KONSEP STATUS AL-QUR’AN (MAKHLUK/ HUDUS DAN QIDAM)
KONSEP STATUS AL-QUR’AN (MAKHLUK/ HUDUS DAN QIDAM)
(Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur)
Mata
Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu : Iwan Ahenda, M.Ag
Kelompok 12:
Desi Rachmawati
(14121110045)
Erna Erlina
(14121110049)
Ripal Ripalah Sanjawan
(14121110104)
Fakultas
Tarbiyah
Jurusan PAI-A
semester 1
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Jl.Perjuangan By Pass Cirebon Telp. (0231) 480262, 481264
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan hidayah, taufik, dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan
ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
rencana. Makalah ini kami beri judul “Konsep Status Al-Quran (Makhluk/Hudus dan Qidam)” dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimanakah sebenarnya Konsep Status Al-Quran (Makhluk/Hudus dan Qidam).
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW. Karena beliau adalah salah satu figur umat yang mampu memberikan
syafa’at kelak di hari kiamat.Selanjutnya saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada Bapak Iwan Ahenda, M.Ag selaku dosen pengampu Mata Kuliah Ilmu Kalam, yang telah membimbing
kami. Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini hingga
selesai.
Kami mohon ma’af yang sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.Saya mengharapkan
saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah selanjutnya.Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis umumnya dan khususnya bagi pembaca.
Cirebon, 7 N0vember 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………. 1
A. Rumusan Masalah……………………………………………… 1
B. Tujuan Penulis………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Quran secara Bahasa danIstilah………………….... 2
B. Konsep Status
Al-Quran sebagai Makhluk/Hudus (hadits)........ 2
C. Konsep Status
Al-Quran (Qidam/Qadim).................................. 7
BAB III PENUTUP
B. Kesimpulan ……………………………………........................ 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah pembukuan Al-Quran, kiranya tidak
menimbulkan kontroversi yang besar dikalangan para sahabat, bahkan tindakan itu
dipandang sebagai tugas mulia dan suatu kebutuhan mendesak agar al-Quran
terpelihara dari perubahan. Lebih-lebih, para sahabat yang hafal Al-Quran
lama-kelamaan kian berkurang akibat meninggal dunia, baik sebagai syuhada’ di
medan pertempuran maupun karena ajalnya tiba.
Demi terpeliharanya Al-Quran dan penyatuan bacaan
Al-Quran, dengan tegas para sahabat memutuskan untuk membukukan Al-Quran dalam
sebuah Mushaf yang abash,otoritatif dan tertutup dari perubahan. Akhirnya tugas
mulia itu melahirkan apa yang umum dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.
Namun walaupun tidak ada perdebatan sengit tentang
peralihan bahasa dan pembukuan Al-Quran, tak pelak lagi, pada sisi lain,
perdebatan itu pun terjadi pada sisi yang mungkin tidak terpikirkan pada masa
pembukuan, yaitu tentang hakikat Al-Quran, apakah Al-Quran makhluk/ huduts
(hadits/ baru), dan apakah Al-Quran Qidam (qodim).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi Al-Qur’an menurut Bahasa dan
Istilah?
2. Apa konsep status Al-Qur’an sebagai Makhluk / hudus
(hadits)?
3. Apa konsep status Al-Qur’an sebagai Qidam (Qodim)?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Al-Qur’an menurut Bahasa dan Istilah.
2. Untuk mengetahui konsep status Al-Qur’an sebagai Makhluk/ hudus (hadits).
3. Untuk mengetahui konsep status Al-Qur’an sebagai Qidam (Qodim).
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Al-Qur’an
secara Bahasa dan Istilah
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur’an sendiri yakni dalam surat Al-Qiyamah ayat 17-18. Sedangkan
menurut istilah dari kalangan pakar ushul fiqih, fiqih dan bahasa Arab: “Kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai
nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir dan yang ditulis pada mushaf,
mulai dari awal surat Al-Fatihah (1) sampai An-Nas (114).”[1]
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang sangat indah bahasanya (balaghahnya) yang
tidak memungkinkan para ahli sastra untuk menandinginya, walaupun hanya dengan
mencontoh sebuah suratnya yang paling pendek.[2]
2.
Konsep status Al-Qur’an sebagai Makhluk/ hudus (hadits)
Pendapat ini dimotori kalangan Mu’tazilah, yang umum disebut sebagai
rasionalis muslim.[3]Mengetahui
hakikat Al-Quran, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk
sehingga tidak kekal. Mereka berargumen bahwa Al-Qur’an itu sendiri tersusun dari kata-kata, dan kata-kata itu sendiri tersusun dari
huruf-huruf. [4]
Menurut Abd. Al-Jabbar, huruf hamzah umpamanya dalam kalimat al-hamd li Allah, mendahului huruf lam dan huruf lam mendahului huruf ha.
Demikian pula surat dan ayat pun ada yang terdahulu dan ada yang datang
kemudian tidaklah dapat dikatakan qadim.Ayat-ayat Al-Qur’an yang
dipergunakan oleh Mu’tazilah sebagai
dalil bagi pendapat diatas adalah:
1.
Ayat 2 surat Al-Anbiya [2
Artinya:
“Tidak datang kepada mereka suatu
ayat Al-Quran pun yang baru( diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka
mendengarnya, sedang mereka bermain-main.”
Qadi Abd Al-Jabbar mengatakan bahwa
firman Allah diatas menunjukan bahwa Al-Quran (Az-Zikr) disifati dengan baru.
2.
Ayat 9 surat Al-Hijr [15]
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnys Kami benar-benar memeliharanya.”
Ayat ini menyipati Al-Quran dengan
sesuatu yang diturunkan, menurunt Abd Al- Jabbar, mestilah Baharu. Apalagi hal
itu dihubungkan dengan pernyataan Allah wa inna lahu lahafizun ( dan kamilah
yang memeliharanya), berarti Al-Quran itu baru. Sebab bila Al-Quran sesuatu
yang Qodim tentulah tidak memerlukan pemeliharaan.
3.
Ayat 1 surat Hud
Artinya:
“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab
yang ayat-ayatnya disusun dengan rapih serta dijelaskan secara terperinci yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.”
Ayat ini, menurut Abd Al-Jabbar,
memperlihatkan pula dengan jelas bahwa Al-Quran itu baru. Keadaan Al-Quran
tesusun dari huruf-huruf serta terkumpul dalam bentuk tulisan tidak dapat
dikatakan qadim, sebab yang qadim tersusun dan terkumpul jadi satu.
Artinya:
“Allah
telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Ia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barng siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi
petunjuk baginya.”
Ayat ini menyebutkan bahwa Al-Quran itu diturun
secara berulang-ulang, merupakan berita sebaik-baiknya, dan juga dikatakan sebagai
kitab yang tertulis. Semua sifat-sifat tersebut demikian Abd Al-Jabbar,
menunjukan sifat baru bukan menunjukan sifat Qodim.
Teologi mereka
(mu’tazilah) yang bersifat rasional dan liberal itu begitu menarik bagi kaum
inteligensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan kerajaan Islam
Abbasiyah dipermulaan abad ke-9 M. Sehingga khalifah Al Ma’mun (813-833 M)
putra dari khalifah Hans Al-Rasyid (766-809 M) pada tahun 827 M.
Menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai
madzhab yang resmi dianut negara, karena telah
menjadi aliran resmi dari pemerintahan kaum Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dari pemerintahan kaum Mu’tazilah mulai bersikap
menyiarkan ajaran-ajaran mereka secara paksa. Terutama paham mereka bahwa Al-Qur’an bersifat makhluk dalam arti diciptakan dan bukan
bersifat Qadim dalam arti kekal (tidak diciptakan).[6]
Sebagai dikatakan kaum Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an yang dalam istilah teologi
disebut kalam Allah bukan Qadim / kekal, tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. Al-Nazzm memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kalam / sabda
dari huruf-huruf yang dapat didengar, suara, bersifat baru, bukan bersifat kekal dan adalah ciptaan Tuhan
inilah yang dimaksudkan kaum Mu’tazilah
dengan Al-Qur’an diciptakan dan bukan kekal.[7]
Salah seorang pemuka Mu’tazilah Baghdad
adalah Abu Musa Al-Murdar (10.
226 H). Menurut Al-Syahrastani ia dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa
Al-Qur’an tidak bersifat Qadim tetapi diciptakan Tuhan. Dan memandang orang
yang mengatakan al-Qur’an qadim menjadi kafir, karena dengan demikian orang
serupa itu telah membuat yang bersifat qadim
menjadi dua. Dengan kata lain orang yang dengan demikian, menurut
Al-Murdar telah menduakan Tuhan.[8]
Paham adanya yang qadim disamping Tuhan bagi kaum
Mu’tazilah seperti dijelaskan
sebelumnya, berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan ialah syirik. Syirik adalah dosa yang
terbesar dan tidak dapat diampuni oleh
Tuhan.
Bagi Al-Ma’mun orang yang mempunyai paham syirik tidak dapat dipakai untuk
menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh karena itu, ia mengirim
instruksi kepada para gubernurnya untuk mengadakan ujian terhadap pemuka-pemuka
dalam pemerintahan dan kemudian juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh
dalam masyarakat. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam atau yang
disebut Mihnah (Inquesition). Contoh dari surat yang mengandung instruksi itu
terdapat dalam Tarikh Al Tabari. Yang pertama sekal harus menjalani ujian ialah para hakim (Al Qudah). Instruksi itu
menjelaskan bahwa orang yang mengakui
Al-Qur’an bersifat Qadim, dan dengan demikian menjadi musyrik tidak berhak
untuk menjadi hakim.
Bukan para hakim dan pemuka-pemuka
saja yang dipaksa mengakui bahwa Al-Qur’an diciptakan (Makhluk) yang menjadi
saksi dalam perkara yang diajukan di Mahkamah juga harus menganut paham demikian. Jika tidak, kesaksiannya
batal.
Kemudian ujian serupa itu dihadapkan pula kepada pemuka-pemuka tertentu
dari masyarakat, karena yang memimpin rakyat haruslah orang yang betul-betul
menganut paham Tauhid. Ahli fiqih dan ahli hadits diwaktu itu mempunyai pengaruh besar dalam
masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya Al-Qur’an tentu
banyak dari rakyat yang mengikuti ajaran Mu’tazilah. Diantara yang diuji
terdapat Ahmad Ibnu Hanbal.[9]
Dan terjadilahi Tanya jawab jawab antaranya
dengan ulama Mu’tazilah Ishaq bin Ibrahim Gubernur Irak:
اسحق : ما تقول فى القران
احمد : هوكلام الله
اسحق : امخلوق هو ؟
احمد : هو كلام الله لا ازيد عليها
اسحق : ما معنى انه تعلى سميع بصير
احمد : هو كما وصف نفسه
اسحق : فما معناه ؟
احمد : لا اد رى هو كما وصف نفسه
Artinya:
Ishaq
bertanya : Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq : Apakah
ia makhluk?
Ahmad :
Ia adalah kalam Allah, aku
tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq :
Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ahmad :
Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq :
Apakah maksudnya?
Ahmad : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia
sifatkan kepada diri- Nya.[10]
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut
tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan.[11]
Konsep status Al-Qur’an sebagai makhluk dalam arti diciptakan atau kalam
Allah bukan Qodim / kekal akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan
bukan hanya menurut Aliran Mu’tazilah
saja, akan tetapi ada beberapa Aliran, diantaranya:
1.
Khawarij
2. Tokoh Jabbariyah:
a. Ja’d Ibn Dirham
Doktrin dan pokok Ja’d Ibn Dirham secara sama dengan pikiran Jahm
Al-Ghuraby menjelaskannya bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu,
dia baru. Seseatu yang baru itu tidak dapat disifatkan Allah. Allah tidak
mempunyai sifat sama dengan makhluk seperti berbicara, melihat, dan mendengar.[13]
b. Jaham Bin Shafwan
3. Qodariyah
Salah satu pokok ajaran Qodariyah
yaitu menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.[15]
3.
Konsep Status Al-Qur’an (Qidam / Qadim)
Pendapat ini dimotori Abu Hasan Al Asy’ary dengan mengacu pada tokoh Mazhab
Imam Hambali bahwa kalam Allah adalah sifat Tuhan.[16]Al
Asy’ary dihadapkan dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an .
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (Makhluk) sehingga tidak
qadim serta pandangan Madzhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak
diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat
bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah Qadim.
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al
Asy’ary mengatakan bahwa walaupun
Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, bunyi, semua itu tidak melekat
pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al Asy’ary
tidaklah diciptakan sebab kalau Ia diciptakan, sesuai dengan ayat.[17]
Artinya:
Jika kami menghendaki sesuatu. Kami
bersabda, “Terjadilah” maka ia pun
terjadi. (QS. An-Nahl : 40).
Untuk penciptaan itu perlu kata kun,
dan untuk terciptanya kun ini perlu pula kata kun yang lain;
begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak
berkesudahan. Dan ini tak mungkin. Oleh
karena itu Al-Quran tak mungkin diciptakan. [18]
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa
Al-Quran itu adalah kekal tidak diciptakan. Asy’ariayah berpegang teguh
pada peryataan bahwa Al-Quran itu bukan makhluk sebab segala sesuatu tercipta, setelah Allah berfirman kun maka segala sesuatupun jadi penjelasan ini mengisyaratkan bahwa
Al-Quran dalam paham mereka bukanlah yang tersusun
dari huruf dan suara tetapi dapat di balik yang tersusun dari suara itu.
[19]
Ayat-ayat Al-Quran di jadikan dalil oleh Asy’ariyah untuk menopang
pendapatnya adalah surat Ar-Rum [30] ayat
25, surat Al- A’raf [7] ayat 54, surat Yasin [36] ayat 82, surat Al-Kahfi [18] ayat 109,
dan surat Al –Mukmin [40] ayat 6.[20]
Konsep status Al-Quran qidam / qodim
bukan hanya menurut aliran
Asy’ariyah saja akan tetapi juga Aliran Maturidiyah yakni Aliran Maturidiyah
Bukhara dan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah kekal
tidak diciptakan. Maturidiyah Bukhara berpendapat,
sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, kalamullah
(Al-Qur’an) adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang
tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian,
bukanlah kalamullah secara hakikat,
tetapi disebut Al-Qur’an dalam pengertian kiasan (majaz). Maturidiyah Samarkhand mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang bersifat kekal dari
Tuhan, sifat yang berhubungan dengan dzat Tuhan dan juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat sebab
huruf dan kalimat itu diciptakan.[21]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Quran adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nab Muhammad, yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya
mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah (1) sampai
An-Nas (114). Adapun perdebatan tentang konsep
status Al-Quran adalah makhluk/ hudus, Qidam ini terjadi karena
pemikiran-pemikiran para aliran. menurut Aliran Mu’tazilah, Khawarij, Jabariah,
dan Qodariah, Mereka berpendapat
bahwasannya Al-Quran itu makhluk dalam arti
diciptakan dan bukan bersifat Qadim dalam arti kekal (tidak diciptakan). Al-Quran dikatakan Makhluk atau hadits itu adalah huruf dan suara
yang tertulis diatas kertas, hal itu memang demikian. Akan tetapi Kalam Allah
yang berdiri pada Dzat-Nya yang Qodim, tentu juga Kalam yang Qodim. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dipergunakan oleh Mu’tazilah sebagai dalil bagi pendapat
diatas adalah:
Ayat 2 surat Al-Anbiya [21], Ayat 9 surat Al-Hijr [15], Ayat 1 surat Hud, ayat 23
surat Az-Zumar.
Adapun
aliran Asy-ary dan Maturidiah berpendapat bahwasannya Al-Quran itu adalah kekal(Qodim/Qidam) tidak diciptakan.
Kalam Allah yang Qodim adalah sifat Alla, yang tidak berhuruf dan tidak
bersuara. Itu dinamakan Kalam Nafsi. Adapun yang tertulis dalam mushaf dan yang
dibaca oleh umat Islam adalah Mad-lul (bentuk yang dirupakan ) dari Kalam Allah
yang Qodim tadi. Karena itu, kalau orang yang berkeyakinan bahwa Kalam Allah
itu sifat Allah yang Qodim yang berdiri diatas Dzat-Nya yang Qodim, tentunya
Al-Quran sebagai Kalam-Nya adalah Qodim juga.
Ayat-ayat Al-Quran di jadikan
dalil oleh Asy’ariyah untuk menopang pendapatnya adalah surat Ar-Rum [30]
ayat 25, surat Al- A’raf [7] ayat
54, surat Yasin [36] ayat 82,
surat Al-Kahfi [18] ayat 109, dan surat Al –Mukmin [40] ayat 6.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd Mu’in Taib Thahir, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1966.
A. Nasir Sahlun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994.
Anwar Rosihon, ulumul Al-Quran, Bandung: Cv Pustaka Setia,
2010.
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati
IAIN-Publisher, 2011.
Nasution Harun, Teologi Islam:
aliran-aliran,sejarah analisa perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press).
Nur Abd Rahiim, Pengantar Ilmu Kalam, Surabaya: Karunia,
1986.
Wijaya Aksin, Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan {kritik atas nalar
tafsir gender}: Sleman Yogyakarta : Safrin Insania Press, 2004.
http://info-kitaku.blogspot.com/2013/05/cara-membuat-animasi-kursor-di-blog.html
[1]
Rosihon
Anwar, ulumul Al-Quran, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010. Hlm. 34
[2] Sahlun A.
Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Hlm. 9
[3] Aksin
Wijaya, Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan {kritik atas nalar tafsir gender}: Sleman
Yogyakarta : Safrin Insania Press, 2004. Hlm.22
[5]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Hlm. 172-173
[6]
Harun Nasution, Teologi Islam:
aliran-aliran,sejarah analisa perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hlm.10
[7] Ibid hlm.50
[8] Ibid hlm.52
[9] Ibid hlm.62-63
[10]
Sahlun A. Nasir. Op. Cit. hlm. 126-127
[11]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 114
[13]
Mustopa, Op. Cit. 35
[14]
Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1966. Hlm. 102
[15]Abd
Rahiim Nur, Pengantar Ilmu Kalam, Surabaya: Karunia, 1986. Hlm. 30
[16] Aksin
Wijaya, Op. Cit. hlm. 23
[17]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Op. Cit. hlm. 123
[18] Ibid.
hlm. 70
[20]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Op.Cit. hlm. 176
Komentar
Posting Komentar