WAKAF, HIBAH, SEDEKAH, DAN HADIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada
hakikatnya, manusia tidak hanya berhubungan dengan Tuhan yang menciptakan,
tetapi juga berhubungan dengan manusia dan alam sekitarnya. Setiap muslim
hendaknya selalu membiasakan diri bersikap dan berperilaku baik memiliki
kepedulian sosial, belas kasih, peka terhadap orang lain yang perlu dibantu.
Kepedulian sosial itu dapat diwujudkan dalam bentuk, seperti mewakafkan sesuatu
yang bermanfaat bagi khalayak, memberikan hibah, sedekah kepada mereka yang
membutuhkan, dan hadiah sebagai penghormatan dan kasih sayang.
Memperbanayak
berbuat kebaikan kepada orang lain dengan cara memberikan sesuatu yang kita
miliki merupakan perbuatan mulia dan dianjurkan oleh syariat Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
penjelasan tentang Wakaf?
2.
Bagaimana
penjelasan tentang Hibah?
3.
Bagaimana
penjelasan tentang Sedekah?
4.
Bagaimana
penjelasan tentang Hadiah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui penjelasan tentang Wakaf
2.
Untuk
mengetahui penjelasan tentang Hibah
3.
Untuk
mengetahui penjelasan tentang Sedekah
4.
Untuk
mengetahui penjelasan tentang Hadiah
BAB II
PEMBAHASAN
WAKAF, HIBAH, SEDEKAH, DAN HADIAH
A.
Wakaf
1.
Pengertian Wakaf
Dalam kompilasi hukum Islam, wakaf adalah perbuatan hukum seorang
atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagaian dari harta benda
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Wakaf menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.
2.
Dasar Hukum Wakaf
a.
Dasar
Umum Wakaf
Hukum
wakaf adalah sunah. Salah satu dalil
yang menjadi dasar amalan wakaf adalah Al-Qur’an yang memerintahkan agar
manusia selalu berbuat kebaikan, seperti yang terdapat dalam surah al-Hajj ayat
77.[1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, Sujudlah,
dan sembahlah Tuhan mu dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.”[2]
b.
Dasar
Khusus Wakaf
Dasar khusus mengenai amalan wakaf dapat dijumpai dalam kisah
sahabat Rasulullah saw. yang mewakafkan hartanya, yakni Umar bin Khattab,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nailul Autar karya seorang ulama al-Azhar
(kairo) Syekh Faisal bin Abdul Aziz al-Mubarak sebagai berikut:
Artinya: “lalu apa yang hendak engku perintahkan kepadaku?” Maka
jawab Nabi, “ jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkanlah
hasilnya!” lalu Umar menyedekahkan dengan syarat tidak boleh dijual, tidak
boleh diberikan, dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang fakir,
keluarga dekat, memerdekakan hamba sahaya, untuk jalan Allah, untuk orang yang
kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil), dan menjamu tamu. Tidak berdosa
orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar
dan untuk member makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak
milik. Dalam satu hadis yang lain, Ibnu Sirin berkata,”Dengan syarat jangan
dikuasai pokoknya.” (H.R.al-Bukhari: 2532).
Maksud dari pernyataan jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan
sedekahkanlah hasilnya, adalah bahwa tanah tersebut boleh diambil manfaatnya.[3]
3.
Rukun Wakaf
a.
Ada
yang berwakaf, Syaratnya:
1)
Berhak
berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan Islam.
2)
Kehendak
sendiri; tidak sah karena dipaksa
b.
Ada
barang yang diwakafkan, Syaratnya:
1)
Kekal
zatnya, berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak rusak
2)
Kepunyaan
yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak dapat dipisahkan
dari yang lain).
c.
Ada
tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut).
Kalau
berwakaf kepada orang tertentu, orang yang berhak menerima hasil wakaf tersebut
hendaknya orang yang berhak memiliki sesuatu.
d.
Lafaz,
Seperti:
“ saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin,” atau “ saya wakafkan ini untuk
membuat benteng,” dan sebagainya. Kalau mewakafkan kepada sesuatau yang
tertentu hendaklah ada Kabul (jawab), tetapi wakaf untuk umum tidak
disyariatkan Kabul.[4]
4.
Syarat Wakaf
a.
Selama-lamanya,
Berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seorang berkata,
“saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun, “ wakaf semacam
itu tidak sah karena tidak selamanya.
b.
Tunai
dan tidak ada khiyar syarat,
Sebab wakafitu maksudnya adalah memindahkan milik pada waktu itu.
Jika disyaratkan khiyar, atau dia berkata, “Kalau si A datang, saya
wakafkan ini kepada murid-murid, “ maka wakaf semacam ini tidak sah karena
tidak tunai. Kecuali kalau dihubungkan dengan mati, umpamanya dia berkata, “
saya wakafkan sawah saya sesudah saya mati kepada ulama Jakarta, “ maka lafaz
ini sah menjadi wasiat bukan wakaf.
c.
Hendaklah
jelas kepada siapa diwakafkan,
Kalau
dia berkata, “ saya wakafkan rumah ini,”wakaf itu tidak sah karena tidak jelas
kepada siapa diwakafkannya.[5]
5.
Macam-Macam Wakaf
a.
Wakaf
Ahly (wakaf keluarga)
Wakaf ahly adalah wakaf yang diserahkan untuk kepentingan
pembinaan anggota keluarga atau kerabatnya, Misalnya, wakaf sesuatu yang
produktif untuk kepentingan pendidikan seluruh anggota keluarga sampai mereka
sukses.
b.
Wakaf
Khairy (wakaf yang baik) atau wakaf sosial
Wakaf khairy adalah wakaf yang dikeluarkan untuk kepentingan
bersama. Misalnya, wakaf tanah untuk pembangunan masjid dan madrasah. Wakaf
semacam ini dapat dirasakan oleh masyarakat banyak, tidak seperti wakaf ahly
yang keuntungannya hanya dimiliki oleh keluarganya.[6]
6.
Pengawasan
Harta Wakaf
Untuk pengawas
wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat-syarat sebaga berikut:
a.
Berakal sehat,
b.
Baligh,
c.
Dapat dipercaya, dan
d.
Mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf.
Bila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Hakim berhak menunjuk orang lain yang
mempunyai hubungan kerabat dengan wakif. Bila kerabat juga tidak ada, maka
ditunjuk orang lain. Agar pengawasan dapat berjalan dengan baik, pengawas
wakaf yang bersifat perorangan boleh diberi imbalan secukupnya
sebagai gajinya atau boleh diambil dari hasil harta wakaf. Pengawas harta wakaf
berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat mendatangkan kebaikan harta
wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf, dengan
memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan wakaf. [7]
Hikmah wakaf, antara lain mendidik mansia agar tidak kikir dan
tolong menolong sesame manusia untuk mencari rida Allah swt. berbuat baik
kepada orang lain dengan cara memberikan harta kekayaan dalam bentuk benda
apapun (dapat berupa tanah), tidak akan pernah disia-siakan oleh Allah swt.
sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar atau Abu Talhah yang mewakafkan kebun
kurma yang paling dicintainya atau Utsman yang mewakafkan mata air dan seekor
kuda untuk berburu atau berperang untuk kaum muslim. [8]
B.
Hibah
1.
Pengertian
Hibah
Secara bahasa
hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan
menurut istilah hibah yaitu: “akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya
pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”.[9] Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai
arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang
lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan
hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya
hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[10]
2.
Hukum Hibah
Hukum hibah
adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa.[11]
Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah
orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi : “Tidak halal bagi seseorang yang
telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik
kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya”.(HR.Abu Daud).[12]
3.
Hikmah Hibah
Terdapat
dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri
memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama
manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran
dasar agama Islam. Kedua, yang dituju
oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam
menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga
sosial.[13]
C.
Sedekah
1.
Pengertian
Sedekah
Sedekah
secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta
dari unsur ash-shidq yang berarti benar
atau jujur. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah
swt. Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal
yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian sedekah adalah pemberian
kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan
diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti
pemberian tersebut.
2.
Hukum
sedekah
Hukum
sedekah itu disunnahkan dan dianjurkan untuk dikeluarkan kapan saja.[14]
Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan banyak ayat yang menganjurkan untuk
bersedekah, diantaranya Qur’an surat Yusuf: 88, Artinya: “Dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan
kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf:88).[15]
Dan
juga sesuai dengan sabda Rasul: “Sesungguhnya sedekah
memadamkan amarah Tuhan dan menolak kematian yang buruk.” (HR.
At-Tirmidzi, dan Ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan).[16]
3.
Hikmah
Sedekah
a.
Sedekah memberikan pelajaran kepada
manusia bahwa sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan manfaat bagi
sesamanya. Sedekah mengingatkan kita akan klemahan manusia. Manusia tidak dapat
memungkiri kelemahannya untuk tidak membutuhkan orang lain.
b.
Sedekah merupakan wujud keimanan
kepada Allah swt. keimanan bukan merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya
saja, melainkan juga bentuk kesadaran dan sikap manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah swt. yang hidup bermasyarakat. Bentuk ketakwaan manusia kepada Allah swt.
dapat dilihat ketika berhubungan dengan sesamanya. Sedekah merupakan bentuk
ibadah kepada Allah swt. dalam dimensi sosial kemanusiaan.
c.
Sedekah dapat menambah hubungan
kekeluargaan diantara sesama manusia. [17]
D.
Hadiah
1.
Pengertian
Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu yang bermanfaat
dari seseorang kepada orang lain sebagai penghormatan tanpa mengharap gantinya
hanya untuk mencari rida Allah swt. hadiah ini diberikan bukan karena iba atau
rasa kasihan, tetapi penghargaan atas prestasi atau reputasi seseorang.
2.
Hukum Hadiah
Dasar hukum
disyariatkannya hadiah adalah firman Allah swt. dan sunah Rasulullah saw.
a. firman Allah
swt
Artinya: “kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (Q.S.
an-Nisa/4:4)
b. Sunah
Rasulullah saw.
Artinya: “janganlah
menganggap remeh pemberian seorang tetangga, walaupun hanya berupa kaki
kambing. ( H.R. al-Bukhari: 2378 dan Muslim: 1711)[18]
3.
Rukun Hibah, Sedekah, dan Hadiah
a.
Ada
yang memberi, syaratnya ialah orang yang berhak memperedarkan hartanya dan
memiliki barang yang diberikan
b.
Ada
yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki
c.
Ada
ijab dan Kabul
d.
Ada
barang yang diberikan. Syaratnya, hendaklah barang itu dapat dijual, kecuali:
1)
Barang-barang
yang kecil, Misalnya dua atau tiga butir biji beras, tidah sah dijual, tetapi
sah diberikan.
2)
Barang
yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
3)
Kulit
bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan[19]
E.
Cara Pelaksanaan Wakaf, Hibah, Sedekah, Dan Hadiah
1.
Pelaksanaan Wakaf
Berkaitan dengan pelaksanaan wakaf di Indonesia,n negara telah
menerbitkan sejumlah peraturan yang menjadi dasar tentag wakaf, yaitu:
a.
Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2006
b.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977
c.
Peraturan
Menteri Agama No. 1 Tahun 1998
d.
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004
Menurut peraturan-peraturan diatas, tata cara wakaf di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1)
Wakif
yang akan mewakafkan tanahnya harus menghadap kepada nazir dihadapan pejabat
pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang menangani wilayah tanah wakil itu untuk
mewakafkan harta benda miliknya. PPAIW adalah kepala kantor urusan agama
setempat.
2)
Ikrar
wakaf disaksikan oleh sedekitnya dua orang saksi dewasa yang berakal sehat dan
dilakukan secara tertulis.
3)
Ikrar
wakaf dapat juga ditulis dengan persetujuan Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kotamadya yang menangani wilayah tanah wakaf itu dan hal tersebut
dibicarakan dihadapan PPAIW.
4)
Tanah
wakaf itu dalam keadaan tuntas bebas dari ikatan dan sengketa. Jika ikrar wakaf
itu telah memenuhi syarat dengan lengkap, PPAIW menerbitkan Akta IKrar Wakaf
tanah.
Calon wakif sebelum berikrar wakaf terlebih dahulu harus
menyerahkan kelengkapan-kelengkapan surat atau administrasi wakaf sebagai
berikut:
1)
Sertifikat
atau surat kepemilikan harta tersebut yang sah.
2)
Surat
keterangan kepala desa yang dilakukan oleh camat setempat tentang kepemilikan
tanah/harta dan statusnya.
3)
Adanya
izin bupati atau wali kota.
Seorang nazir yang dimaksud oleh perundang-undangan di Indonesia
adalah suatu badan hukum khusus yang mengurusi harta wakaf. Mereka memiliki hak
dalam pengelolaan wakaf yakni sebagai berikut:
1)
Berhak
menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang ditentukan oleh kepala kantor
Departemen Agama Kabupaten atau kota madya dan menggunakannya untuk kepentingan
umum atau keagamaan.
2)
Menggunakan
fasilitas dengan persetujuan kepala kantor Departemen Agama Kabupaten atau kota
madya. Nazir disamping mempunyai hak juga mempunyai kewajiban yakni mengamankan
harta wakaf, surat-surat wakaf, dan hasil-hasil wakaf.[20]
2.
Pelaksanaan Hibah
Tata
cara pelaksanaan hibah antara lain sebagai berikut
a)
Benda
yang dihibahkan harus menjadi milik yang sah dari pemberi hibah, bukan milik
orang lain. Jika orang yang sakit memberikan hibah, hibah yang dikeluarkan
adalah sepertiga dari harta peninggalan (tirkah)
b)
Penerima
hibah adalah tidak terbatas hanya kaum muslimin saja, tetapi kepada seluruh
umat manusia.
c)
Benda
yang dihibahkan harus berwujud dan jelas
d)
Harus
ada sigat akad hibah dengan pasti dan jelas, yaitu ijab kabul
3.
Pelaksanaan sedekah
Pelaksanaan
sedekah dapat dilakukan sebagai berikut:
a) Benda yang disedekahkan harus menjadi milik yang sah dari pemberi
sedekah, bukan milik orang lain
b) Penerima hibah adalah tidak terbatas hanya kaum muslimin saja,
tetapi kepada seluruh umat manusia
c) Penerima sedekah diperioritaskan kepada orang yang sangat
membutuhkannya, terutama keluarga atau kerabat dekat.
d) Benda yang disedekahkan harus berwujud dan jelas, seperti makanan,
minuman, atau uang.
e)
Harus
ada sigat akad hibah dengan pasti dan jelas, yaitu ijab Kabul
f) ketika bersedekah, tidak terikat oleh waktu dan keadaan
g) benda yang disedekahkan harus halal[21]
4.
Pelaksanaan Hadiah
Hadiah
dapat dilaksanakan melalui cara-cara sebagai berikut:
a)
Benda
yang dihadiahkan harus menjadi milik yang sah dari pemberi hadiah
b)
Penerima
hadiah adalah orang-orang yang telah memberikan kesenangan kepada kita,
meskipun tidak banyak.
c)
Penerima
hadiah biasanya orang-orang yang berprestasi
d)
Benda
yang dihadiahkan tidak harus berwujud barang tertentu melainkan bebas dan
menyesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan
e)
Benda
untuk hadiah diberikan kepada siapapun selama tidak meminta pertanggungjawaban
dari penerima hadiah
f)
Harus
ada sigat akad hadiah dengan pasti dan jelas, , yaitu ijab Kabul.[22]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagaian dari harta benda miliknya dan melembagakannya
untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam. Dasar hukm wakaf terbagi menjadi dua bagian yakni dasar
umum dalam Q.S al-Hajj:77 dan dasar khusus dalam sabda nabi pada H.R al-Bukhari
2532. Wakaf memiliki rukun dan syarat. Adapun macam-macam wakaf diantaranya: Wakaf
Ahly (wakaf keluarga), Wakaf Khairy (wakaf yang baik) atau wakaf
sosial.
Secara bahasa
hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan
menurut istilah hibah yaitu: “akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya
pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”. Hukum
hibah adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa.
Sedekah
secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta
dari unsur ash-shidq yang berarti benar
atau jujur. Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu
hal yang diberikan. Hukum sedekah itu disunnahkan dan dianjurkan untuk
dikeluarkan kapan saja.
Hadiah adalah
pemberian sesuatu yang bermanfaat dari seseorang kepada orang lain sebagai
penghormatan tanpa mengharap gantinya hanya untuk mencari rida Allah swt. Dasar
hukum disyariatkannya hadiah adalah firman Allah swt. dan sunah Rasulullah saw.
DAFTAR
PUSTAKA
Qosim, M. Rizal.
2014. Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah. Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri
Kementrian
Agama. 2010. Al-Qur’an Terjemah dan
Tafsir perkata. Bandung: CV. Jabal Raudhatul Jannah
Rajid,Sulaiman. 2011. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Suhendi, Hendi.
2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syafei,Rachmat.
2001. Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia
Sabiq, Sayyid.1987. Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Bandung: PT.
Al-Ma’arif
Abdul Fatah IdriS, dkk. 2004. Fikih Islam Lengkap.Jakarta: PT. Rineka Cipta
Satria Effendi M. Zein, MA. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer. Jakarta:
Kencana
al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-hari, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta:
Gema Insani Press
Departemen Agama RI. 2001. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang:
CV. Asyifa’
https://amrikhan.wordpress.com/2012/10/29/hibah-sedekah-dan-hadiah/. Diunduh 8 Desember 2014 pukul 10:37 WIB
[1] M.
Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 140
[2] Kementrian
Agama, Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir perkata, Bandung: CV. Jabal
Raudhatul Jannah, 2010, hlm. 342
[3] M.
Rizal Qosim, Op.Cit, hlm. 141
[4]
Sulaiman Rajid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011, hlm.
342
[5] Ibid.,
hlm 343
[6] M.
Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm.142
[7]
Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010, hlm 247
[8] M.
Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 144
[10] Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah 14, terj: Mudzakir, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, Cet.
XX, hlm. 174
[11]
M. Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 145
[12] Abdul Fatah
Idris, dkk, Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004,
Cet. III, hlm. 197
[13] Satria Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Jakarta:
Kencana, 2004, Cet. I, hlm. 471-472
[14] Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:
Gema Insani Press, 2005, hlm. 285
[15] Departemen AgamaRI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Semarang: CV. Asyifa’ ,2001, hlm. 654
[16] https://amrikhan.wordpress.com/2012/10/29/hibah-sedekah-dan-hadiah/. Diunduh 8 Desember 2014 pukul 10:37 WIB
[17] M.
Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 147
[18]M.
Rizal Qosim, Loc, it
[19]
Sulaiman Rajid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011, hlm.
327
[20] M.
Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 148
[21] Ibid.,
hlm. 149
[22] Ibid.,
hlm. 150
Komentar
Posting Komentar