PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu unsur penting
dari proses kependidikan adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggung
jawab yang amat besar dalam mengantarkan peserta didik kearah tujuan pendidikan
yang di cita-citakan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan kultural transition
yang bersifat dinamis kearah suatu perubahan secara kontinu, sebagai sasaran
vital bagi membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia. Tugas guru
sebagai pendidik merupakan hal yang sangat mulia di sisi Allah SWT dan
mendapatkan penghargaan yang tinggi.
Dalam pendidikan Islam,
seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang membedakan dari orang
lain. Dengan karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat yang akan menyatu dalam
seluruh totalitas kepribadiannya. Menurut paradigma Jawa, pendidikan diidentikan dengan
guru (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”.Untuk menjadi pendidik yang professional sesungguhnya bukanlah hal
yang mudah karena harus memiliki
kompetensi yang handal. Pendidik juga dituntut untuk mengetahui kode
etik sebagai pendidik dimana kode etik pendidik adalah norma-norma yang
mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan
peserta didik, orang tua peserta didik, serta dengan atasanya.
B.
Rumusan Masaah
Dari uraian diatas maka rumusan masalahnya yaitu:
1.
Apa
pengertian pendidik dalam pendidikan Islam?
2.
Sejauhmana
kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam?
3.
Apa
saja tugas pendidik dalam pendidikan Islam?
4.
Apa
saja syarat dan sifat pendidik dalam pendidikan Islam?
5.
Apa
saja kompetensi pendidik dalam pendidikan Islam?
6.
Bagaimana
kode etik pendidik dalam pendidikan Islam?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian pendidik dalam pendidikan Islam
2.
Untuk
mengetahui kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam
3.
Untuk
mengetahui tugas pendidik dalam pendidikan Islam
4.
Untuk
mengetahui syarat dan sifat pendidik dalam pendidikan Islam
5.
Untuk
mengetahui kompetensi pendidik dalam pendidikan Islam
6.
Untuk
mengetahui kode etik pendidik dalam pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Dalam Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan,
bahwa pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pengertian yang lazim
digunakan, pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan
pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya,
agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat
kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah
Allah SWT, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk
individu yang mandiri.[1]
Sama dengan teori Barat, pendidik
dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak
didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang
tua (ayah dan Ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal : pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua
ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dank arena itu ditakdirkan pula
bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena kepentingan kedua orang
tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya,
sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Sama dengan teori pendidikan
Barat, tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik, yaitu
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor,
kognitif, maupun potensi afektif.[2]
Sebagai kosa kata yang bersifat
generic, pendidik mencangkup pula guru, dosen, dan guru besar. Guru adalah
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi pesetra didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasardan pendidikan
menengah. Adapun dosen adalah pendidik professional dan ilmuan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Guru besar atau professor yang selanjutnya disebut professor adalah
jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar dilingkungan satuan
pendidikan tinggi. [3]
Dalam Islam, pendidik memiliki beberapa istilah seperti muallim,
muaddib, murabbi dan ustad:
1) Muallim:
Istilah ini lebih menekankan posisi pendidik sebagai pengajar dan penyampai
pengetahuan dan ilmu
2) Muaddib:
istilah ini lebih menekankan pendidik sebagai Pembina moralitas dan akhlak
peserta didik dengan keteladanan
3) Murabbi:
istilah ini lebih menekankan pengembangan dan pemeliharaan baik dalam aspek
jasmaniah maupun ruhaniah
4) Ustad:
istilah ini merupakan istilah umum yang sering dipakai dan memiliki cakupan
makna yang luas yang sering disebut sebagai guru.[4]
B.
Kedudukan Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Salah satu hal yang amat menarik
pada ajaran Islam adalah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap
pendidiknya. Salah seorang penyair Mesir jaman modern menjelaskan kedudukan
guru sebagai berikut :“Berdirilah kamu bagi seorang guru dan
hormatilah dia. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang rasul.”
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin dikutip
Al-Abrasyi mengatakan : “Seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan
ilmunya itu, dialah yang bekerja dibidang pendidikan. Sesungguhnya ia telah
memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting, maka hendaknya ia
memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya ini.” [5]
Al-Ghazali menjelaskan bahwa
kedudukan yang tinggi ini dengan ucapannya sebagai berikut : “Maka
seorang yang alim mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, maka ialah
dinamakan seorang besar di semua kerajaan langit. Dia adalah seperti matahari
yang menerangi alam-alam yang lain, dia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan dia
adalah seperti minyak wangi yang mewangikan orang lain, karena ia memang wangi.
Siapa-siapa yang memilih pekerjaan mengajar ia telah memilih pekerjaan yang
besar dan penting, maka dari itu, hendaklah ia menjaga tingkah lakunya dan
kewajiban-kewajibannya.”[6]
Pendidik adalah bapa Ruhani
(Spiritual Father) bagi peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan
ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena
itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam.”.[7]
Tingginya kedudukan guru dalam Islam
masih dapat disaksikan secara nyata pada zaman sekarang. Itu dapat kita lihat
terutama di pesantren-peantren di Indonesia. Santri bahkan tidak berani
menentang sinar mata kyainya. Sebagian lagi membungkukkan badan tatkala
menghadap kyainya. Bahkan konon ada santri yang tidak berani membuang hajat
menghadap rumah kyai sekalipun ia berada dalam kamar yang tertutup. Betapa
tidak mereka silau oleh tingkah laku kyai yang begitu mulia, sinar mata yang
menembus, ilmunya yang luas dan dalam doanya yang diyakini ijabah.[8]
C.
Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Dalam
paradigma Jawa, pendidikan diidentikan dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu
dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu
ynag memadai, yang kerenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam
melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki
kepribadiaan yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan
panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan
bahwa tugas guru tidak sekadar mentransformasikan ilmu, tapi juga bagaimana ia
mampu mengiternalisasikan ilmunya pada peserta didiknya.
Dalam
perkembangan berikutnya, paradigma pendidik tidak hanya bertugas pengajar, yang
mendoktrin peserta didiknya untuk mengusai seperangkat pengetahuan dan skill
tertentu. Pendidik juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses
belajar mengajar. Keaktifan sangat tergantung pada peserta didiknya,
sekalipun keaktifan itu akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas dari
pendidiknya. Seorang pendidik juga harus mampu memainkan peranan dan fungsinya
dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi
dan perannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai individu,
anggota masyarakat, warga Negara, dan pendidik sendiri. Jadi, antara tugas
keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya. Oleh karena
itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidkan dapat disimpulkan menjadi tiga
bagian, yaitu:[9]
1)
Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas
merencanakan program pengajaran dan melaksanakam program ynag telah disusun
serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan
(evaluasi).
2)
Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan
peserta didik pada tingkatan kedewasaan dan berkepribadiaan kamil
(sempurna)seiring dengan tujuan Allah SWT yang menciptakannya.
3)
Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin,
mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait ,
terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrol, dan partisipasi atas program pendidikan yang
dilakukan.
Menurut Suhairini, dkk
dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting, karena
dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah
sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang berilmu
pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas mulia,
sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada
orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan sebagai pendidik. Hal ini
didasarkan pada surat Al-Mujaddalah (58) ayat 1 : “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
deraja”. (QS. Al-Mujaddalah : 11)
Pendidik sangat
mengemban tugas berat dan mulia, tugas penyelamatan kehidupan manusia agar
selalu berada dalam lingkaran ketentuan Allah. Sebagai pengembang fitrah
kemanusiaan anak atau peserta didik, maka pendidik harus memiliki nilai lebih
dibanding si terdidik. Tanpa memiliki nilai lebih, sulit bagi pendidik untuk
dapat mengembangkan potensi peserta didik, sebab itu akan kehilangan arah,
tidak tahu kemana fitrah anak didik dikembangkan, serta daya dukung apa yang
dapat digunakan. Nilai lebih yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam
mencakup tiga hal pokok, yaitu pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang
didasarkan nilai-nilai ajaran Islam.[10]
D.
Syarat dan Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
1. Syarat-Syarat Pendidik
Suwarno mengemukakan enam syarat yang harus dipenuhi oleh
setiap pendidik, yaitu :
a)
Kedewasaan, Langeveld berpendapat seorang pendidik harus orang
dewasa, sebab hubungan anak dengan orang yang belum dewasa tidak dapat
menciptakan situasi pendidik dalam arti yang sebenarnya.
b)
Identifikasi Norma, artinya menjadi satu dengan norma yang
disampaikan dengan anak.
c)
Identifikasi dengan anak, artinya pendidik dapat menempatkan diri
dalam kehidupan anak hingga usaha pendidik tidak bertentangan dengan kudrat
anak.
d)
Knowledge,
mempunyai pengetahuan yang cukup perihal pendidikan.
e)
Skill,
mempunyai keterampilan mendidik
2.
Sifat Pendidik
Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya
memiliki karakteristik yang membedakan dari orang lain. Dengan
karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat yang akan menyatu dalam seluruh
totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut kemudian akan teraktualisasi
melalui seluruh perkataan dan perbuatannya. Dalam hal ini, an-Nahlawi membagi
karakteristik pendidik muslim kepada beberapa bentuk, yaitu :
a)
Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang
terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
b)
Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik
semata-mata utuk mencari keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran.
c)
Bersifat sabar dalam mengajarakan berbagai pengetahuan kepada
peserta didik.
d)
Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e)
Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus
mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
f)
Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi. Sesuai dengan
prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
g)
Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak,
dan profesional.
h)
Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
i)
Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat
mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola pikir peserta didik.
j)
Berlaku adil terhadap peserta didiknya.[12]
Sedangkan menurut Muhammad Athiyah Al-Abrosyi
menyebutkan tujuh sifat yang dimiliki oleh seorang pendidik Islam :
a)
Bersifat zuhud, dalam
arti tidak menggunakan kepentingan materi dalam pelaksanaan tugasnya, namun
mementingkan perolehan keridhoan Allah.
b)
Berjiwa bersih dan terhindar dari sifat atau akhlak buruk, dalam arti bersih secara fisik atau jasmani dan bersih
secara mental dan rohani, sehingga dengan sendirinya terhindar dari sifat atau
perilaku buruk.
c)
Bersikap ikhlas dalam
melaksanakan tugas mendidik
d)
Bersifat pemaaf
e)
Bersifat kebapaan, dalam
arti ia harus memposisikan diri sebagai pelindung yang
mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan mereka.
f)
Berkemampuan memahami bakat,
tabiat dan watak peserta didik
E.
Kompetensi Pendidik dalam Pendidikan Islam
Untuk menjadi pendidik yang
professional sesungguhnya bukanlah hal yang mudah karena harus memiliki kompetensi yang handal. Kompetensi dasar
(basic competency) bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot
potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya.Hal tersebut karena potensi
itu merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua pandangan dan juga sebagai
bahan untuk menjawab semua rangsangan yang datang darinya. Potensi dasar ini
adalah milik individu sebagai hasil dari proses yang tumbuh karena adanya
anugrah dan inayah dari Allah SWT, personifikasi ibu waktu mengandung dan
situasi yang memengaruhinya dan factor keturunannya. Hal inilah yang yang
diguanakan sebagai pijakan bagi individu dalam menjalankan fungsinya sebagai
hamba dan khalifah Allah.
W.Robert Houston mendefenisikan kompetensi
dengan “Competence ordinarly is
defined as adequacy for to ask of possession of require knowledge”.
(kompetensi adalah suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang). Definisi ini
mengandung arti bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri untuk menguasai
sejumlah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan khusus yang terkait dengan
profesi keguruannya, agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik, serta
dapat memenuhi keinginan dan harapan peserta didiknya.[14]
Dalam pendidikan Islam seorang
pendidik itu haruslah memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih dan mampu
mengimplisitkan nilai relevan (dalam ilmu pengetahuan itu), yakni sebagai
penganut Islam yang patut dicontoh dalam ajaran Islam yang diajarkan dan
bersedia mentransfer pengetahuan Islam serta nilai-nilai pendidikan yang
diajarkan. Namun demikian untuk menjadi pendidik yang professional masih diperlukan persyaratan
yang lebih dari itu.[15]
Untuk mewujudkan pendidik yang professional sekaligus yang berkompeten dalam
pendidikan Islam, didasari dari tuntutan Nabi Saw karena beliau satu-satunya
pendidik yang paling berhasil dalam rentang waktu yang singkat, sehingga
diharapkan dapat mendekatkan realitas pendidik dengan yang ideal (Nabi Saw).
Keberhasilan Nabi Saw, sebagai pendidik didahului oleh bekal kepribadian
(personality) yang berkualitas unggul ini ditandai dengan kepribadian Rasul
yang dijuluki Al-Amin yakni orang yang
sangat jujur dan dapat dipercaya, kepedulian Nabi terhadap masalah-masalah
sosial religius, serta semangat dan
ketajamannya dalam iqro’ bismirobbik. Kemudian
beliau mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman dan amal saleh,
berjuang dan bekerja sama menegakkan kebenaran (QS. al-Asher, al-Kahfi:20), mampu
bekerja sama dalam kesabaran (QS. al-Asher: 3, al-Ahqaf:35, ali-Imran:200)[16]
Berikut ini adalah kompetensi pendidik dalam
pendidikan Islam :
1)
Kompetensi
Personal-Religius
Kemampuan dasar (kompetensi) yang pertama bagi pendidik adalah
menyangkut kepribadian agamis, artinya pada dirinya melekat nilai-nilai lebih
yang akan diinternalisasikan kepada peserta didiknya. Misalnya nilai
kejujuran,musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban dan
sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi
transinternalisasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidik dan
anak didik baik langsung maupun tidak langsung atau setidak-tidaknya terjadi
transaksi (alih tindakan) antara keduanya.
2)
Kompetensi
Sosial-Religius
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepeduliannya
terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran Islam. Sikap gotong
royong, tolong menolong, egalitarian (persamaan derajat antara sesame manusia),
sikap toleransi dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik untuk
selanjutnya diciptakan dlam suasana pendidikan Islam dalam rangka
transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan anak didik.
3)
Kompetensi
Profesional-Religius
Kemampuan dasar yang ketiga ini menyangkut kemampuan untuk
menjalankan tugasnya secara professional dlam arti mampu membuat keputusan
keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan berdasarkan
teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[17]
F.
Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam
Kode etik
pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan
relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, serta
dengan atasanya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode
etik. Demikian pula jabatn pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus
dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga
pendidikan tidak harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan konten
yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan
kewibawaan identitas pendidik. Bentuk kode etik suat lembaga pendidikan tidak
harus sama, tetapi secara intrinsic mempunyai kesamaan konten yang berlaku
umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan
identitas pendidik.[18]
Dalam
merumuskan kode etik, Al-Ghazali lebih menekankan betapa berat kode etik yang
diperankan seorang pendidik dari pada peserta didiknya. Kode etik pendidik
terumuskan sebanyak 15 bagian, sementara kode etik peserta didiknya hanya 11
bagian. Hal itu terjadi karena guru dalam konteks ini menjadi
segala-galanya,yang tidak saja menyangkut keberhasilannya dalam menjalankan
profesi keguruannya, tetapi juga tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT kelak.
Adapun kode etik pendidik yang dimaksud adalah:
1)
Menerima segala problem peserta didik dengan
hati dan sikap yang terbuka dan tabah
2)
Bersikap penyanun dan penyayang
3)
Menjaga kewibawaan dan kehormatan
4)
Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh
terhadap sesame
5)
Bersifat rendah hati ketika berada di
sekelompok masyarakat
6)
Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan
sia-sia
7)
Bersifat lemah lembut dalaam menghadapi peserta
didiknya yang tingkat IQ-nya rendah, serta membinanya sampai pada tingkat
maksimal
8)
Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi
problem peserta didiknya
9)
Memperbaiki sikap peserta didiknya, dan
bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya
10)
Meninggalkan sifat yang menakutkan bagi peserta
didiknya, terutama kepada peserta didik yang belum mengerti dan mengetahui
11)
Berusaha memerhatikan pertanyaan-pertanyaan
peserta didiknya, walaupun pertanyaan itu tidak bermutu dan tidak sesuai dengan
masalah yang diajarkan
12)
Menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta
didiknya
13)
Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses
pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik
14)
Mencegah dan mengontrol peserta didik
mempelajari ilmu yang membahayakan
15)
Menanamkan sifat ikhas pada peserta didiknya
16)
Mencegah peserta didik mempelajari ilmu Fardlu
kifayah (kewajiban kolektif, seperti mempelajari ilmu fardlu ‘ain (kewajiban
individual, seperti akidah, syariah, dan akhlak).
17)
Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan
pada peserta didik (QS. al-Baqarah: 44, as-Shaf:2-3)[19]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan, bahwa pendidik adalah orang yang
mendidik. Dalam Islam, pendidik memiliki beberapa istilah seperti muallim,
muaddib, murabbi dan ustad.
2.
Pendidik
adalah bapa Ruhani (Spiritual Father) bagi peserta didik, yang memberikan
santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang
buruk. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam.
3.
Dalam paradigma Jawa, pendidikan diidentikan
dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Pengertian ini
diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekadar mentransformasikan ilmu, tapi juga
bagaimana ia mampu mengiternalisasikan ilmunya pada peserta didiknya.
4.
Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki
karakteristik yang membedakan dari orang lain yang tidak terlepas dari
syarat-syarat sebagai pendidik. Dengan karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat
yang akan menyatu dalam seluruh totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut
kemudian akan teraktualisasi melalui seluruh perkataan dan perbuatannya.
5.
Untuk
menjadi pendidik yang professional sesungguhnya harus memiliki beberapa
kompetensi diantaranya: kompetensi personal-religius, kompetensi
sosial-religius, dan kompetensi professional-religius.
6.
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang
mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan
peserta didik, orang tua peserta didik, serta dengan atasanya
DAFTAR
PUSTAKA
Athiyah al-Abrasyi, Muhammad.1987. Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Bukhari, Umar.2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:Sinar
Grafika Offset
Hasan
Fahmi, Asma.1979. Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Jusuf Mudzakir dan Abdul Majid. 2008. Ilmu Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana
Marno. 2010.
Strategi dan Metode Pengajaran. Ar-ruz Media. Yogyakarta
Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam, cet. I. Jakarta:
Kencana
Rosyadi, Khoron. 2004. Pendidikan Profetik. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Samsul
Nizar dan Al-Rasyidin. 2005. Pendekatan
Historis, Teoritis, dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta
: Ciputat Press
Syar’i, Ahmad.
2005. Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus
Tafsir, Ahmad.1992. Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
[1] Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 159
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, hlm 74
[3]Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 159
[5] Khoron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 178.
[6] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hlm. 165-166.
[7]
Umar Bukhari, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2010,
hlm. 86
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, hlm. 123
[9] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hlm. 135-136
[12] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta
: Ciputat Press, 2005, hlm. 45-46.
[13]
Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta
: Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 36-38
[14] Abdul
Majid dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008,
hlm. 93
[15] Ibid.,hlm.
94
[16] Ibid.,
hlm. 95
[17] Ibid.,hlm.
96
[18] Ibid.,
97
[19] Ibid.,
98-100
widget pada pointernya sangat mengganggu kenyamanan saya sebagai pengunjung blog ini. Tapi terimakasih buat postingannya ya kaka :D
BalasHapusI like this site so much, saved to favorites.
BalasHapus