Aqiqah
AQIQAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata kuliah: Fikih Sosial
Dosen
pengampu: Dr. H. Arwani Syaerozi, MA
Oleh:
1.
Achmad Faishal (14121110026)
2.
Deden Nurkhomas (14121110044)
3.
Erna Erlina (14121110049)
4.
Muhamad Nur Iskansar (14121110084)
5.
Siti Isti’anah (14121120016)
6.
Siti Maesaroh (14121120018)
7.
Tuti Haryati (14121110129)
SEMESTER : III
PAI-A
FAKULTAS TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Jalan Perjuangan By Pass Sunyaragi
Cirebon-Jawa Barat 45132
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT. yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sholawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. kami bersyukur kepada Ilahi Rabbi yang
telah memberikan Hidayah dan Taufik-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Aqiqah” terselesaikan dengan baik. Makalah ini
berisikan tentang
pengertian dari aqiqah, asal-usul aqiqah, hukum aqiqah, yang wajib
melaksanakan aqiqah, dan pembagian
daging aqiqah dan cara memasaknya.
Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat lebih memahami
secara mendalam tentang Fiqih Sosial. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah atau penyusunan makalah berikutnya menjadi lebih baik.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada Dosen pengampu kami, Bapak Dr. H. Arwani Syaerozi, MA. Semoga Allah SWT.
senantiasa meridhoi segala usaha kami. Amiin.
Cirebon, 17 Februari 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
i
DAFTAR ISI......................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
1
A. Latar Belakang.................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................
1
C. Tujuan...............................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A. Pengertian Aqiqah ........................................................................................... 2
B. Asal-usul Aqiqah ............................................................................................. 2
C. Hukum Aqiqah ................................................................................................ 3
D. Yang Wajib
Melaksanakan Aqiqah ................................................................. 5
E.
Pembagian Daging Aqiqah dan Memasaknya
................................................. 9
BAB III PENUTUP............................................................................................ 10
Simpulan
............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aqiqah artinya sama dengan dzabihah,
yaitu binatang yang disembelih. Akan tetapi, dalam istilah ‘aqiqah itu
yang dimaksud adalah Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih
berhubung dengan adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki,
maka ‘aqiqah-nya dua ekor kambing yang sama (mukaafiataani); dan bila
anak itu perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing.
Menurut Asy-syafi’y kewajiban
melaksanakan aqiqah dibebankan kepada penanggung nafkah anak yang dilahirkan
dengan biaya sendiri, bukan dengan kekayaan si anak. Pelaksanaan aqiqah hanya
diwajibkan kepada mereka yang mampu sebelum masa nifas berakhir. Jika kemampuan
beraqiqah baru ada setelah masa itu lewat, pelaksanannya tidak diberatkan lagi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Pengertian Aqiqah?
2. Bagaimana Asal-usul Aqiqah?
3. Bagaimana Hukum Aqiqah?
4. Siapa Yang Wajib Melaksanakan Aqiqah?
5. Bagaimana Pembagian Daging Aqiqah dan
Memasaknya?
C.
Tujuan
Masalah
Adapun tujuan
masalah dari rumusan masalah di atas, yaitu untuk
mengetahui Pengertian Aqiqah, Asal-usul Aqiqah,
Hukum Aqiqah, Yang Wajib Melaksanakan Aqiqah, dan Pembagian daging aqiqah dan
memasaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aqiqah
‘ Aqiqah artinya sama dengan dzabihah,
yaitu binatang yang disembelih. Akan tetapi, dalam istilah ‘aqiqah itu
yang dimaksud adalah Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih
berhubung dengan adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki,
maka ‘aqiqah-nya dua ekor kambing yang sama (mukaafiataani); dan bila
anak itu perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing. kambing tersebut disembelih
pada hari ketujuh, kemudian daging ‘aqiqah itu dengan segala baginya
disedekahkan kepada fakir miskin sebagaimana halnya daging kurban. (Abdurrahman.
2011: 35)
Nabi SAW bersabda
“
Sembelihlah aqiqah atas nama si bayi dan cukurlah rambutnya.”
B. Asal-usul
Aqiqah
Menurut Buraidah, di masa jahiliyah apabila
seorang nanak laki-laki lahir, mereka menyembelih seekor kambing, mencukur
rambut dan melumuri kepalanya dengan darah hewan yang disembelih. Kebiasaan
melumurkan darah ini, oleh syariat islam diganti dengan melumurkan dengan air
bunga (kumkuma). Ibnu Sakan, menyatakan
bahwa pada zaman Jhiliyah, kepala (ubun-ubun) si bayi diusap dengan kapas yang
telah dilumuri darah hewan aqiqah. Hal ini dilarang Rasul, kemudian diganti
dengan kapas yang dilumuri kasuri (parfum).
Dengan
melihat asal usul aqiqah ini, nyatalah bahwa tradisi aqiqah yang dikembangkan
oleh syariat Islam (dengan beberapa perbaikan), merupakan penerusan tradisi
yang telah turun temurun.
Islam
meneruskan tradisi ini, karena merupakan cerminan luapan kegembiraan atas
kelahiran seorang bayi ke dunia, satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah SWT,
serta membagikan kebahagiaan kepada para fakir miskin dan anak yatim.
C. Hukum
Aqiqah
Hukum
aqiqah adalah sunah bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak. untuk anak
laki-laki hendaklah disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan
seekor kambing saja, dan hendaklah disembelih pada hari yang ketujuh dari hari
lahirnya anak. tetapi kalau tidak dapat, boleh juga beberapa hari setelah hari
itu, asal anak belum sampai baligh (dewasa) (Rasjid, 2010: 479)
Aisyah berkata:
“Rasulullah
menyuruh para sahabat menyembelih aqiqah dua ekor kambing untuk anak laki-laki,
dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (Riwayat
At-Tirmidzy dari Aisyah)
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhary dari Ashhab As-Sunan dari Sulaiman Ibn Amer, Rasulullah SAW
bersabda:
“Setiap
bayi laki-laki ada aqiqahny. Karena itu sembelihlah aqiqah untuknya,
hilangkanlah kotoran dari tubuhnya (cukurlah rambutnya). “
Dengan
jelas kedua hadits diatas telah mensyariatkan aqiqah. Namun para ulama berbeda
pendapat tentang hukumnya. Ada yang
berpendapat bahwa aqiqah adalah perbuatan sunnah yang dikuatkan. Pendapat ini
dianut oleh Malik, Asy-Syafi’y, Abu-Tsaur, dan mayoritas ulama (jumhur), serta
pendapat yang terkenal dari Ahmad. Malik menyatakan, aqiqah adalah perbuatan
sunnah yang sangat dituntut untuk dilaksanakan, walaupun tidak berdosa jika
ditinggalkan.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah wajib dilaksakan pada hari ketujuh sejak
kelahiran bayi. Jika tidak dilaksanakan pada hari ketujuh tersebut, maka aqiqah
itu tidak lagi dikerjakan pada kelipatan tujuh berikutnya (hari keempat belas
atau keduapuluh satu dan seterusnya). Beginilah pendapat Al-Laits.
Dalam
kitab At-Taudhihdinukilkan bahwa Abu Hanifah berpendapat aqiqah adalah
perbuatan bid’ah. Namun menurut Al-Ainy, sulit diterima akal jika Abu Hanifah
berpendapat demikian. Beliau tidak mengatakan bahwa perbuatan itu sunnah
ataupun fardhu (Asy-Shiddieqy, 2011: 67-69).
Yahya
Al-Anshary melihat sendiri adanya para sahabat yang melaksanakan aqiqah.
Sahabat yang melaksanakan aqiqah antara lain Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas,
Fathimah dan Buraidah al-Aslamy. Diantara para tabi’in yang melaksanakan aqiqah
adalah Al-Qasim ibn Muhammad, Urwah ibn Zubair, Az-Zuhry, Abu Az-Zinad, dan
segolongan ulama. Diantara para ahli ijtihad yang melaksanakan aqiqah adalah
Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Samurah
berkata bahwasanya Nabi SAW bersabda:
“Setiap
bayi laki-laki yang baru dilahirkan terikat dengan aqiqah yang disembelih pada
hari ketujuh kelahirannya. Pada hari itu rambutnya dicukur dan dia diberi
nama.” (H.R. Ahmad dan Ashab as-Sunan
dari Samurah)
Dalam
kitab an-Nihayah dan Al-Masyariq dimaksudakan bahwa hadits tersebut Nabi SAW adalah
bahwa rambut bayi dicukur dan namanya diberikan setelah aqiqah dilaksanakan.
Ada yang berpendapat bayi yang tidak diaqiqahkan, tidak akan memberi syafaat
pada hari kiamat kepada orang tuanya.
Dengan
uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa aqiqah tidaklah dapat dianggap sepele dan
dapat dimudah-mudahkan. Kesadaran mengenai aqiqah ini belum begitu merata di
kalangan umat Islam.
Muhammad
ibn Sirin, berpendapat bahwa aqiqah hanya diwajibkan untuk anak lelaki saja,
tidak untuk anak perempuan. Hal ini didasarkan atas hadits: “Beserta anak
perempuan ada aqiqahnya (Asy-Shiddieqy, 2011: 70-71).
D. Yang
Wajib Melaksanakan Aqiqah
Menurut Asy-syafi’y
kewajiban melaksanakan aqiqah dibebankan kepada penanggung nafkah anak yang
dilahirkan dengan biaya sendiri, bukan dengan kekayaan si anak. Pelaksanaan
aqiqah hanya diwajibkan kepada mereka yang mampu sebelum masa nifas berakhir.
Jika kemampuan beraqiqah baru ada setelah masa itu lewat, pelaksanannya tidak
diberatkan lagi.
Sejarah menunjukkan
bahwa yang melaksanakan aqiqah untuk Al-Hasan dan Al-Husain adalah Rasulullah
sendiri atas nama orang tua kedua cucunya itu. Nabi menyerahkan kambing-kambing
aqiqah kepada putrinya Fatimah.
Dengan demikian, aqiqah
boleh dilaksanakan bukan oleh orang tuanya sendiri yang seharusnya menjadi
penanggung jawab nafkah anak yang dilahirkan itu.
Ibnu Abbas berkata:
“Bahwannya
Rasulullah menyembelih seekor kibasy untuk Al-Hasandan Al-Husain. (menurut satu
riwayat: masing-masing 2ekor).” (HR. Abu Daud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Jarud, dan
Abdul Haq dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat
Al-Baihaqy, Al-Hakim dan Ibnu Hiban dari Aisyah, disebutkan bahwa aqiqah untuk
Al-Hasan dan Al-Husen dilaksanakan Nabi pada hari ke tujuh kelahirnnya serta
pada hari itu kedua cucu Rasul itu diberi nama dan dicukur rambutnya. Menurut
Jabir, pada hari itu juga kedua cucu itu di khitankan (Asy-Shiddieqy, 2011:
71-73).
1. Kadar kambing untuk aqiqah
Ummu Kurz Al-ka’biah berkata,
bahwasannya Nabi bersabda:
“Untuk
bayi laki-laki 2 ekor kambing yang sama keadaannya dan untuk bayi perempuan
seekor kambing.” (Diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan).
Aisyah dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim
juga menyatakan bahwa Rasulullah menyuruh para sahabat untuk menyembelih aqiqah
2 ekor kambing yang sama keadaannya untuk anak laki-laki dan untuk anak
perempuan seekor kambing.
Ulama-ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa 2 ekor kambing untuk anak laki-laki dan 1 ekor kambing untuk anak
perempuan itu lebih baik. Namun jika yang disembelih hanya seekor kambing,
itupun sudah cukup.
Ulama Hambaliyah menyatakan bahwa 2
ekor untuk anak laki-laki dan seekor untuk anak perempuan itu sudah merupakan
kemustian, karena sesuai zhahir hadits. Pendapat ini dipegang oleh Aisyah, Ibnu
Abbas, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan segolongan ahli hadits.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa,
baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan, cukup disembelih seekor
kambing (Asy-Shiddieqy,
2011: 73-74).
2. Hewan untuk aqiqah
Hewan
yang disembelih untuk aqiqah sama dengan hewan untuk kurban. Apabila untuk
kurban hewan itu sah untuk disembelih, hal itu berlaku jug auntuk hewan yang
disembelih untuk aqiqah.
Menurut
Malik, aqiqah sama dengan kurban. Kita tidak boleh menyembelih untuk aqiqah
hewan yang cacat, kurus, berpenyakit dan yang kakinya patah. Hewan betina, sama
halnya dengan hewan kurban, boleh juga disembelih.
Dalam
satu hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ummu Kurzbdinyatakan:
“Tidaklah memberatkan, apakah jantan kambing yang
kamu sembelih ataupun betina.”
Malik,
Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama berpendapat, bahwa usia kambing yang
disembelih untuk aqiqah sama dengan usia kambing untuk kurban. Menurut mereka
hewan yang dgunakan untuk aqiqah haruslah hewan berkaki empat. Hanya segolongan
Syafi’iyah, membolehkan seekor unta atau seekor sapi diperserikatkan untuk
tujuh orang, walaupun bagian dagingnya dapat digunakan untuk tujuan lain.
Golongan
Malikiyah dan Hambaliyah, berpendapat kendatipun yang disembelih itu seekor
unta itu adalah untuk satu orang. Ibrahim At-Taimi, membolehkan kita menyembelih
seekor burung untuk aqiqah.
Abu
Ishaq, Ibnu Sa’ban dan Ibnu Hazm berpendapat hewan yang boleh dijadikan aqiqah,
hanyalah kambing, seperti yang dikemukakan oleh hadits Rasulullah:
“Untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan untuk anak
perempuan 1 ekor kambing.” (Asy-Shiddieqy,
2011: 74-76).
3. Waktu menyembelih aqiqah
Imam
Malik Ibnu Anas berpendpat, bahwa penyembelihan aqiqah dilakukan pada hari
ketujuh setelah anak tersebut dilahirkan, tidak boleh sebelumnya dan tidak
boleh sesudahnya.
Ibnu
Hazm juga tidak membolehkan kita menyembelih aqiqah sebelum hari ketujuh. Namun
jika pada hari itu kita tidak dapat melaksanakannya kita boleh menyembelihnya
di hari lain yang disanggupi. Aqiqah tidak gugur walaupun hari ketujuh itu
sudah lewat.
Ada
yang mengatakan bahwa menyembelih pada hari ketujuh hanya merupakan keutamaan.
Asy-Syafi’i berpendapat, aqiqah boleh disembelih sebelum atau sesudah hari
ketujuh, asal anak tersebut belum baligh.
An-Nawawi
dalam Al-Majmu mengatakan bahwa jika si bayi meninggal sebelum hari ketujuh,
dia juga di aqiqahkan. Malik tidak sependapat, dan tidak ensunahkan aqiqah dari
anak yatim dan dari kekayaan anak itu. Menurut Abu Abdillah Al-Wasyanji, jika
aqiqah tidak dapat dilaksanakan pada hari ketujuh, dapat dilakukan pada hari ke
empat belas, dan jika tidak juga dapat dilaksanakan pada hari ke 21.
At-Tirmidzi berkata bahwa paham inilah yang dianut oleh para ulama.
Terdapat
perselisihan pendapat para ulama menyangkut hari menyembelih aqiqah. Namun kita
harus berpegang kepada hadits yang shahih mengenai masalah ini, ialah kenyataan
bahwa Rasulullah menyembelih aqiqah untuk kedua cucunya pada hari ke 7
kelahirannya.
Hari
ketujuh dihitung dari hari kelahirannya. Malik tidak memasukkan hari kelahiran
kedalam hitungan. Aqiqah disembelih pada permulaan siang sesudah matahari
terbit.
Namun
ada juga yang berpendapat, bahwa apabila orang tua kita tidak menyembelih
aqiqah untuk kita, hendaklah aqiqah itu kita laksanakan sendiri, walaupun kita
sudah tua. Hadits yang menetapkan bahwa Rasulullah menyembelih aqiqah untuk
diri beliau sendiri sesudah usia beliau lanjut, sangat dha’if.
Dengan
demikian patikan yang digunakan untuk aqiqah, tepatlah pada hari ketujuh bayi
itu dilahirkan jika pun ditunda, maka penunndaan itu dapat dilaksanakan pada
hari ke empat belas, ataupun hari ke dua puluh satu (Asy-Shiddieqy, 2011:
76-78).
E. Pembagian Daging Aqiqah dan Memasaknya
Daging aqiqah, sebagian dimakan
sendiri oleh yang punya hajat, sebagian dihadiahkan, dan sebagian di
sedekahkan. Hal itu dilakukuan pada hari ketujuh bayi. Hal ini sesuai dengan
hadits yang disampaikan oleh Aisyah.
Jumhur ulama diantara Asy-Syafi’y,
Ahmad dan Malik, menyuruh kita memasak seluruh daging aqiqah dan diberikan
kepada fakir, sebagian kita hadiahkan kepada para tetangga kita, kendatipun dia
beragama non muslim. Dimakruhkan kita mengirim daging masih mentah.
Menyedekahkan daging yang sudah di
masak dan dikirimkan kepada fakir, lebih afdhal dari pada kita mengundang
mereka ke rumah kita. Memasak daging aqiqah sama juga dilakukan terhadap daging
Qurban untuk nazar.
Dalam pada itu jika anak kita
dilahirkan lewat pertolongan bidan hendaklah paha kanan (dari pangkal paha
sampai telapak kaki) kambing aqiqah, dihadiahkan kepada bidan dalam keadaan
belum dimasak. Hal ini juga dilakukan rasulullah dengan menyuruh fatimah
mengirimkan paha kanan kepada bidan yang membantunya dalam proses persalinan (Asy-Shiddieqy, 2011:
78-79).
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
‘ Aqiqah artinya sama dengan dzabihah, yaitu binatang yang
disembelih. Akan tetapi, dalam istilah ‘aqiqah itu yang dimaksud adalah
Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih berhubung dengan adanya
anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki, maka ‘aqiqah-nya dua ekor
kambing yang sama (mukaafiataani); dan bila anak itu
perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing.
Hukum
aqiqah adalah sunah bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak. untuk anak
laki-laki hendaklah disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan
seekor kambing saja, dan hendaklah disembelih pada hari yang ketujuh dari hari
lahirnya anak. Imam Malik Ibnu Anas berpendpat, bahwa
penyembelihan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh setelah anak tersebut
dilahirkan, tidak boleh sebelumnya dan tidak boleh sesudahnya.
Daging aqiqah, sebagian
dimakan sendiri oleh yang punya hajat, sebagian dihadiahkan, dan sebagian di
sedekahkan. Hal itu dilakukuan pada hari ketujuh bayi. Hal ini sesuai dengan
hadits yang disampaikan oleh Aisyah.
Jumhur ulama diantara
Asy-Syafi’y, Ahmad dan Malik, menyuruh kita memasak seluruh daging aqiqah dan
diberikan kepada fakir, sebagian kita hadiahkan kepada para tetangga kita,
kendatipun dia beragama non muslim. Dimakruhkan kita mengirim daging masih
mentah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, E. 2011. Hukum Qurban, Aqiqah dan
Sembelihan. bandung: Sinar Baru
Algensindo
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku. 2011. Tuntunan Qurban dan Aqiqah. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Komentar
Posting Komentar