Hibah

HIBAH
Diajukan Untuk Memenuhi  Tugas Kelompok
Mata kuliah: Fikih Sosial
Dosen pengampu: Dr. H. Arwani Syaerozi, MA






Disusun Oleh:
1.      Achmad Faishal                (1412111)
2.      Deden Nurkhomas            (1412111)
3.      Erna Erlina                        (14121110049)
4.      Muhamad Nur Iskansar    (1412111)
5.      Siti Isti’anah                      (14121120016)
6.      Siti Maesaroh                    (14121120018)
7.      Tuti Haryati                       (14121110129)
SEMESTER : III
PAI-A
FAKULTAS TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Jalan Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon-Jawa Barat 45132

2013


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. kami bersyukur kepada Ilahi Rabbi yang telah memberikan Hidayah dan Taufik-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hibah” terselesaikan dengan baik. Makalah ini berisikan tentang pengertian dari hibah...............
            Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat lebih memahami secara mendalam tentang Fiqih Sosial. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah atau penyusunan makalah berikutnya menjadi lebih baik.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada Dosen pengampu kami, Bapak Dr. H. Arwani Syaerozi, MA. Semoga Allah SWT. senantiasa meridhoi segala usaha kami. Amiin.




Cirebon, 14 April 2014

                                                                                                  Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR  ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 1
C. Tujuan............................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A. Pengertian Hibah .............................................................................................  2
B. Hukum Hibah ..................................................................................................  2
C. Syarat-syarat Hibah .........................................................................................  3
D. Rukun Hibah ................................................................................................... 4
E. Hukum Kembali Penarikan Hibah ................................................................... 6
BAB III PENUTUP............................................................................................ 8
Simpulan ............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 9

 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dengan berbagai macam keadaan ekonomi. Hal ini agar manusia bisa saling membantu satu sama lain sesuai dengan syariat agama islam dengan melakukan hibah, shadaqah, dan hadiah. Sehingga jika setiap orang islam yang memiliki kelebihan harta mau melakukan hibah, shadaqah, dan hadiah kepada orang lain tentunya kita akan merasakan indahnya ajaran islam.
Pada dasarnya ketiga istilah ini memiliki unsur yang sama yaitu athiyah atau pemberian tanpa iwadh. Namun sebenarnya dari masing-masing istilah tadi terdapat perbedaan yang mencolok yaitu jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka disebut dengan shadaqah, namun jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan orang lain atau atas dasar rasa cinta maka disebut dengan hadiah, dan jika pemberian tersebut diberikan tanpa ada maksud seperti shadaqah dan hadiah maka dinamakan hibah. Namun untuk lebih memahami ketiga materi ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.   Apakah yang dimaksud dengan Hibah?
2.   Bagaimana hukum hibah?
3.   Apa saja syarat-syarat hibah?
4.   Apa saja rukun-rukun hibah?
5.   Bagaimana Hukum kembali penarikan hibah?
C.    Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah dari rumusan masalah di atas, yaitu untuk mengetahui pengertian hibah, mengetahui hukum hibah, syarat-syarat hibah, rukun-rukun hibah, dan mengetahui hukum kembali penarikan hibah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hibah
Lapadz hibah menurut bahasa artinya ialah meniup angin. Dan boleh juga diartikan : orang yang bangun dari tidurnya yakni ketika ia bangun tidur, maka seolah-olah orang yang melakukan hibah itu berarti bangun untuk berbuat kebaikan. Adapun hibah menurut pengertian syara ialah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakan dalm kaitannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas. (Amar,1983:317)

B.     Hukum Hibah
Hibah hukumnya mandub (dianjurkan) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwasnnya nabi Saw bersabda “ saling member hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai”.
Hadiah untuk krabat dekat lebih utama sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra dia berkata, bersabda Rasulullah Saw: “  orang-orang yang menyayangi akan disayang oleh allah, maka sayangilah orang yang ada dimuka bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang dilangit, rahim berasal dari rohman ( Allah) siapa yang menyambungnya, maka Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutuskannya maka allah akan memutuskannya”.
 Adapun yang disunahkan agar orang tua tidak membedakan sebagian anak dengan sebagian yang lain dalam hibah sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nu’man bin Basyir dia berkata ayah saya memberiku hibah lalu dia mendtangi Rasulullah dan berkata: ya Rasulullah, saya memberi anak saya satu pemberian dan ibunya berkata dia tidak ridha sebelum saya bertemu dengan Rasulullah lalu Nabi bertanya kepadanya: apakah kamu memberi semua anakmu seperti itu? dia menjawab: tidak. ya Rasulullah, Rasulullah bersabda: takutlah kamu kepada Allah dan berbuat adillah diantara anakmu, bukankah kamu gembira jika mereka sama-sama mendapat kebajikan? dia menjawab: tentu. ya Rasulullah,
Jika dia membedakkan antara anak-anaknya dalam hibah, maka akad hibahnya tetap sah sesuai dengan hadits Nu’man bahwa Nabi bersabda: berikan saksi kepada ini selain saya, seandainya akad tidak sah pastilah Nabi akan menjelaskan dan tidak menyuruhnya mencari saksi selain beliau.
Ada juga yang berpegang dengan hadits Nu’man orang yang mewajibkan penyamaan antara semua anak terhadap pemberiaan dan inilah yang ditegaskan oleh Al Bukhari, dan ini ucapan Thawus, An-Nawawi, Ahmad, Ishaq, dan sebagian kalangan ulama madzhab Maliki, dikatakan dalam Al-Fath: yang masyhur dari mereka (ulama) bahwa akad ini batal dan dari Imam Ahmad boleh membedakan pemberian diantara anak-anak jika ada sebab seperti anak yang membutukan untuk zamannya atau agamanya atau yang lain dan tidak untuk yang lain.(Azzam,2010: 438-440)
Izma telah terjadi bahwa boleh seseorang untuk memberikan hibah kepada selain anaknya, jika dia boleh mengeluarakan semua anaknya dari pemberian itu sehingga mereka tidak mendapatkan bagian, maka boleh baginya untuk memberikan sebagian anaknya dari sebagian yang lain, Ibnu hajar mengatakan pendapat ini tidak sama sisi lemahnya sebab ini adalah kias bersama nash, As-syaukani menilai bahwa persamaan adalah wajib dan pembedaan adalah haram. (Amar,1983:441-442)

C.    Syarat-Syarat Hibah
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
a.       Syarat-syarat penghibah
Disyaratkan bagi pengbhibah syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan
2.      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3.      Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.      Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
b.      Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada  di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
c.       Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan:
1.      Benar-benar ada
2.      Harta yang bernilai
3.      Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
4.      Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
5.      Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.(Sabiq,1987: 178-180)

D.    Rukun HihhhhhhhhhHIihjhjgHibah
Rukun hibah ada tiga: dua belah pihak yang berakad (aakidain), shighot (ucapan), dan harta yang dihibahkan (mauhuub).
1.      Kedua belah pihak yang berakad ( akidain)
Ada beberapa syarat untuk member hibah, yakni harus memiliki hak milik atas barang yang dihibahkan dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya. Oleh karena itu, hibah tidah sah jika dilakukan oleh seorang wali dalam harta orang yang dijabut kelayakannya, dan disyaratkan untuk penerima hibah agar memiliki kelayakan memiliki terhadap apa yang diberikan kepadanya berupa taklif (beban), sahnya tindakan atau pengelolaan, dan akan kita jelaskan juga bahwa orang yang belum mukalaf juga diterima oleh walinya, maka tidak sah untuk bayi dalam perut atau untuk hewan.
2.      Shighat (ucapan)
Yaitu ijab dan qabul berupa ucapan dari orang yang bisa berbicara dan termasuk ijab yang jelas jika dia mengatakan: “saya hibahkan kepadamu, saya berikan kepadamu, saya jadikan milikmu tanpa bayaran,” dan termasuk qabul yang jelas seperti ucapannya:”saya terima, saya ridha,” qabul tidak sah kecuali jika langsung dan Abu Abbas berkata, boleh ada senjang waktu dan pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena ia adalah pemberian hak milik, pada saat masih hidup, maka qobulnya juga harus segera sama seperti akad jual beli.
3.      Barang yang dihibahkan (Maukub)
Kriterianya adalah setiap benda yang boleh diperjual belikan boleh dihibahkan, karena dia adalah akad yang bertujuan mendapatkan hak milik terhadap satu barang, maka dia bisa memiliki sesuatu yang bisa dimilikinya dengan cara jual beli, sehingga setiap yang boleh dijual boleh dihibahkan sebagiannya walaupun barang tersebut banyak.
Hal ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Umar Ibnu Salamah Adha-Dhumari dari seorang lelaki dari Buhuz bahwa dia pergi bersama Rasulullah Saw menuju Mekah sehingga ketika mereka berada dekat lembah Rauha kemudian mereka menemukan seekor keledai liar sedang makan rumput lalu mereka menceritakannya kepada Nabi SAW, beliau bersabda: “Biarkan dia sampai pemiliknya datang” lalu datanglah seseorang dari kabilah Buhuj dan berkata: “ ya Rasulullah ambillah oleh kalian keledai ini, “ lalu Nabi menyuruh Abu Bakar untuk membagikannya kepada para sahabat, mereka sedang ihram, perawi berkata: “ kemudian kami meneruskan perjalanan sehingga kami sampai disebuah pedesaan kami melihat ada menjangan yang pincang dibawah sebuah pohon milik yang ada tanda hak miliknya lalu Nabi menyuruh seorang sahabat untuk menjaganya sehingga dia bisa memberitahu orang lain tentang hewan itu.” (Azzam,2010: 442-445)

E.     Hukum Kembali Penarikan Hibah
Penarikan kembali hibah setelah diserahkan hukumnya haram kecali hibah seorang ayah kepada anaknya demikian juga semua yang pokok (orang tua dan yang sejajar dengan mereka) menurut pendapat yang masyhur dan ini mencakup hadiah, dan seekah menurut pendapat yang lebih kuat, dan tidak wajib segera namun boleh kapan saja dia mau.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Thaus secara marfu bahwasannya Nabi SAW: “tidak halal bagi seseorang untuk member satu pemberian lalu dia kembali kepadanya seperti anjing yang memakan kembali muntahnya.”
Ini adalah sikap berlebihan dalam menghardik sebagai tanda kalau memang haram hukumnya. termasuk yang tidak boleh ditarik kembali secara mutlak adalah sedekah dengan niat mencari pahala akhirat. Ibnu Hajar mengatakan, para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mengambil kembali dalam sedekah setelah ada penyerahan.
Dibolehkan penarika kembali hibah oleh seorang ayah kepada anaknya dikarenakan tidak ada tuduhan kepadanya, karena secara tabi’at seorang ayah akan selalu mendahulukan anaknya dan jika dia menariknya kembali, maka berarti ada kebutuhan dan kemaslahatan.
meski demikian, tidak diperbolehkan menarik kembali hibah tanpa uzur. Jika si ayah menarik kembali hibah tanpa ada uzur, maka makruh hukumnya, sementara jika ada uzur maka tidak makruh, misalnya jika si anak durhaka atau dipergunakan untuk maksiat.
Sedangkan Al-Auza’I berpendapat tidak makruh nika ayah memerlukan untuk nafkah atau membayar utang bahkan bisa disunahkan jika si anak memang tidak memerlukan. Bahkan manarik kembali hibah hukumnya bisa wajib jika si anak adalah pelaku maksiat dan benar-benar yakin kalau ini adalah cara untuk mencegahnya berbuat maksiat.
adapun pemberian yang tidak boleh ditarik kembali adalah sedekah wajib, seperti nazar, Zakat, kafarat, demikian juga daging hewan kurban sunah dengan alasan agar dia bisa mandiri dalam mengatur pembagian dan dalam contoh ini tidak boleh. (Azzam,2010: 451-452)
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.  Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.











BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Adapun hibah menurut pengertian syara ialah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakan dalm kaitannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas. Hibah hukumnya mandub (dianjurkan) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwasnnya nabi Saw bersabda “ saling member hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai”.
Penarikan kembali hibah setelah diserahkan hukumnya haram kecali hibah seorang ayah kepada anaknya demikian juga semua yang pokok (orang tua dan yang sejajar dengan mereka) menurut pendapat yang masyhur dan ini mencakup hadiah, dan seekah menurut pendapat yang lebih kuat, dan tidak wajib segera namun boleh kapan saja dia mau.
                                                                                   








DAFTAR PUSTAKA
Ajiz Muhammad Azzam, Abdul. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Sinar Grafita Offset
Sabiq, Sayyid. 1987.  Fikih Sunah. Bandung: PT Al ma’arif
Amar, Imron Abu. 1983. Fat-hul Qarib. Kudus: Menara Kudus.   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Individu

WAKAF, HIBAH, SEDEKAH, DAN HADIAH

Sejarah Peradaban Islam Masa Nabi Muhammad Saw.

makalah pengertian pendidikan

MAKALAH PERKEMBANGAN MASA ANAK-ANAK