Nasikh-Mansukh
NASIKH-MANSUKH
(Diajukan
untuk memenuhi tugas mandiri )
Mata
Kuliah Pengantar Studi Al-Quran
Dosen pengampu : Drs. A. Syathori, M. Ag
Erna Erlina (14121110049)
Fakultas Tarbiyah
Jurusan PAI- A semester 1
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Jl.Perjuangan By Pass Cirebon Telp. (0231)
480262, 481264
Tahun 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan inayahnya
kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani
kehidupan ini sesuai dengan ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
rencana. Makalah ini kami beri judul ”Nasikh-Mansukh” dengan tujuan untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya”Nasikh-Mansukh”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW. Karena beliau adalah salah satu figur umat yang mampu memberikan
syafa’at kelak di hari kiamat.Selanjutnya kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada Bapak Drs. A. Syathori, M.Ag selaku dosen pengampu Mata Kuliah
Pengantar Studi Al-Quran, yang telah membimbing
kami. Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini hingga
selesai.
Kami mohon ma’af yang sebesar-besarnya
apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah selanjutnya.
Cirebon, 4
Desember 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ................................................................................... 1
A.
Rumusan Masalah ............................................................................... 1
B.
Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Naskh ................................................................................ 3
B.
Rukun
dan Syarat Naskh .................................................................... 4
C.
Perbedaan
antara Naskh, Takhsish, dan Bada’ ................................... 5
D.
Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh................................................ 7
E.
Dasar-Dasar penetapan Nasikh dan Mansukh...................................... 8
F.
Bentuk-bentuk dan macam-macam Naskh dalam
Al-Quran................ 9
G.
Perbedaan Ulama mengenai Nasikh dan Mansukh............................... 14
H.
Hikmah Keberadaan Naskh.................................................................. 19
BAB III PENUTUP
B.
Kesimpulan ........................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dari
awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu
dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u
ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat
pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi
yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan
keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm
al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan
pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan
sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari
undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan
ayat lainnya.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur
historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup
tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang
menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian Naskh?
2.
Apa
rukun dan syarat Naskh?
3.
Apa
perbedaan antara Naskh, Takshsish, dan Bada’?
4.
Bagaimana
cara mengetahui Nasikh dan Mansukh?
5.
Apa Dasar-dasar
penetapan Nasikh dan Mansukh?
6.
Apa
Bentuk-bentuk dan macam-macam Naskh dalam Al-Quran?
7.
Apa
Perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat Mansukh dalam Al-Quran?
8.
Apa
Hikmah keberadaan Naskh?
C.
Tujuan masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian Naskh.
2.
Untuk
mengetahui rukun dan syarat Naskh
3.
Untuk
mengetahui perbedaan antara Naskh, Takhshish, dan Bada’.
4.
Untuk
memahami bagaimana cara mengetahui
Nasikh dan Mansukh?
5.
Untuk
mengetahui Dasar-dasar penetapan Nasikh dan Mansukh?
6.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk dan macam-macam Naskh dalam Al-Quran.
7.
Untuk
mengetahui perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat Mansukh dalam Al-Quran.
8.
Untuk
mengetahui hikmah keberadaan Naskh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Naskh
Secara lughawi, ada empat makna
Naskh yang sering digunakan ulama, yaitu Izalah (menghilangkan), tabdil
(pengugantian), tahwil ( pengubahan), dan Naql (pemindahan).
Sedangkan secara istilah , para ulama mendefinisikan Naskh, dengan redaksi yang
sedikit berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama, dengan: “rafu Al-hukm
Al-Syar’I bi Al-Khithab Al-Syar’I (menghapuskan hukum syara dengan khitab
syara pula) atau “ Raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’I” (menghapuskam
hukum syara dengan dlil syara yang lain). Istilah “ Menghapuskan” dalam
definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang
mukallaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sementara itu, Quraish Shihab
menyatakan bahwa antara ulama-ulama Mutaqaddim dan Muta’akhirin tidak
sepakat dalam memberikan pengertian Nash secara terminology (istilah). Hal itu
terlihat dari kontroversi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan adanya
Naskh dalam Al-Quran. Ulama-ulama Mutaqaddimin bahkan memperluas arti Naskh hingga
mencankup:
1.
Pembatalan
hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
2.
Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
3.
Penjelasan
susuln terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
4.
Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.
Dari definisi-definisi yang ada,
para uahli Ushul Fiqh menyatakan bahwa Naskh biasa dibenarkan bila memenuhi
kriteria berikut:
1.
Pembatalan
harus dilakukan melalui tuntutan Syara’ yang mengandung hukumdari Allah dan
Rasul-Nya disebut Naskh (yang menghapus).
2.
Yang dibatalkan adalah Syara’ yang disebut Mansukh
(yang dihapus).
3.
Nasikh
harus datang kemudian (terakhir) dari Mansukh. Dengan demikian istisna
(pengecualian ) tidak disebut Naskh.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan
dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang
mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS.
Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
Artinya:
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Al- Baqarah : 180
.” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan
dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
B.
Rukun dan Syarat Naskh
1.
Adat
naskh, adalah pernyataan yang menunjukan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
2.
Nasikh,
yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya,
nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan dia
pulalah yang menghapusnya.
3.
Mansukh,
yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.
Mansukh,
‘ann, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun Syarat-Syarat Naskh adalah:
1.
Yang
dibatalkan adalah hukum syara
2.
Pembatalan
itu datangnya dari tuntutan syara’
3.
Pembatalan
hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti
perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah
selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.
Tuntutan
yang mengandung naskh harus dating dikemudian.
Dengan
demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima Naskh, yaitu:
1.
Seluryh
khabar/ aqidah baik dalam Al-Quran maupun AS-Sunnah. Sebab, pembatalan Khabar
berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Quran dan As-Sunnah
mustahil membuat kebohongan.
2.
Hukum-hukum
yang disyariatkan secara pribadi.
C.
PERBEDAAN ANTARA NASKH, TAKHSHIS DAN BADA'
Terdapat
perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al
Ashfahanidalam memandang persoalan Naskh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam al quran. Namun dengan
tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak pernah disentuh
"pembatalan" meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1. Adanya pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang sefesifik yang datang kemudian;
2. Adanya penjelasn
susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigius;
3. Adanya penetapan
syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu
Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai Naskh, sedangkan al
Ashfahani memandangnya sebagai takhshis. Tampaknya al Ashfahani menegaskan
pendapatnya bahwa tidak ada Naskh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran
terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat
dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis,
menurutnya dapat diartikan sebagai "mengeluarkan sebagian satuan (afrad)
dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad 'amm"
Bertolak
dari pengertian Naskh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan
prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASKH
|
TAKHSHIS
|
·
Satuan
yang terdapat dalam Naskh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat
dalam Mansukh.
·
Naskh adalah menghapuskan
hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
·
Naskh
hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
·
Naskh adanya menghapuskan
hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
·
Setelah
terjadi Naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan
hukum yang tedapat dalam mansukh.
|
·
Satuan
yang tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat
dalam lafadz 'aam.
·
Takhshis adalah merupakan
hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil 'aam.
·
Takhshis dapat terjadi baik
dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
·
Takhshis tidak menghapuskan
hukum 'aam sama sekali. Hukum 'aam tetap berlaku meskipun sudah
dikhushuskan.
·
Setelah
terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada 'aam tetap
terikat oleh dalil áam.
|
Adapun
Bada', menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al
Khofa' ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam
firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 :
Artinya:
“dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka
kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu
memperolok-olokkannya”.
Arti
bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded lam yaku maujud"
(munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun
tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf,12:35:
Artinya:
“ kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda
(kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu
waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka
memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan
orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini).
Dari
kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas
antaranya dengan hakikat Naskh. Dalam bada' , timbulnya hukum
yang baru disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat hukum akan kemungkinan
humunculnya hukum baru itu. Ini tentu berbeda dengan Naskh, sebab dalam Naskh,
bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan
mansukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada
manusia.
D.
Cara
mengetahui Nasikh dan Mansuk
Setelah memahami pengertian Nasikh dan Mansukh diatas
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya.
Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Nasikh dan Mansukh
dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut:
a)
Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها
Hadis tersebut MeNaskh Hadis sebelumnya yang
menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b)
Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Naskh dan ayat
yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat
diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama
yang menetapkan hal tersebut.
c)
Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama
dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang MeNaskh: 13 tentang
keharusan bersedekah ketika menghadap rosul.
d)
Urgensitas Nasikh dan Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam
Terdapat alasan yang mendasar mengapa Nasikh dan Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
Terdapat alasan yang mendasar mengapa Nasikh dan Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
1.
Terkait status hukum Islam.
2.
Sering kali
menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam
proses istinbath Hukum.
3.
Sebagai antitesa
terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.
d. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
d. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
4.
Salah satu bukti
bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
5.
Solusi atas
kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
E. Dasar-dasar
penetapan nasikh mansukh.
Ayat
yang menjadi dasar adanya nasikh yaitu:
Artinya :
“Ayat mana saja yang kami Naskhkan,
atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS.Al-Baqarah:106).
Akan
tetapi manna’ Al-Qathtan menetapkan tiga dasar unsur untuk menegaskan bahwa
suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga
dasar itu adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas
(An-naql Al-Sharih) dari nabi atau para sahabatnya, seperti hadis: “kuntu
naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa Zuruha” (Aku (dulu) melarang kalian
berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa
ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
3. Melalui studi sejarah, mana yang
duluan turun, sehingga disebut mansukh.
F.
Bentuk-bentuk
dan macam-macam naskh dalam al-quran.
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macamyaitu:
1.
Naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas
menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misalnya ayattentang
perang (qital) pada ayat 65 surah Al-Anfal [8] yang mengharuskan satu orang
muslim melawan sepuluh kafir:
Artinya:
“ Hai
Nabi, kobarkanlah semanagat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka
dapat mengalahkan seribu kafir , sebab orang-orang kafi adalah kaum yang tidak
mengerti.” [Q.S. Al-Anfal:65].
Ayat ini
menurut jumhur ulama di- naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin
melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
Artinya:
“sekarang
Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelamahan,
maka jika diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang
(yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”[Q.S.
Al-anfal: 66].
2.
Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh
yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk
sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat
yang dating kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah
yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam
surat Al-Baqarah [2]: 180
Artinya
.
“
diwajibkan atas kamu, apabila diantara seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika a meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi
ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini
menurut pendukung teori naskh di-naskh oleh hadis la washiyyah li waris (tidak
ada wasiat bagi ahli waris).
3.
Naskh Kully, yaitu menghapus hukum yang
sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh
hari pada surat Al-Baqarah [2] ayat 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu
tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.
Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang
berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
individu, atau menghapus hukum yang bersifat mutlaq dan muqayyad. Contohnya,
hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi
pada surat An-Nur [24] ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah
empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6
dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama, membagi
naskh kepada tiga macam yaitu:
1.
Penghapusan terhadap hukum dan bacaan (tilawah)
secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca
dan tidak benar diamalkan. Misalnya sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu
hadis Aisyah r.a.
Artinya:
“ dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-Quraan) adalah sepuluh radab’at
(isapan menyusu) yang dietahui, di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang
diketahui. Setelah rasulullah saw wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca
sebagi bagian Al-Quran.”
Maksdnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap
bersaudara apabila salah seorang
diantara keduanya menyusu kepada ibusalah seorang diantara mereka sebanya
sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian di-naskh menjadi lima
isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu,
sekarang ini tidak termasuk di dalam mushaf karena baik bacaannya maupun
hukumnya telah di-naskh.
2.
Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan
bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan
musykirin kepada umat islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah
dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya
masih dapat kita temukan dalam surat Al-Kafirun [109]: 6,
Artinya:
“ untukmu agamamu, dan untukmulah, agamaku.” (Q.S Al-Kafirun: 6).
Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan
sedeka (Q.S Al-Mujadilah: 58: 12).
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih
bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12).
Ayat ini di-naskh oleh surat yang sama ayat 13:
Artinya:. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13).
3.
Penghapusan terhadap bacaanya saja, seangkan
hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam.
Mula-mula ayat raja mini terbilang ayat Al-Quran . ayat yang dinyatakan mansukh
bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
Artinya: “
jika seorang pria tua dan wanita tua berzinah, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang ayat orang tua berzina diatas diturunkan berdasarkan riwayat
Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai
ayat yang dianggap bacaannya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah
teah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
Artinya: “ seorang
pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka
perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”
Adapun
dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, Para ulama membagi Naskh menjadi 4 macam:
1.
Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis Naskh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas
kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Naskh ini bisa di.Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan
menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di
Naskh ayat 13
2.
Naskh Qur’an dengan Sunah Naskh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a.
Naskh Qur’an
dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’ jenis Naskh ini tidak
diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan
Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis manakala
sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih
bersifat dugaan (Dzan)
b.
Naskh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
Menurut Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Naskh
jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di
dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Naskh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Naskh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
3.
Naskh Sunah dengan Qur’an.
Bagi Jumhur ulama’ Naskh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas
keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan
as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم
Artinya :
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم
Artinya :
“dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa,
ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa
dan ada pula yang tidak berpuasa”.
Sunah ini di Naskh oleh firman Allah yang
terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Naskh jenis ini
tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan
beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i
adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an.
Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Naskh menunjukkan
adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui
keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
4.
Naskh Sunah dengan Sunah.
Jenis Naskh ini terdapat 4 macam, yaitu :
a.
Mutawatir dengan Mutawatir
b.
Ahad dengan Ahad
c.
Ahad dengan
Mutawatir
d.
Mutawatir dengan
Ahad.
Bagi Jumhur ulama’ dari keempat Naskh
tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari Naskh dengan kata lain dapat
diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan Ahad.
Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang
terkandung di dalamnya. Bagi Al-Qathathan,
pada dasarnya , ketentuan naskh dalam Ijma’ dan Qiyas itu tidak ada dan tidak
diperkenankan.
G. Perbedaan Ulama mengenai Nasikh dan
Mansukh
Berbeda dengan mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas,
sebagian ulama lain yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian
bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi
pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih
rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh
ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh
atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam al-Qur’an,
dilihat dari sisi nasikh-mansukh, surat-surat
al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar. Pertama, kelompok
surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah
maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat
al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat
mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat al-Qur’an yang
di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat,
kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya
ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka
berselisih pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500
ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih sedikit dari itu. Setelah
mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh
sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang
“terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, tetapi kemudian Syah
Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di
anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap
belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180 dengan an-Nisa’ (4):
11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan
al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal al-Qur’an
akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur ulama
dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh Muhammad al-Khudari
misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak kemungkinan ada
nasikh-mansukh internal al-Qur’an telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang
oleh al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Di antara
ulama Indonesia yang secara tegas menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh
sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya,
tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an oleh ayat-ayat al-Qur’an
sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan.
Masing-masing pendapat di atas memiliki sejumlah
argumentasi guna memperkuat pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau
daya nalar dan terutama dalil naqli atau periwayatan melalui penafsiran
masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau tepatnya ayat
al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat di
bawah ini:
Artinya: “Apa saja ayat yang kami
nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang
lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106).
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan
suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘sesungguhnya kamu adalah
orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”
(al-Nahl : 101).
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an
menafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan
pengertian ayat al-Qur’an, sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama
al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab
Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh
internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya
ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi
ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi
Muhammad kadang-kadang pada malam hari tapi
beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan
ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah tidak akan
mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber
dari Ibn Abbas).
Menurut al-Wahidi perihal kalam Allah dalam
ayat 106 surah al-Baqarah ini, para ahli tafsir berpendapat bahwasanya
orang-orang musyrik pernah menyindir Nabi Muhammad seraya mereka berkata dengan
sesamanya: “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Muhammad yang (pada suatu
ketika) menyuruh sahabat-sahabatnya supaya melakukan sesuatu, tetapi kemudian
setelah itu dia melarang mereka dari mengerjakannya dan memerintahkan mereka
dengan (pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini Muhammad bilang begini,
sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu) kalau kita katakan bahwa
al-Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah ucapan Muhammad yang ia
karang-karang dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang saling bertentangan
antara sebagian dengan sebagian yang lain”. Kemudian Allah menurunkan kedua
ayat tersebut.
Berlainan dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang
mengingkari kemungkinan adanya nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih
mengacu kepada korelasi ayat, dalam kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat
sebelumnya yakni ayat 105. Ayat 105 surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan ketidaksenangan
atau ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap penurunan al-Qur’an dan
pengangkatan Nabi Muhammad. Padahal, seharusnya orang-orang kafir itu tahu diri
bahwa penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad itu seperti halnya
penurunan kitab-kitab dan pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak
prerogatif yang tidak perlu dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun.
Penafsiran kata “ayatin” dalam al-Baqarah : 106 dan “ayatan” dalam al-Nahl : 101 oleh
pendukung nasikh-mansukh, menurut hemat penulis tidaklah tepat dan cenderung
dipaksakan. Bahkan lebih dari itu, Muhammad Abduh menuduhnya sebagai
periwayatan yang didustakan. Alasannya, sabab nuzul yang dikutip al-Suyuti
tidaklah kuat. Selain redaksinya tidak tegas karena menggunakan kata-kata “ruwiya”
(diriwayatkan) serta kata-kata “dalam suatu riwayat”, juga terutama berlawanan
dengan al-Qur’an surah al-Qiyamah: 16-18 dan surat al-A’la: 6 yang pada intinya
menjamin kekuatan ingatan atau hafalan Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an.
Sabab nuzul yang dikutipkan al-Wahidi, juga kurang
memiliki kehujjahan yang kuat. Selain hanya mendasarkan pendirian kepada
“asumsi” para mufassir (bukan sabab nuzul), juga karena mengesankan atau
dikesankan dua ayat di atas turun dalam waktu yang berdekatan atau malahan bersamaan.
Padahal, kedua ayat ini terdapat dalam dua surat yang berbeda, yakni surat
al-Baqarah yang tergolong ke dalam kelompok surah-surah Madaniyah, sementara
surat al-Nahl digolongkan ke dalam kelompok surah-surah Makkiyah. Benar
ilmu-ilmu al-Qur’an memberikan kemungkinan ada satu atau beberapa ayat Makkiyah
dalam surah Madaniyah atau sebaliknya; tetapi khusus tentang kedua ayat di
atas, tidak ada pendapat yang menegaskan bahwa keduanya sama-sama tergolong ke
dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah atau ayat-ayat Madaniyah.
Masih dalam kaitan ini, penafsiran kata ayatin atau
ayatan dengan ayat al-Qur’an dalam kedua ayat di atas, juga sama sekali tidak
memiliki argumentasi yang kuat. Terutama dari sudut pandang Ilmu Munasabah
dimana seperti telah dikemukakan di atas hubungan ayat 106 dan ayat 105 surah
al-Baqarah tampak dalam konteks eksternal antara kenabian Muhammad berikut
kitab suci al-Qur’an di satu pihak, dengan kenabian Musa dan Isa berikut
kitabnya masing-masing di lain pihak. Lagi pula kenyataan menunjukkan bahwa
tidak semua kata ayah dalam al-Qur’an selalu digunakan dalam konteks ayat
al-Qur’an, meskipun sebagian daripadanya memang ada yang digunakan dalam
pengertian ayat al-Qur’an.
Atas dasar ini maka penafsiran kata ayah terutama yang
terdapat dalam surat al-Baqarah: 106, tidaklah salah atau bahkan lebih tepat
jika ditafsirkan dengan ayat Taurat atau Injil yang kemudian digantikan dengan
ayat al-Qur’an. Penafsiran didasarkan pada pemahaman bahwa al-Qur’an itu
meskipun secara rinci masing-masing surat dan ayatnya memiliki
keistimewaan-keistimewaan atau kelebihan-kelebihan tertentu, namun secara umum
dan keseluruhan, masing-masing surat atau ayat al-Qur’an adalah memiliki
kedudukan atau derajat yang sama.
Berbeda dengan kita memperbandingkan al-Qur’an dengan kitab-kitab
Allah yang lain terutama Taurat dan Injil.
Dibandingkan dengan Taurat dan Injil, al-Qur’an jelas lebih baik dari keduanya
atau minimal sederajat dengan keduanya. Semua itu dapat dipahami dari konteks
al-Qur’an ketika diposisikan sebagai pembenar atau korektor terhadap
kitab-kitab Allah yang sebelumnya. Penafsiran ini jelas mudah dimengerti dan
mudah-mudahan tidak salah karena, seperti disebutkan di atas, ayat ini justru
turun dalam rangka membantah keberatan orang-orang kafir dari ahlul kitab dan
orang musyrikin yang kecewa dan sekuat tenaga menolak kenabian
Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an.
Dengan penafsiran seperti ini, mungkin akan jauh lebih bernilai guna
memahami ayat di atas, daripada harus memanfaatkan ayat ini guna membenturkan
sesama ayat al-Qur’an dengan penafsiran yang cenderung dipaksakan. Jika orang
yang memahami kata ayatin di atas dengan ayat Taurat atau ayat Injil
semata-mata penafsiran, bukankah yang menafsirkan ayat al-Qur’an juga sama-sama
penafsiran, bukan teks ayat itu sendiri yang menyatakan ayat al-Qur’an.
H. Hikmah adanya Naskh :
Adapun
hikmah dari nasikh:
a.
Memelihara Kepentingan Hamba
b.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat.
c.
Cobaan
dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab jika Naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat
tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan. Adanya Nasikh Mansukh tidak dapat dipisahkan dari
sifat nuzulnya al-Quran itu sendiri dan tujuan yang
ingin dicapainya. Nuzulnya al-Quran tidak terjadi sekaligus, tetapi berangsur.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu nasakh Mansukh adalah ilmu mengenai
pembatalan atau penghapusan, dan ilmu tentang hukum yang diangkatkan. Ilmu ini
dijadikan sebagai salah satu metode dalam menyelesaikan persoalan/permasalahan
antara dua dalil yang bertentangan, yang secara zhahir pada derajat yang
sama.
Disyaratkan berbagai hukum kepada manusia
bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat, selain tuntunan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.
Nasikh-Mansukh mensyaratkan ; 1),
Hukum yang di-mansukh adalah hukum syara’. 2), Dalil penghapusan hukum
tersebut adalah hukum syara’ yang datang lebih kemudian, yang hukumnya mansukh.
3), Hukum yang mansukh, hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu
tertentu. Adapun bentuk-bentuk dan macam-macam Naskh dalam Al-Quran yaitu Naskh
sharih, Naskh dhimmy, Naskh Kully, Naskh Juz’iy.
DAFTAR PUSTAKA
Kadar
M. Yusuf, Study Al-Quran, Jakarta: Amzah, 2009.
Anwar
Rosihon, Ulumul Al-qur’an, Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
Usman,
Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009.
Syadali
Ahmad, Ahmad Rofi’I, Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia1997
penggggen punya blog kereeeen kaya gini
BalasHapusblog ini mah masih terlalu sederhana untuk dibilang keren .
Hapusbismillah, izin copas teh
BalasHapus