas dasar Cinta (ensamans).
Dari sini mengalirlah sebuah
prinsip yang besar yang melewati seluruh periode pertama ini: perasaan dan
cinta memiliki logikanya di dalam diri mereka sendiri, yang sungguh-sungguh
berbeda dari logika akal budi. Di sini Scheler mengikuti Blaine Pascalfilsuf
dan matematikawan asal Perancis.
Dalam periode kedua
(1920/1922-1928) Scheler menentang ide mengenai Tuhan sebagai Pencipta.
Baginya, dewa, manusia dan dunia adalah satu bentuk yang “menjadiada” karena
proses penyatuan yang terjadi dalam waktu yang absolut. Waktu yangAbsolut bukanlah waktu yang dapat
diukur dengan waktu atau jam yang digunakan olehilmu pengetahuan dan dalam
kehidupan sehari-hari. Waktu absolut mirip waktu yang lewat ketika kita tidak
berpikir mengenai waktu. Contoh, ketika kau sedang membaca batu nisan ini.
Waktu absolut sudah menjadi sifatnya di dalam dirinya dalam seluruh
proses penerusan generasi, memeram, memodifikasi diri; mencakup proses
atomic, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Scheler mengatakan dengan
sangat simple: tanpa sebuah self- generating di dalam hidup manusia
maka tidak ada waktu. Maka pada gilirannya, waktu yang absolut adalah sebuah
kondisi Scheler memperlihatkan keterukuran waktu ketika mengidentifikasinya
sebagai waktu, (Jaya (2012).
c. Sumbangan
Max Scheler
Sebagai seorang
filsuf Max Scheler mengarahkan serta mendasarkan pemikirannya pada masalah
nilai. Berhadapan dengan pertentangan antara pandangan objektif dan subjektif
mengenai nilai. Scheler memandang nilai sebagai suatu kualitas independen yang
tidak berbeda dengan benda namun tidak tergantung pada benda; benda adalah
sesuatu yang bernilai. Sebagaimana warna hijau tidak berubah menjadi merah
jambu manakala objek yang berwarna biru di cat merah jambu, demikian juga
halnya dengan nilai yang tetap tidak berpengaruh oleh perubahan yang terjadi
dalam objek yang digabunginya. Pengkhianatan seorang sahabat, misalnya, tidak
mengubah nilai persahabatan. Namun, meskipun demikian penangkapan akan
nilai-nilai tersebut tergantung bagaimana keterbukaan manusia sebagai subjek
untuk dapat menangkapnya sebagai.
Nilai dalam
pandangan Scheler secara apriori tersusun secara hierarkis dari tingkat yang
tinggi menurun ke tingkat lebih rendah. Hierarki ini tidak dapat dideduksikan
secara empiris, tetapi terungkap melalui tindakan preferensi, yaitu melalui intuisi
preferensi-evidensi. Empat tingkat Hierarki nilai ini terdiri dari, yaitu :
pertama, adalah nilai kesenangan -Pada tingkat terendah, kita dapat menemukan
deretan nilai-nilai kesenangan dan nilai kesusahan, atau kenikmatan dan
kepedihan. Kedua, adalah nilai vitalitas atau kehidupan, yang terdiri dari
nilai-nilai rasa kehidupan meliputi yang luhur, halus, atau lembut hingga yang
kasat atau biasa, dan juga mencakup yang bagus yang berlawanan dengan yang
jelek. Nilai Ketiga terdiri dari nilai-nilai spiritual, yang memiliki sifat
tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam
sekitar. Nilai keempat adalah nilai kesucian dan keprofanan. Nilai ini hanya
tampak pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolut. (Anonim, 2012).
B.
Sumbangan Fenimologi Terhadap Ilmu Masa Kini
Fenomenologi
banyak digunakan oleh para pemikir-pemikir di abad modern ini. Seperti misalnya
Hasan Hanafi yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini untuk menganalisis
realitas masyarakat, politik, ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas
tantangan Barat. Hasan Hanafi sendiri mengakui pentingnya menggunakan metode
fenomenologi sebagai pilihan metodologi yang tepat dalam menganalisis Islam
alternatif di Mesir, (Ridwan, 1998: 22) .
Apa
yang dikatakan Hassan Hanafi tersebut memang tidak salah, sebab kaitannya
dengan studi agama, pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk memperoleh
gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang fenomena
keberagamaan manusia untuk memperoleh “essensi” keberagamaan manusia serta
struktur fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal,
transendental dan inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia
secara partikular-eksklusif. Kaitannya dengan fenomenologi
agama Scheler, Penulis berpendapat bahwa pendekatan fenomenologi hendaknya
berusaha mengembalikan studi agama secara adil dalam menatap dan memahami
kompleksitas keberagamaan manusia.
Hal
ini dikarenakan pendekatan fenomenologi bersifat value-laden, yakni
terikat oleh nilai-nilai keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para
pengikut agama yang ada, (Abdullah, 1999:11-13).
Memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt
(“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks
ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta
untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl, dalam karyanya, The
Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan
bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang
dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami
krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya
memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja
mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami
sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi
pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia
ke formula-formula impersonal, (Prilia
(2014).
Banyak sekali sumbangsi fenomenologi terhadap
kemajuan ilmu saat ini, salah satunya yaitu terhadap gejala sosial atau ilmu
sosial. Dalam peta tradisi teori ilmu sosial terdapat beberapa pendekatan yang
menjadi landasan pemahaman terhadap gejala sosial yang terdapat dalam
masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang terdapat dalam ilmu sosial itu
adalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum dikenal sebagai pendekatan yang
dipergunakan untuk membantu memahami berbagai gejala atau fenomena sosial dalam
masyarakat.
Dengan demikian, fenomenologi secara kritis dapat
diinterpretasikan secara luas sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum
memberikan pengaruh emansipatoris (ranah pemikiran pembebasan (emansipatoris) ) secara implikatif kepada metode
penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai
subyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari, (Anonim, (2014).
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan isi
makalah yang telah diuraikan dapt disimpulkan bahwa:
Pragmatisme adalah
aliran dalam filsafat yang yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah
sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran
sifatnya menjadi relatif tidak mutlak.
Eksistensialisme
tentunya berbicara hakekat manusia dan segala sesuatu yang berkenaan dengan
dirinya seperti bakat, keinginan, kebutuhan, kewajiban yang harus dikerjakan
oleh manusia yang sebagai halifah dimuka bumi dengan kata lain adalah manusia
mempunyai potensi yang harus dikebangkannya
Fenomenologi adalah
suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau
yang menampakan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A .
(1999). Studi Islam; Normativitas atau Historisitas.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Bakker,
A.(1986). Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bertens. (1990). Filsafat Barat Abad XX Inggris- Jerman. PT. Gramedia: Jakarta
Brouweer,M.A.W. (1967). J.F. Donceel,S.J, Philosophy Antropology. Kansas city:Sheeds Andrews and McMeel
Dagun, S. M. (1990).Filsafat Eksistensialisme. Rineka Cipta: Jakarta
Frondizi, R. (2001). Pengantar Filsafat Nilai, Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hadiwidjono, H.(1980). Sari Sejarah Filsafat
Barat 2. Jakarta: Yayasan Kanisius
Hadiwijono,
H,(2011). Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius
Hakim, A.A dkk..( 2008). Filsafat Umum.. Bandung:
PustakaSetia
Hamersma,
H. (1983). Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia
Hassan, F. (1976).
Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta :Pustaka Jaya
Juhaya, P. S.(2005). Aliran-Aliran Filsafat&Etika.
Jakarta: Kencana
K. Bertens. (1981). Filsafat
Barat dalam Abad XX.Jakarta: PT. Gramedia.
Lavine, T.Z. (2002).
Petualangan Filsafat; dari Socrates ke Sartre, terj.
AndiIswanto, et. al., Yogyakarta: Jendela.
Louis O. K. (1987). Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara
Wacana
Maksum, A. et.al.(2004).Paradigma Pendidikan
Universal di Era Modern dan Postmodern; Mencari “VisiBaru” atas “RealitasBaru”
Pendidikan Kita. Yogyakarta: IRCiSoD
Muis Sad Iman. (2004). Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep
Fitrah dan Progresivisme John Dewey. Yogyakarta: SafiriaInsani Press &
MSI UII
Munir, Misnal,
(2008). Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer.
Yogyakarta : Lima
Muzairi. (2009).
FilsafatUmum. Yogyakarta: Teras
Palmer, D.D. (2007).
Sartre untuk Pemula,Yogyakarta :Kanisius
Poedjwijatna, I.R.
(1997). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Cet. X. Jakarta:
RinekaCipta.
Richard. O, Filsafat
Untuk Pemula, Yogyakarta :Kanisius
Ridwan, A.H.
(1998). Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hassan Hanafi tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam. Yogyakarta: Ittaqa Press
Risieri, F. (2001).
Pengantar Filsafat Nilai, Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
Siswanto, J.(1998).
Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta :PustakaPelajar
Sudiarja, A.
Dkk.(2006). Karya Lengkap Diyarkarya.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Syadali, A. M. (2004). Filsafat
Umum. Bandung: Pustaka Setia
Tafsir, A.(1992).
Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya
Tafsir, A.(2013).
Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Zubaedi. (2007). Filsafat Barat. Jogjakarta: Ar- russ Media
(Abadi, 2010), Fenomenologi Edmund Husserl [Online]. Tersedia: http://ahnafiabadi.blogspot.com/2010/08/l.html [07/03/2015)
(Anonim 2013) Tersedia:http://rezania-sazza-fpsi12.web.unair.ac.id/artikel_detail-100645-Umum-Konflik%20Eksistensial%20Manusia%20Menurut%20Jean%20Paul%20Sartre%20%20MATA%20KULIAH%20FILSAFAT%20MANUSIA.html
(Anonim
2014) Tersedia: http://tumbidity.blogspot.com/2014/11/eksistensialisme-martin-heidegger.html
(Anonim, 2010). Filsafat Gabriel Marcel. [Online]. Tersedia: http://lalong-liba.blogspot.com/2011/09/.html [07/03/2015].
(Anonim, 2010).
Filsafat ilmu. [ Online]. Tersedia: http://.blogspot.com/2014_11_01_archive.html
[07/03/2015].
(Anonim, 2010). Pendekatan pragmatism. [Online]. Tersedia: http://librarianship
umir.blogspot.com/2010/08.html# uds-search-results [07/03/2015]
(Anonim, 2012). fenomenologi-max-scheler.
[Online]. Tersedia:http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/html.07/03/2015.
(Anonim, 2012). Psikologi-Pendekatan%20fenomenolog. [Online].
Tersedia: http://m-f-s-fpsi08.web.unair.ac.id/artikel_detail-47851-html.
07/03/2015).
(Anonim,2014). eksistensialisme-martin-heidegger.
[Online]. Tersedia: http://tumbidity.blogspot.com/2014/11/eksistensialisme-martin-heidegger.html.
(Anonim.
(2010). pendekatan pragmatism. [Online] Tersedia: http://librarianshipumir.blogspot.com/2010/08/pendekatanpragmatisme.html#
uds-search-results
[07/03/2015]).
(Anonim. (2010). pendekatan pragmatisme. [Online] Tersedia:http://librarianshipumir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-pragmatisme.html#
uds-search-results [07/03/2015]).
(Jaya ,2012), Fenomenologi
Max Scheler [Online]. Tersedia: http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/.html).
(Prilia,2014), Filsafat
Fenomenologi [online] tersedia:https://ebdaaprilia.wordpress.com/2014/09/22//[07/03/2015).
(Putra,2014), Filsafat eksistensialisme [Online] tersedia: http://.blogspot.com/2014_11_01_archive.html.[07/03/2015]
(Anonim,2015).SorenKierkrgaard.[Online].Tersedia:http://biokristi.sabda.org/ [07/03/2015].
Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Martin Heidegger, dia bilang: ‘Pengungkapan dapat terjadi secara otentik, tanpa serangkaian kecenderungan. Entitas pada awalnya terwujud tetapi tetap tersembunyi dalam apa yang paling otentik.’
BalasHapusSaya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/10/wawancara-dengan-martin.html