FILSAFAT KONTEMPORER (PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME, FENOMENOLOGI)

FILSAFAT KONTEMPORER

(PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME, FENOMENOLOGI)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah :FilsafatUmum
Dosen Pengampu: Dr. Anda Juanda, M.Pd



Oleh:
                        Erna Erlina                  
                        Khumaeroh                
                        SitiLabibah                 
                        SholehNugraha         


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2015 M/ 1436 H.


DAFTAR ISI

Daftar Isi..............................................................................   i
Kata Pengantar................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................ iv
A.     Latar Belakang.......................................................... iv
B.     Rumusan Masalah..................................................... iv
C.     Tujuan Masalah......................................................... iv
BAB II
Filsafat Kontempoer............................................................ 1
A.     Pragmatisme .............................................................  1
1.      Riwayat hidup fiolosof....................................... 2
2.      Ajaran dan karya kefilsafatannya....................... 2
3.      Sumbangan filsafat terhadap ilmu pengetahuan masa kini..8
B.     Eksistensialisme........................................................ 10
1.      Riwayat hidup filosof......................................... 11
2.      Ajaran dan karya kefilsafatannya....................... 11
3.      Sumbangan filsafat terhadap ilmu pengetahuan masa kini...........................................................................   29
C.     Fenomologi............................................................... 30
1.      Riwayat hidup filosof......................................... 31
2.      Ajaran dan karya kefilsafatannya....................... 31
3.      Sumbangan filsafat terhadap ilmu pengetahuan masa kini............................................................................ 44
BAB III
PENUTUP............................................................................ 46
Kesimpulan...................................................................... 46
Daftar Pustaka..................................................................... v







Kata Pengantar
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Kontemporer” untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Filsafat Umum.
Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Dr. Anda Juanda, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Umum yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. dan tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman dan pihak-pihak lain yang turut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan. Kami mengharapkan kepada teman-teman untuk bersedia memberikan kritik dan sarannya menyangkut pembuatan makalah ini, sebagai bahan pertimbangan untuk membuat makalah selanjutnya. Namun demikian, kami sudah berusaha menyajikan makalah ini dengan sebaik mungkin. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca, peminat keilmuan dan calon penulis di masa mendatang.





Cirebon, 7 Maret 2015



BAB II
FILSAFAT KONTEMPORER

I.       PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar yang dibuktikan  dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai benar  dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis” ,(Tafsir,2013:189).
Selanjutnya Tafsir,( 2013:190), menjelaskan kata pragmatisme sering sekali di ucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya  dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya adalah rencana ini kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme. Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang pertama kali menggunakan Pragmatisme sebagai Filsafat, tetapi pengertian Pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Berceley, dan Hume.






A.     Tokoh-tokoh Filosof dan Ajarannya
1.      William James (1842-1910 M)
a.      Text Box:  Sumber: https://www.google.com/search?q




Riwayat Hidup Filosof
James lahir di New York Citty pada tahun 1842 M, dan merupakan putra dari Hendry James, Sr, seorang yang terkenal, berkebudayan tinggi, dan pemikir yang kreatif. Ayahnya merupakan kepala rumah tangga yang menekankan kemajuan intelektual. Pendidikan formalnya mula-mula tidak teratur lalu James mendapat tutor kebangsaan Inggris, Prancis, Swis, Jerman, dan Amerika. Akhirnya James memasuki Harvard Medical School pada tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869 akan tetapi, James kurang tertarik pada praktik pengobatan, James lebih menyenangi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, James kemudian mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvad. Tahun 1875 perhatiannya leb ihtertarik pada sikologidan fungsi pikiran manusia. Pada waktu itu, james menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr, dan lain-lain tokoh dalam Metaphysycal Club untuk berdiskusi dalam masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metode ilmiah agama dan evolusi. Di sinilah, james mula-mula mendapat pengaruh Peirce dalam metode Pragmatisme, (Hakim,2008: 319).
b.      Ajaran dan Karya Kefilsafatan William James
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain, (Syadali,2004:69).
Selanjutnya menurut Syadali,(2004:69).  Karya-karya James antara lain, The Principles of Psychology (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup.


c.       Sumbangan William James
Teori James akan insting sangatlah bersifat individualis pada pelaksanaannya. Mengesampingkan pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya pada “Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan kepercayaannya akan tujuan dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan kelompok, dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna. Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan sebagai bagian dari diri untuk menjadikan pribadi yang lebih baik.
 Sumbangan James yang paling berpengaruh terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan kebiasaan. James mengtakan: ` “Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah untuk membuat ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk menemukan dan mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup. Untuk itu kita harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri dari jalan yang memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari penyakit. Semakin banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita lakukan dengan terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang dapat digunakan untuk hal yang penting lainnya”,  (Anonim. (2010).





2.      John Dewey (1859-1952)
a.      Riwayat Hidup John Dewey
Text Box:  Sumber:  https://www.google.com 





Dewey lahir di Baltimore dan kemudian menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian juga di bidang pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas Columbia (1904-1929).
Dewey adalah seorang yang Pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi, (Juhaya, 2005:173).
b.      Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Dewey adalah seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah Instrumentalis. Menurutnya, tujuan filsafat adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk didunia dan sekarang. Tegasnya, tugas fiilsafat yang utama ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) , dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.
Instrumentalis adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalamn yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Sehubungan hal diatas, menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Oleh karena itu, penyelidakan dengan penilainnya adalah alat (instrumental). jadi yang di maksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, (Juhaya,2005:174).
Menurut Dewey, (Juhaya,2005:175). Kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek yang kita namakan instrumentalisme. Pertama kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada kemajuan gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata “futurisme”, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak hari kemarin. Ketiga, “milionarisme”, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meniliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme.
Karya-karya John Dewey
Karya- karya John Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics dan lain- lain.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya, (Louis, 1987: 133).
Pertama, kata temporalisme yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh wiliam James.
c.       Sumbangan John Dewey
Kontribusi Dewey bagi perkembangan kebudayaan Amerika yang paling bessar adalah formulasinya  tentang filsafat. Baginya, filsafat harus terarah pada masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk diklarifikasikan dengan masalah filsafat politik dan ekonomi.  Dalam bahasa lain, tradisi epistemologi dan problem metafisika juga patut diperhitungkan. Semuanya berpengaruh pada atau membentuk konsep filsafat sosial.
Berkaitan dengan semuanya, John Dewey percaya bahwa filsafat membawa pengaruh pada perkembangan pendidikan. Sebagai akibatnya pendidikan telah memberikan  pertimbangan argumen. Liberalisme Dewey telah mempengaruhi bidang-bidang seperti religius, politik dan estetika. Hal ini juga bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakili potensi-potensi yang ada pada budaya Amerika, (Anonim. (2010).
Dewey juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Dewey secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Jadi menurut Dewey  pendidikan harus bersifat partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru, (Muis,  2004:3).

B.     Sumbangan Filsafat Pragmatisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Teori James akan insting sangatlah bersifat individualis pada pelaksanaannya. Mengesampingkan pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya pada “Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan kepercayaannya akan tujuan dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan kelompok, dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna. Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan sebagai bagian dari diri untuk menjadikan pribadi yang lebih baik.
 Sumbangan James yang paling berpengaruh terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan kebiasaan. James mengtakan: ` “Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah untuk membuat ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk menemukan dan mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup. Untuk itu kita harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri dari jalan yang memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari penyakit. Semakin banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita lakukan dengan terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang dapat digunakan untuk hal yang penting lainnya”, (Anonim. (2010).
Kontribusi Dewey bagi perkembangan kebudayaan Amerika yang paling bessar adalah formulasinya  tentang filsafat. Baginya, filsafat harus terarah pada masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk diklarifikasikan dengan masalah filsafat politik dan ekonomi.  Dalam bahasa lain, tradisi epistemologi dan problem metafisika juga patut diperhitungkan. Semuanya berpengaruh pada atau membentuk konsep filsafat sosial.
Berkaitan dengan semuanya, John Dewey percaya bahwa filsafat membawa pengaruh pada perkembangan pendidikan. Sebagai akibatnya pendidikan telah memberikan  pertimbangan argumen. Liberalisme Dewey telah mempengaruhi bidang-bidang seperti religius, politik dan estetika. Hal ini juga bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakili potensi-potensi yang ada pada budaya Amerika, (Anonim. (2010).
Dewey juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Dewey secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Jadi menurut Dewey  pendidikan harus bersifat partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru, (Muis,  2004:3).

II.    EKSISTENSIALISME
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai “aku” atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada), (Tafsir, 2009:218).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum, ia selalu sedang ini atau sedang itu,(Tafsir, 1992:191).
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu dibedakan dengan filsafat eksistensi, menurut Tafsir (dalam Hasan, 1974:7) menjelaskan bahwa Filsafat eksistensi yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan tetapi cara beradanya tidaklah sama antar keduanya. Manusia berada di dalam dunia, ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Adapun artinya  manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya tersebut disebut dengan obyek.
Hasan, (1974:7) menyebutkan Ciri-ciri aliran eksistensialisme, meliputi:
1.      Orang yang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya;
2.      Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada;
3.      Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badan;
4.      Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.

A.     Tokoh-tokoh Filosof dan Ajarannya
1.      Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)


a.      Riwayat Hidup Soren Aabye Kierkegaard
Text Box:  Sumber; https://www.google.com

Soren Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf pada abad ke-19. Kierkegaard lahir pada tanggal 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark dan meninggal dunia tanggal 11 November 1855 saat berumur 42 tahun.  saat ini kierkegaard dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme.  Kierkegaard lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Kierkegaard mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Kierkegaard menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini Kierkegaard apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran, (Dagun 1990:47).

b.      Ajaran dan Karya Kefilsafatan Soren Aabye Kierkegaard sebagai berikut:
1) Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Kierkegaard mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber, (Dagun 1990:49).
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, Kierkegaard memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Kierkegaard mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya Kierkegaard memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani, (Tafsir, 2013: 222).
Selanjutnya Tafsir, (2013:222). Menjelaskan bahwa Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
2) Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya, (Dagun 1990:50-51).
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
 Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka Kierkegaard juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
 Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Kierkegaard bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religious, (Hadiwijono, 1980: 125).
3) Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Kierkegaard menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal,(Dagun 1990:52).
Selanjutnya Kierkegaard mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak, (Dagun 1990:94).
Karya –karya Soren Kierkegaard
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen,dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. karya-karya Kierkegaard diantaranya:
1)      Either/Or (Enten/Eller) – 1843
Buku ini terdiri dari dua bagian yang mempertentangkan pandangan hidup yang estetis dengan yang etis. Karya yang panjang ini menampilkan catatan-catatan pribadi, esai-esai dan percobaan-percobaan psikologis untuk menggoda ahli estetika serta serangkaian surat yang ditulis seorang hakim kepada ahli estetika yang menyanjung sisi positif pernikahan dan kehidupan etis. Struktur dialektis karya ini tidak memberikan penyelesaian, atau "sintesis" dalam konsep Hegelian, untuk dua pandangan hidup yang bertentangan. Karya ini berfungsi baik sebagai kritik maupun parodi terhadap filsafat Hegelian.
2)      Fear and Trembling (Frygt og Baeven) – 1844
Mengambil contoh pegorbanan Ishak oleh Abraham untuk menyelidiki penundaan etika teleologi (ajaran atau kepercayaan bahwa segala tindakan disebabkan karena adanya tujuan yang ingin dicapai). Hal ini merupakan kebutuhan akan ketaatan mutlak terhadap perintah Allah meskipun perintah itu tidak masuk akal atau tidak bermoral.
3)      Philosophical Fragments (Philosophiske Smuler) - 1844 
Melalui karya ini, Kierkegaard memerinci elemen subjektif yang diperlukan dalam mendapatkan pengetahuan dengan menelusuri doktrin inkarnasi dan apakah kebahagiaan abadi dapat didasarkan pada peristiwa sejarah.
4)      Concluding Unscientific Postscript (Afsluttende Uvidenskabelig Efterskrift) – 1845
Sambungan Philosophical Fragments yang berpendapat bahwa semua kebenaran harus secara subjektif cocok dan tidak ada jaminan adanya pengetahuan objektif. Kierkegaard mengangkat Kristus, tokoh yang penuh paradoks, yang adalah manusia dan Allah. Kierkegaard menekankan bahwa hal ini tidak dapat dipahami secara logis (sebagaimana dalam sintesa Hegel). Seseorang hanya bisa memiliki sebuah komitmen yang subjektif yang sungguh-sungguh terhadap kepercayaan ini atau kepercayaan lain.
5)      Works Of Love (Kjerlighedens Gjerninger) – 1846
 Karya ini berisi Sebuah esei yang meneliti perintah "Kasihilah sesamamu seperti kau mengasihi dirimu sendiri'. Karya itu menekankan kualitas cinta yang tak terlukiskan, meneliti siapakah 'sesama' dan bagaimana cinta sejati (tidak egois) hanya mungkin didapat jika kita mengenal Tuhan dan menjadi wujud alami iman.
6)      Practice in Christianity (Indøvelse I Christendom) - 1850
Karya ini merupakan serangan yang murni dilancarkan Kierkegaard, ditujukan kepada gereja mapan yang mencoba meminimalisir serangan dalam rangka melayani dunia. Melalui karya ini, Kierkegaard hendak memperkenalkan kembali kekristenan PB kepada dunia Kristen.
7)      The Changelessness of God: A Discourse (Guds Uforanderlighed. En Tale) – 1855
Karya yang didasarkan pada khotbah tentang Yakobus 1:17 ini memuji ketetapan Tuhan dan mendorong pembaca untuk mengikut Dia. Tapi pembaca juga diingatkan untuk berhati-hati dalam bertindak karena mereka akan diadili oleh Tuhan dengan ketetapan tak tergoyahkan yang sama, (Anonim. (2015).
c.       Sumbangan Soren Aabye Kierkegaard
Kierkegaard melihat manusia sebagai subjek yang bergelut dan bertindak sebagai pelaku dalam hidup konkrit. Dia ingin agar subjek menampilkan diri apa adanya – menyelaraskan kehidupan batin dengan kehidupan lahiriah (tampilan luar). Tak boleh ada kepalsuan dan kemunafikan dalam hidup. Pandangan ini sungguh pas dan mengena dengan konteks kita saat ini, khususnya di Indonesia – fenomena calon legislatif (caleg). Banyak caleg yang mengumbar janji muluk kepada rakyat, bahwa mereka akan memperhatikan kesejahteraan rakyat dan sungguh mewakili suara rakyat (tampilan lahiriah). Namun, sebenarnya dalam batin mereka hanya menginginkan pemuasan akan kebutuhan pribadi mereka, bukan kebutuhan atau kepentiangan rakyat. Di sini, pandangan Kierkegaard menjadi “cambuk“ bagi mereka agar bisa menampilkan kehidupan secara jujur – tidak palsu, tidak munafik.
Kierkegaard juga ingin agar manusia menampilkan “diri otentik“ dengan keluar dari kerumunan atau massa. Dalam kerumunan orang tidak menampilkan individualitasnya, tetapi terlarut dalam arus massa dan ikut akut arus. Pandangan ini dapat diterapkan dalam kehidupan agama Katolik dewasa ini. Banyak orang yang masuk Katolik atau tetap mengaku diri Katolik karena ikut arus saja (khususnya di daerah yang mayoritas beragama Katolik), bukan lahir dari penghayatan pribadi. Orang bersembunyi di balik ”label“ agamanya tanpa tahu dan menghayati dengan sungguh bagaimana seharusnya beriman dan beragama. Di sini tidak hendak mengatakan bahwa kita keluar dari persekutuan agama Katolik, tetapi bagaimana menghayati iman secara personal dan dengan sungguh-sungguh. 
Pandangan lain Kierkegaard yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita dewasa ini adalah soal kebenaran sebagai subjektivitas yang bermuara pada penyerahan kepada Yang Tak Terbatas. Yang mau ditonjolkan di sini adalah iman (dengan diri yang terbatas mengakui realitas yang tak terbatas). Dalam kehidupan beragama dibutuhkan iman. Imanlah yang menghidupkan agama sekaligus menjawab keraguan, kecemasan dan ketakpastian manusia. (Anonim,2014).
2.      Jean Paul Sartre (1905-1980)
a.      Text Box:  Sumber; https://www.google.com



Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Sartre berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang perwira besar angkatan laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika Sartre masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa Sartre diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi Sartre banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.Saat diasuh oleh kakeknya, (Dagun 1990:94).
Charles Schweitzer sangat menyayangi cucunya, dan menjaganya tetap di rumah serta memberikan pendidikan sendiri sampai berusia sepuluh tahun. Masa pengurungan ini menguntungkan Sartre karena dapat mengasah daya nalarnya melalui buku-buku studi kakeknya, (Munir, 2008 :104).
Selanjutkan Dagun, (1990:95). menjelaskan meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan Sartre sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya Sartre justru tidak menganut agama apapun. Sartre atheis. Sartre  mengaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak Sartre berusia 12 tahun. Bagi Sartre, dunia sastra adalah agama baru, karena itu Sartre menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang. Sartre belajar pada ecole normale superior pada tajun 1924-1928 M. setelah tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M, Sartre mengajarkan filsafat dibeberapa lycess, baik diparis maupun tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada institute prancis di Berlin dan di Universitas Preiburg. Pada tahun 1938 M, terbit novelnya yang berjudul La Nausee, edangkan Le Mur terbit pada tahun 1939 M.


b.      Ajaran dan Karya kefilsafatan Jean Paul Sartre
Menurut Sartre, eksisitensi manusia mendahului esensinya. Filasafat eksistensialisme membicarakan cara berada di dunia ini terutama cara berada manusia. Dengan kata lain silsafat ini menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral pembahasanya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi.  Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak disebut bereksitensi. Filasafat eksistensialisme  mendamparkan manusia ke dunianya dan menghadapkan manusia kedirinya sendiri.
Menurut ajaran eksistensialisme Sartre, eksisitensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului eksisitensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Didalam filsafat idealism, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (essence-nya). Jadi, hakikat manusia mempunyai cirri khas tertentu, dan cirri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya. Formula ini merupakan prinsip utama dan pertama  di dalam filsafat eksisitensialisme, (Hakim, 2008: 336).
Menurut Sartre (dalam Palmer , 2007:21) seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan bertindak berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas pendapat ‘esensi mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program. Artinya bahwa dalam benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi .
Contohnya dapat kita lihat dari gunting. Gunting mempunyai ide di dalamnya, yaitu alat untuk menggunting sesuatu. Bila kita menemukan benda, dan itu dapat digunakan untuk menggunting sesuatu, kita dapat menyebutnya gunting. Karena manusia sebagai pembuat benda (gunting) sudah memberikan ide gunting dalam benda yang sekarang kita sebut dengan gunting. Tetapi hal ini tidak berlakuk untuk manusia. Karena tidak ada Tuhan yang menciptakan ide tentang manusia -setidaknya itulah yang dikatakan Sartre.
Hassan, (1976:103). Menjelaskan bagi Sartre , manusia ada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri. Dengan lain perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.
Demikian Sartre menegaskan asas pertama dari ajarannya. Ini berarti pula bahwa bagi Sartre asas pertama sebagai dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai subyektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya, maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya itu, tiada lain yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri itu, manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan, (Hassan,1976:103).
Dalam artian tertentu, definisi Sartre mengenai eksistensialisme hanya meradikalkan pandangan yang sangat umum di antara kebanyakan ahli ilmu sosial : bahwa tidak ada naluri yang menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai kucing. Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak ada pilihan. (Laba-laba penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung berkicau pasti berkicau). Benar bahwa ada fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh manusia yang bekerja dalam keharusan daripada dalam kebebasan, tetapi fungsi-fungsi tubuh manusia yang seperti itu tidak pernah menghasilkan tindakan-tindakan manusia sesungguhnya, sebagai contoh adalah perbedaan mengedipkan mata (tindakan manusia) dan berkedip (bukan tindakan manusia sesungguhnya), (Palmer, 2007: 26).
Karya-karya Jean Paul Sartre
Siswanto, (1998: 140). Mengatakan bahwa Jean Paul Sartre  Hasil karya filsafatnya yang utama adalah “Being and Nothingness” (1943).  Dalam diri (L’entre-en-soi) dan “ber-ada-untuk-diri” (L’entre-pour-soi).
1)      Berada dalam diri (L’entre-en-soi) adalah semacam berada an sich, berada itu sendiri. Filsafatnya berpangkal dari realitas yang ada, karna realitas yang ada itulah yang kita hadapi, kita tangkap, kita mengerti. Ada banyak yang berada, contoh: pohon, batu, binatang, manusia dan sebagainya. “Berada” disini mewujudkan ciri segala benda jasmaniah, materi.
2)      Berada untuk diri (L’entre-pour-soi) ialah berada yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia.Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada, misalnya ia bertanggungjawab atas fakta, bahwa ia seorang pegawai, atau seorang pedagang, atau seorang pencuri dan sebagainya.Manusia adalah “berada-untuk-diri (L’entre-pour-soi)”. Oleh karena itu maka manusia terwujud karena “berada” itu meniadakan diri (se neantise). Manusia sebagai manusia, sebagai L’entre-pour-soi terdiri dari peniadaan. Ada dua peniadaan yaitu: a) Peniadaan lahiriah (Negation externe), b) Peniadaan batiniah (Negation interne).
c.       Sumbangan Jean Paul Sartre
Berdasarkan pada hasil interpretasi tentang kesadaran, Sartre lalu memperkenalkan suatu metode fenomenologis “baru”, yang ia sebut “Psikoanalisis Eksistensial”. Hasil studinya mengenai psikoanalisis itu membawa Sartre pada kesimpulan bahwa psikoanalisis dapat membantu usahanya untuk menerangi dan menganalisa aspek-aspek gelap dari kesadaran, yang selama ini memang merupakan pusat perhatiannya. Ia percaya bahwa “perilaku yang tampak” itu sebenarnya mengandung makna-makna simbolis yang kekuatan-kekuatan penggeraknya perlu diungkap lebih dalam lagi.
Gejala yang hendak diungkap dan digali maknanya oleh Sartre melalui Psikoanalisis Eksistensialnya, tidak lain adalah gejala yang sama dengan yang digali oleh psikoanalis, yakni “ketidaksadaran” (atau: “kesadaran pra-reflektif”).  Hanya saja gejala ketidaksadaran itu harus bisa diuji dan dialami langsung melalui faktor-faktor yang bisa dijangkau oleh kesadaran.
Menurut  Sartre, psikoanalis eksistensial, seperti halnya psikoanalisis, harus mulai dengan perilaku-perilaku yang dapat diamati bukan hanya melalui metode “introspektif”, tetapi juga melalui metode “objektif”. Akan tetapi setelah melewati tahap deskriptif ini, psikoanalis harus melanjutkan tugasnya untuk mengurai makna-makna dari perilaku-perilaku tersebut, (Anonim 2013).

3.      Martin Heidegger (1905 M)
a.      Riwayat Hidup Martin Heidegger
Text Box:  Sumber; https://www.google.comMartin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Heidegger menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg di mana Heidegger belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lebre von Urteil in Psicologismus (Ajaran tentang putusan dalam Psikologi). Heidegger adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortinus. Sebelumnya Heidegger kuliah di Fakultas Teologi sampai empat semester, lalu pindah ke filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, pengaruh filsafat Neo- Kantianisme juga banyak memberi pengaruh padanya, (Bertens, 1990: 137).
Pada tahun 1909 Heidegger masuk Universitas Freidburg untuk belajar di fakultas teologi.  Setelah mempelajari. Setelah mempelajari teologi selama empat semester, Heidegger mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Profesor termashur di fakultas filsafat pada waktu itu adalah Heinrich Rickrt, yang sudah kita kenal sebagai salah seorang penganut aliran neokantianisme. Dua tahun kemudian Heidegger mempertahankan Habilitations schrift-nya, yang berjudul Die Kategorien-und Bede utungslehre des Duns Scotus (ajaran Duns Scotus tentang kategori- kategori dan makna). Tahun 1915 Martin Heidegger mulai mengajar di Universitas Freiburg. Ketika Heidegger di bangku kuliah Heidegger sudah mendalami fenomenologi Edmund Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freidberg, kehadiran itu membawa pengaruh besar pada diri Heidegger. Di Universitas ini Husserl mengagumi kepintaran Heidegger dan dipercayakan sebagai asistensinya. Pada tahun 1923, Heidegger diundang ke Universitas Marburg dan diangkat menjadi professor, (Bertens. 1990: 140).
b.      Ajaran dan Karya Kefilsafatan Martin Heidegger
Ada dua hal mendasar yang memecut lahirnya pemikiran eksistensialis Heidegger, yaitu pertama dehumanisasi atau depersonalisasi dimana pasca renaissance dan enlightenment atau revolusi industry, manusia telah menjadi alat- alat industry, alat mekanik, zaman mesin (age of automation mechanisme) sehingga betul- betul membuat manusia menjadi robot, depersonalisasi. Kedua adalah adanya detotalization. Gejala ini terlihat dengan jelas, baik pada golongan materialisme ataupun idealisme yang mengakui sebagian sebagai keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek karena menghadapi objek. Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya, (Zubaedi, 2007: 152).
Selanjutnya Zubaedi (2007: 152). Menjelaskan Analisis filsafat eksistensialisme membedakan cara berada manusia dengan cara berada benda, dengan menggunakan istilah, bahwa benda- benda itu berada sedangkan manusia itu bereksistensi, sedangkan benda- benda di luar manusia itu tidak bereksistensi. Munculnya eksistensialisme sebagai suatu aliran filsafat, merupakan reaksi atas pandangan mengenai dunia yang terlalu optimistic tetapi dangkal dan terlalu yakin akan kemajuan. Gerakan ini bangkit dengan pandangan pesimis tentang masyarakat modern. Hanya manusialah yang bereksistensi. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaan sebelumnya.
Kebebasan manusia berarti manusia tidak menjadi objek yang dibentuk di bawah pengaruh keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dirinya dengan tindakan dan perbuatannya. Seorang manusia bebas mengambil tanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, dan tidak membenarkan diri berdasarkan hal- hal sekitarnya. Karena itu manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah. Eksistensialisme adalah suatu gerakan protes dalam filsafat modern. Istilah eksistensialisme bukan memberikan suatu sistem filsafat secara khusus karena ada sejumlah perbedaan – perbedaan yang besar antara semacam- macam filsafat yang dikelompokan sebagai filsafat eksistensialisme. Tetapi arus dasar gerakan ini sama yakni sikap berontak dan protes terhadap beberapa sifat filsafat tradisional dan perilaku masyarakat modern. Gerakan eksistensialisme ingin mengembalikan persoalan pada eksistensinya. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya adalah manusia. Eksistensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara berada manusia itu berbeda dengan cara berada dari benda- benda. Kaum eksistensialisme yang terkenal adalah Martin Heidegger, ( Dagun. 1990: 15-16).
Menurut Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dijawab melalui jalan ontology, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenotogis. Jadi, yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.Satu-satunya yang berada dalam arti yang sebenarnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat ditengah-tengah dunia sekitarnya. Keberdaan manusia disebut desein (berda disana, ditempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri ditengah-tengah segala yang berada. Desein manusia disebut juga eksistensi, (Hakim, 2008: 334).
Menurut Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi ia dilemparkan kedalam keberadaan. Walaupun keberadaan manusia tidak mengadakan sendiri, bahakan meupakan keberadaan yang melempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas keberadanya itu. Manusia harus merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya, tetapi dalam kenyataanya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia, yang timbul dari Geworfenheid atau situas terlemparnya itu, (Hakim, 2008: 335).
Hakim (2008:335). Menjelaskan Kepekaan diungkapkan dalam suasana batin di dalam persaan dan emosi. Diantara suasana batin dan perasaan itu, yang terpenting ialah rasa cemas. Latar belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba merasa sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa seluruh hidup kita tiada artinya. Oleh karena itu, dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Akan tetapi, justru karena itu, manusia memiliki kemungkinan untuk keluar dari eksisitensi yang tidak sebenarynya itu, keluar dari belenggu oleh pensapat orang banyak dan menemukan dirinya sendiri. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnyamenghadapi hidup yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah, cara bereksistensi yang sebenarnya. Inilah cara menemukan diri sensiri. Disini orang akan orang akan mendapatkan pegertian atau pemikiran yang benar  tentang manusia dan dunia.
Menurut  Dagun (1990: 79). Karya- karya Martin Heidegger antara lain:
1). Sein und Zeit (Ada dan Waktu), 1927
2). Kant und das Problem der Metaphysic (Kant dan Metafisika), 1929
3). Wast ist Metaphysic (Apakah Metafisika?), 1929
4). Holzwege ( Jalan- jalan buntu), 1950
5). Vortrage und Aufsatze, 1957
6). Identitat und Differenz, 1969
7). Zur Sache des Denkes, 1969
8). Einfuhrung in die Metaphysic, 1953
9). Was heist Denken, 1954
10). Nietzhe, 1961
11). Phanomenologie und theologie, 1970.
c.       Sumbangan Martin Heideggerd
Filsafat Martin Heidegger (1889- 1973) sangat berpengaruh dalam permasalahan epistemology dan humaniora. Permasalahan yang sangat menarik yaitu permasalahan mengenai pemahaman bahwa seluruh manusia menemukan dirinya di dunia ini melalui asumsi- asumsi pemahaman. Pengertiannya adalah asumsi, harapan dan konsep dipaparkan sebelum berfikir atas eksperimen. Analisa kehidupan sehari- hari membuktikan, bahwa sesuatu yang dapat dipahami merupakan akibat dari faktor yang tidak diketahui yang didapatkannya sebelum berfikir.
Setiap interpretasi, termasuk ilmu biologi, membutuhkan asumsi, contohnya ketika seseorang melihat batu adalah sebagai batu, bukan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, langkah awal setiap penafsiran, selalu ada terlebih dahulu pendapat atas segala eksperimen. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai eksisetensi manusia yang memiliki sarana segala kondisi seseorang akan adanya pendapat. Heidegger juga meyakini bahwa penafsiran Desain dan eksistensi berdasar pada teks. Karena desain selalu memahami dan menafsirkan. Desain menafsirkan dunia dan diri, yakni memandang kehidupannya dengan metode khusus.
Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait dengan kecerdasan identitas. Melalui filsafat Martin Heidegger eksistensi hidup manusia menjadi sejati, karena manusia mempunyai pengertian tentang keberadaannya hidup di dunia dan kesadarannnya akan Tuhan. Pengaruh dari filsafat Heidegger yaitu manusia  mampu menangkap kehadiran-Nya yang disebabkan bahasa ucap mengenai “ada” .
Percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu eksistensialis menggunakan bentuk- bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan hati. Menekankan pada keputusan dan tindakan, sementara pemikiran dan analisis tidaklah mencukupi. Manusia modern harus melepaskan diri dari keterkungkungan dan ketergantungan pada segala sesuatu di luar dirinya (Anonim 2014).

B.     Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu, terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham materialisme yang mengatakan bahwa: “Manusia itu pada hakekatnya adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu. Berikut adalah sumbangan filsafat Eksistensialisme terhadap Ilmu pengetahuan masa kini :
1.      Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam menentukan pilihannya.
2.      Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.
3.      Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.
4.      Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai individu.
5.      Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.
6.       Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional, hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia. (Putra (2014).
7.       
III. FENOMONOLOGI
Juhaya menjelaskan dalam Bertens, (1981:109). Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakan diri, (Bertens, 1981:109). Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938), ia adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya, (Juhaya, 2005:180). Selain fenomenologi Edmund Husserl, beberapa ahli filsafat yang dapat diajukan sebagai eksponennya diantaranya Max Scheler,( Hakim, 2008:324).

A.     Tokoh-tokoh Filosof dan Ajarannya
1.      Edmund Husserl (1859-1938)
a.      Riwayat Hidup Filosof
Text Box:  Sumber;https://www.google.com/search?q=edmund+husserlFenomenologi merupakan gerakan filsafat dan juga aliran ilmu (metodologi ilmu), pertama kali diperkenalkan soleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl,  lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi. Di universitas Husserl belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat, mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina Husserl tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Husserl juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia, (Hamersma,1983:114).
b.      Ajaran  dan Karya Kefilsafatan Edmun Husserl
Istilah “Fenomenologi” pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert (1728 – 1777). Kemudian istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan istilah fenomenologi secara berbeda. Baru Edmund Husserl yang memakai istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara tepat, (Bakker,1986: 110).
Contoh misalnya,dalam  karya Hegel yang berjudul “Phenomenolgy of Spirit”. Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda dengan “fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita alami dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi. fenomenologi  pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran kita, (Lavine, 2002:382).
Sebagai satu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20, kemudian menjalar ke Prancis dan Amerika serikat. Pencetus aliran fenomenologi adalah Edmund Huserl, (Muzairi,2009:142).
Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak Descartes, kesadaran selalu dipahami sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup), artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas, dimana kesadaran bersifat “intensional”, yakni realitas yang menampakkan diri, (Maksum, 2004:58).
Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus ingat bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Bagi fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang nampak. Fenomenologis memperhatikan benda-benda yang kongkrit,bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran kita adalah ukuran dari pengalaman, (Muzairi,2009:142).
Sebagai seorang ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan  aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah “ilmu setepat-tepatnya” dan pada akhirnya kepastian akan diraih, (Lavine,2002:383).
Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sachen (to the things). Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri. Akan tetapi “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut denganwesenchau, melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala, (Juhaya,2005:179-180).
Juhaya mengatakan dalam Bakker (1986:112). Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk “berbicara tentang dirinya sendiri”.
Menurut Juhaya (2005:181). Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua karung. Namun yang dimaksud adalah “ melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral. Tidak menggunakan teori-teori atau pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.Ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologi, yaitu:
1)      Reduksi Fenomenologis
Juhaya mengatakan dalam Brouweer (1967;4). Bahwa Fenomena adalah menampakan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah rill atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjektivitas disingkirkan. Termasuk didalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karna itulah reduksi ini disebut fenomenologis. Reduksi pertama ini merupakan “pembersih diri” dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.
2)      Reduksi Eidetis
Juhaya mengatakan dalam Hadiwidjono (1980;183). Bahwa Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan didalam kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas.
Selanjutnya Juhaya mengatakan dalam (Bakker, 1986:116) bahwa Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki.  Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambah salah satu sifat.
 Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eidetic ini menunjukan bahwa dalam fenomenologin criteria kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan member harapan atau tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya, (Juhaya, 2005:182).
3)      Reduksi Fenomenologi-Transendental
Didalam reduksi ini yang ditempatkan diantaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbale balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri, (Hadiwidjono, 1980:144).
Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakan diri dalam kesadaran. Dengan demikian, yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri. Kesadaran disini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan fenomena tertentu. Kesadaran yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transcendental, yaitu yang ada bagi diriku di dalam aktrus-aktrus.  Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku”transcendental, (Juhaya, 2005: 182-183).
Selanjutnya Juhaya, (2005: 184).  menjelaskan Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, di dalam system filssafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada idealisme transcendental seperti digambarkan diatas.
Karya- Karya Edmund Husserl diantaranya:
1)      Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis)tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
2)      Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3)      Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif), (Abadi, (2010).
c.       Sumbangan Edmund Husserl
Fenomenologi memberikan kontribusi yang sangat penting dalam sejarah psikologi. Aliran fenomenologi didirikan oleh Roger Brentanto (1838-1917), guru  Edmund Husserl. Penelitian mengenai jiwa manusia sengaja dilakukan oleh Brentanto untuk menentang premis idealisme. Penelitian tersebut menyatakan bahwa “Geist” (roh atau jiwa) yang universal memiliki cara tersendiri di dalam dunia ini.  Brentanto menyatakan bahwa sifat kejiwaan yang abstrak tidak dapat dijadikan titik tolak dalam psikologi. Psikologi harus dimulai dari kasus individu, yaitu kasus orang pertama yang dapat dipahami langsung oleh peneliti. Oleh karena itu, kontribusi aliran fenomenologi  Brentanto adalah membedakan antara obyek material (apa yang tampak) dan obyek intensional (corak logika) dari suatu keadaan mental untuk memahami individu.
Kontribusi selanjutnya adalah fenomemologi sebagai metode dalam psikologi yang berusaha untuk menyiapkan dan menjelaskan gejala-gejala tingkah laku tersebut mengungkapkan dirinya secara langsung dalam pengalaman (Van Kaam, 1966). Kontribusi fenomenologi nantinya digunakan oleh aliran psikologi gestalt sebagai metode untuk menganalisis gejala psikologis. Fenomenologi digunakan oleh aliran  psikologi gestalt untuk meneliti gejala-gejala dari proses-proses psikologis seperti persepsi, belajar, ingatan, pikiran, dan perasaan.(Anonim, 2012).
2.      Max Scheler (1874-1928)
a.      Text Box:  Sumber: https://www.google.com/search?q=max+scheler&espv
=



Riwayat Hidup Filosof
Max  Scheler adalah filsuf yang terkenal dari aliran fenomenologi Husserl. Dia dilahirkan di Munchen tahun 1874, mendapat gelar doctor pada tahun 1897 dibawah pimpinan filsuf Rudolf Eucken. Sesudah menjadi tersohor karena karangan-karangannya, maka pada tahun 1928 dia dipanggil ke Frankrut a.M untuk menjadi guru besar. Akan tetapi sebelum mulai tugasnya, Scheler sudah meninggal dunia,(Sudiarja,2006: 1341).
Ayahnya seorang Lutheran dan ibunya seorang Yahudi Ortodoks. Sebagai seorang anak remaja, Scheler masuk Katolik, karena ketertarikkannya pada ajaran mengenai cinta. Scheler belajar ilmu kedokteran di Munchen dan Berlin, Filsafat dan Sosiologi pada W.Dilthey dan G.Simmel pada tahun 1895. Seluruh hidupnya, Scheler memiliki pemikiran yang begitu berpengaruh bagi filsafat pragmatisme Amerika.
Pada tahun 1902, Scheler bertemu bertemu dengan Edmund Hursell seorang fenomenolog untuk pertama kalinya di Halle. Scheler tidak pernah menjadi murid Hursell. Akan tetapi, perjumpaan dengannya memberikan pengaruh yang besar bagi Scheler. Scheler menjadi seorang fenomenolog yang getol  menyebarluaskan ajaran Hursell ini. Dari tahun 1907-1910 Scheler mengajar pada universitas di Munchen. Scheler bergabung dengan lingkungan fenomenolog Munchen diantaranya M.Beck, Th. Conrad, J. Daubert, M.Geiger. D.Y Hildebrand, Th.Lipps, and A. Pfaender, (Jaya (2012).
b.      Ajaran dan Karya Kefilsafatan Max  Scheler
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi adalah Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris. Dan pemikiran yang paling utama Scheler adalah tentang fenomenologi etika.Dalam pandangan Scheler tentang fenomenologi etis, benda dianggap sebagai “sesuatu” yang bernilai; oleh karena itu, adalah keliru menginginkan inti nilai dari benda-benda, atau memandang keduanya dengan tempat berpijak yang sama. Dunia benda-benda terdiri atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh kekuatan alam dan sejarah. Dan jika nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka kehancuran tersebut akan mempengaruhinya. Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif, dan prinsip yang didasarkan diatasnya bersifat relatif, (Frondizi, 2001:109).
Dan bila dikaitkan dengan perbuatan manusia, maka menurut Scheler, manusia bukanlah pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu berada diluar diri manusia. Lebih lanjut Scheler mengatakan bahwa tugas manusia adalah mengakui nilai-nilai itu serta mengikutinya dalam hidup, (Poedjwijatna, 1997:140).
Karya-Karya Kefilsafatan
karya-karaya kefilsafatan Max Scheler dibagi ke dalam dua periode-Periode pertama rentang waktunya di mulai antara disertasinya pada tahun 1897 hingga karyanya On the eternal in Man ( manusia dalam keabadian) pada tahun 1920/1922—volume I-VII. Sedangkan pada periode kedua, masa-masa dari tahun 1920/1922 hingga 1928 yang terangkum dalam Vol. VIII-XV.
Dalam periode pertama, karyanya yang paling menonjol adalah penyelidikannya mengenai nilai-etika, perasaan, agama, dan teori politik. Dalam tahun-tahun ini ada dua karya besar yang dihasilkannya, The Nature of Sympathy dan Formalisme Etics dan non- Formal etichs of Vlues. Dari karya-karyanya ini, Scheler memusatkan perhatiannya pada, perasaan manusia, cinta, dan kodrat manusia. Scheler memperlihatkan bahwa ego, akal budi dan kesadaran manusia mengisyarakan lingkungan manusia dan menyangkal sebuah kemurnian ego, kemurnian akal budi, atau kemurnian kesadaran. Di sini, Scheler mengkritik apa yang telah ada sebelumnya yakni apa yang diajarkan oleh Husserl, Kant, dan Idealisme Jerman. Bagi Scheler, ego, akal budi dan kesadaran adalah hati manusia yang merupakan tempat duduk dari cinta lebih dari pada sebuah ego yang transcendent, akal budi, kehendak atau penginderaan. Dan hal ini merupakan nilai bagi essensi dari eksistensi manusia. Scheler membeda-bedakan beberapa tipe perasaan, lebih dari itu ada yang sungguh-sungguh menyembunyikan diri dan pribadi, dan di antara itu cinta menampakan diri dan menjadi pusatnya. Kemanusiaan manusia atas dasar Cinta (ensamans).
Dari sini mengalirlah sebuah prinsip yang besar yang melewati seluruh periode pertama ini: perasaan dan cinta memiliki logikanya di dalam diri mereka sendiri, yang sungguh-sungguh berbeda dari logika akal budi. Di sini Scheler mengikuti Blaine Pascalfilsuf dan matematikawan asal Perancis.
Dalam periode kedua (1920/1922-1928) Scheler menentang ide mengenai Tuhan sebagai Pencipta. Baginya, dewa, manusia dan dunia adalah satu bentuk yang “menjadiada” karena proses penyatuan yang terjadi dalam waktu yang absolut. Waktu yangAbsolut bukanlah waktu yang dapat diukur dengan waktu atau jam yang digunakan olehilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Waktu absolut mirip waktu yang lewat ketika kita tidak berpikir mengenai waktu. Contoh, ketika kau sedang membaca batu nisan ini. Waktu absolut sudah menjadi sifatnya di dalam dirinya dalam seluruh proses penerusan generasi, memeram, memodifikasi diri; mencakup proses atomic, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Scheler mengatakan dengan sangat simple: tanpa sebuah self- generating di dalam hidup manusia maka tidak ada waktu. Maka pada gilirannya, waktu yang absolut adalah sebuah kondisi Scheler memperlihatkan keterukuran waktu ketika mengidentifikasinya sebagai waktu, (Jaya (2012).


c.        Sumbangan Max Scheler
Sebagai seorang filsuf Max Scheler mengarahkan serta mendasarkan pemikirannya pada masalah nilai. Berhadapan dengan pertentangan antara pandangan objektif dan subjektif mengenai nilai. Scheler memandang nilai sebagai suatu kualitas independen yang tidak berbeda dengan benda namun tidak tergantung pada benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Sebagaimana warna hijau tidak berubah menjadi merah jambu manakala objek yang berwarna biru di cat merah jambu, demikian juga halnya dengan nilai yang tetap tidak berpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam objek yang digabunginya. Pengkhianatan seorang sahabat, misalnya, tidak mengubah nilai persahabatan. Namun, meskipun demikian penangkapan akan nilai-nilai tersebut tergantung bagaimana keterbukaan manusia sebagai subjek untuk dapat menangkapnya sebagai.
Nilai dalam pandangan Scheler secara apriori tersusun secara hierarkis dari tingkat yang tinggi menurun ke tingkat lebih rendah. Hierarki ini tidak dapat dideduksikan secara empiris, tetapi terungkap melalui tindakan preferensi, yaitu melalui intuisi preferensi-evidensi. Empat tingkat Hierarki nilai ini terdiri dari, yaitu : pertama, adalah nilai kesenangan -Pada tingkat terendah, kita dapat menemukan deretan nilai-nilai kesenangan dan nilai kesusahan, atau kenikmatan dan kepedihan. Kedua, adalah nilai vitalitas atau kehidupan, yang terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan meliputi yang luhur, halus, atau lembut hingga yang kasat atau biasa, dan juga mencakup yang bagus yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai Ketiga terdiri dari nilai-nilai spiritual, yang memiliki sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Nilai keempat adalah nilai kesucian dan keprofanan. Nilai ini hanya tampak pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolut. (Anonim, 2012).
B.     Sumbangan Fenimologi Terhadap Ilmu Masa Kini
Fenomenologi banyak digunakan oleh para pemikir-pemikir di abad modern ini. Seperti misalnya Hasan Hanafi yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini untuk menganalisis realitas masyarakat, politik, ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat. Hasan Hanafi sendiri mengakui pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metodologi yang tepat dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir, (Ridwan, 1998: 22) .
Apa yang dikatakan Hassan Hanafi tersebut memang tidak salah, sebab kaitannya dengan studi agama, pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia untuk memperoleh “essensi” keberagamaan manusia serta struktur fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal, transendental dan inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia secara partikular-eksklusif. Kaitannya dengan fenomenologi agama Scheler, Penulis berpendapat bahwa pendekatan fenomenologi hendaknya berusaha mengembalikan studi agama secara adil dalam menatap dan memahami kompleksitas keberagamaan manusia.
Hal ini dikarenakan pendekatan fenomenologi bersifat value-laden, yakni terikat oleh nilai-nilai keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para pengikut agama yang ada, (Abdullah, 1999:11-13).
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal, (Prilia (2014).
Banyak  sekali sumbangsi fenomenologi terhadap kemajuan ilmu saat ini, salah satunya yaitu terhadap gejala sosial atau ilmu sosial. Dalam peta tradisi teori ilmu sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadi landasan pemahaman terhadap gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang terdapat dalam ilmu sosial itu adalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum dikenal sebagai pendekatan yang dipergunakan untuk membantu memahami berbagai gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian, fenomenologi secara kritis dapat diinterpretasikan secara luas sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum memberikan pengaruh emansipatoris (ranah pemikiran pembebasan (emansipatoris) ) secara implikatif kepada metode penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai subyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari, (Anonim, (2014).

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan isi makalah yang telah diuraikan dapt disimpulkan bahwa:
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang yang berpandangan bahwa kriteria  kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak.
Eksistensialisme tentunya berbicara hakekat manusia dan segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya seperti bakat, keinginan, kebutuhan, kewajiban yang harus dikerjakan oleh manusia yang sebagai halifah dimuka bumi dengan kata lain adalah manusia mempunyai potensi yang harus dikebangkannya
Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakan

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A . (1999). Studi Islam; Normativitas atau Historisitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bakker, A.(1986).  Metode-metode Filsafat.  Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bertens. (1990). Filsafat Barat Abad XX Inggris- Jerman. PT. Gramedia: Jakarta
Brouweer,M.A.W. (1967). J.F. Donceel,S.J, Philosophy Antropology. Kansas city:Sheeds Andrews and McMeel
Dagun, S. M. (1990).Filsafat Eksistensialisme. Rineka Cipta: Jakarta
Frondizi, R. (2001). Pengantar Filsafat Nilai, Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hadiwidjono, H.(1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jakarta: Yayasan Kanisius
Hadiwijono, H,(2011). Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius
Hakim, A.A  dkk..( 2008). Filsafat Umum.. Bandung: PustakaSetia
Hamersma, H. (1983).  Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia
Hassan, F. (1976). Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta :Pustaka Jaya
Juhaya, P.  S.(2005). Aliran-Aliran Filsafat&Etika. Jakarta: Kencana
K. Bertens. (1981). Filsafat Barat dalam Abad XX.Jakarta: PT. Gramedia.
Lavine, T.Z. (2002).  Petualangan Filsafat; dari Socrates ke Sartre, terj. AndiIswanto, et. al., Yogyakarta: Jendela.
Louis O. K. (1987). Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana
Maksum, A.  et.al.(2004).Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern; Mencari “VisiBaru” atas “RealitasBaru” Pendidikan Kita. Yogyakarta: IRCiSoD
Muis Sad Iman. (2004). Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey. Yogyakarta: SafiriaInsani Press & MSI UII
Munir, Misnal, (2008). Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Yogyakarta : Lima
Muzairi. (2009). FilsafatUmum. Yogyakarta: Teras
Palmer, D.D. (2007). Sartre untuk Pemula,Yogyakarta :Kanisius
Poedjwijatna, I.R. (1997). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Cet. X. Jakarta: RinekaCipta.
Richard. O, Filsafat Untuk Pemula, Yogyakarta :Kanisius
Ridwan, A.H. (1998). Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam. Yogyakarta: Ittaqa Press
Risieri, F. (2001).  Pengantar Filsafat Nilai, Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Siswanto, J.(1998). Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta :PustakaPelajar
Sudiarja, A. Dkk.(2006). Karya Lengkap Diyarkarya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Syadali, A. M. (2004). Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
Tafsir, A.(1992). Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Tafsir, A.(2013). Filsafat Umum. Akal dan  Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Zubaedi. (2007). Filsafat Barat. Jogjakarta: Ar- russ Media

(Abadi, 2010), Fenomenologi Edmund Husserl [Online]. Tersedia: http://ahnafiabadi.blogspot.com/2010/08/l.html [07/03/2015)
(Anonim, 2010). Filsafat Gabriel Marcel. [Online]. Tersedia: http://lalong-liba.blogspot.com/2011/09/.html [07/03/2015].
(Anonim, 2010). Filsafat ilmu. [ Online]. Tersedia: http://.blogspot.com/2014_11_01_archive.html [07/03/2015].
(Anonim, 2010). Pendekatan pragmatism. [Online]. Tersedia: http://librarianship umir.blogspot.com/2010/08.html# uds-search-results [07/03/2015]
(Anonim, 2012). fenomenologi-max-scheler. [Online]. Tersedia:http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/html.07/03/2015.
(Anonim, 2012). Psikologi-Pendekatan%20fenomenolog. [Online]. Tersedia:  http://m-f-s-fpsi08.web.unair.ac.id/artikel_detail-47851-html. 07/03/2015).
(Anonim,2014). eksistensialisme-martin-heidegger. [Online].  Tersedia: http://tumbidity.blogspot.com/2014/11/eksistensialisme-martin-heidegger.html.
(Anonim. (2010). pendekatan pragmatism. [Online] Tersedia:  http://librarianshipumir.blogspot.com/2010/08/pendekatanpragmatisme.html# uds-search-results [07/03/2015]).
(Anonim. (2010). pendekatan pragmatisme. [Online] Tersedia:http://librarianshipumir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-pragmatisme.html# uds-search-results [07/03/2015]).
(Jaya ,2012),  Fenomenologi Max Scheler [Online]. Tersedia: http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/.html).
(Prilia,2014), Filsafat Fenomenologi [online] tersedia:https://ebdaaprilia.wordpress.com/2014/09/22//[07/03/2015).
(Putra,2014), Filsafat eksistensialisme [Online] tersedia: http://.blogspot.com/2014_11_01_archive.html.[07/03/2015]
(Anonim,2015).SorenKierkrgaard.[Online].Tersedia:http://biokristi.sabda.org/ [07/03/2015].























Komentar

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Martin Heidegger, dia bilang: ‘Pengungkapan dapat terjadi secara otentik, tanpa serangkaian kecenderungan. Entitas pada awalnya terwujud tetapi tetap tersembunyi dalam apa yang paling otentik.’
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/10/wawancara-dengan-martin.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Individu

WAKAF, HIBAH, SEDEKAH, DAN HADIAH

Sejarah Peradaban Islam Masa Nabi Muhammad Saw.

makalah pengertian pendidikan

MAKALAH PERKEMBANGAN MASA ANAK-ANAK