Ahlussunah salaf ( Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah )
Ahlussunah
Salaf ( Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)
(Diajukan
untuk memenuhi tugas mandiri )
Mata
Kuliah Ilmu kalam
Dosen pengampu : Iwan Ahenda, Drs. A. M. Ag
Erna Erlina (14121110049)
Fakultas Tarbiyah
Jurusan PAI- A semester 1
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Jl.Perjuangan By Pass Cirebon Telp. (0231)
480262, 481264
Tahun 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
limpahan rahmat-Nya kami diberi kesehatan walafiat. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang menjadi tugas mata kuliah Ilmu Kalam. Makalah yang
berjudul “Ahlussunah Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)”. Selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan juga untuk memberikan
pengetahuan bagi kami tentang “Ahlussunah Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn
Taimiyah)”.
Selesainya makalah ini tidak lepas dari kerjasama
berbagai pihak, baik itu dari dosen pengampu ataupun pihak-pihak lainnya yang
turut serta membantu terselesaikannya makalah ini. Kami mengucapkan terimakasih
karena mereka semualah kami mempunyai motivasi dalam menyelesaikan tugas
makalah ini. gambaran
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan
memberi pengetahuan dan mengenal “Ahlussunah Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn
Taimiyah)”. Dalam makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami
nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para
pembaca pada umumnya.
Cirebon, 5 Desember 2012
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ........................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C.
Tujuan Masalah ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian aliran
Salaf ..................................................................................... 2
B. Riwayat hidup dan
pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal .................... 3
C. Riwayat hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah ........................................ 6
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 11
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aliran
mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari
Bani Abbas, pada masa itu aliran ini mengkampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an
adalah mahluk”. Semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran
tersebut, namun ada salah satu ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat
tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau
kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal
kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran salaf.
Aliran
salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad
ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh
imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan
reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
diatas dapat dirumuskan dalam beberapa masalah diantaranya:
1.
Apa
yang dimaksud aliran salaf?
2.
Bagaimana
riwayat hidup dan pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal?
3.
Bagaimana
riwayat hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui aliran Salaf
2.
Untuk mengetahui riwayat hidup dan pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn
Hanbal.
3.
Untuuk mengetahui riwayat hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. AHLSSUNAH
SALAF
Berkembangnya dakwah Salafiyah dikalangan
masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan ummat di bawah
tuntunan Rasulullah SAW adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Maka banyak
definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi Salaf .
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad , Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’
tabi’in,para pemuka abad ke-3 dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang
terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula
ulama-ulama Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Menurut
As-Syahrastani, ulama Salaf adalah yang tidak menggunakan Ta’wil (dalam
menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih.
Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan
Salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari
sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang
menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[1]
Aliran Salaf terdiri dari orang-orang
Hanbaliah yang muncul pada abad keempat HIjrah dengan mempertalikan dirinya
dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal, yang dipandang oleh mereka
telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama Salaf . karena
pendapat ulam Salaf ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang Hanabilah
menamakan dirinya “ aliran SAlaf”.
Antara golongan Hanabilah tersebut dengan
aliran Asy’ariah sering-sering terjadi pertentangan, baik yang bersifat
phiysik, karena di mana terdapat aliran Asy’ariah yang kuat, maka di situ pula
terdapat orang-orang Hanabilah. Masing-masing mengaku bahwa dirinya itu yang
berhak mewakili ulama Salaf. [2]
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan
Salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi
gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum
akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali di jerusallem dan Damaskus. Di
damaskus, Kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengingsi dari Irak
yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat
satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah adalah seorang ulama
besar penganut Imam Hanbali yang Ketat.
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik
ulama salaf atau Salafiyah sebagai berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat
(naql) dari pada dirayah ( aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama
( ushuludin )dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din),
mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-KItab dan Sunnah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa
perenungan lebih lanjut ( tentang Dzat-Nya). Dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka memahami ayat-ayat
Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk
menakwilkannya.
Apabila melihat karakteristik yang
dikemukakan Ibrahim Madzkur diatas, tokoh-tokoh berikut ini dapat diketegorikan
sebagai ulma salaf, yaitu: Abdullah Bin Abbas (68 H), Abdullah Bin Umar (74 H),
Umar Bin Abdul Aziz (101 H), Az-Zuhri 124), Ja’far Ash-Shidiq (148 H),dan para
Imam Mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad Bin Hambal).
Menurut Harun Nasution, secara
kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad Bin Hambal. Lalu, ajarannya
dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad Bin
Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis. Di
Indonesia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh
gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan- gerakan
lainya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama Salaf, tetapi
teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika.
Sementara itu, para ulama yang menyatakan pemikiran dalam membicarakan masalah
teologi (ketuhanan).
Dibawah ini dijelaskan beberapa ulama Salaf
dengan beberapa pemikirannya, terutama yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan kalam.[3]
B. RIWAYAT
HIDUP DAN PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBALI
1. Riwayat
singkat hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di bagdad tahun 164/780 M, dan
meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang
anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali
karena merupakan pendiri Mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti
Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya
bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn
Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin Ibn Syaiban, Ibn Dahal
Ibn Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn Asad bn Rabi Al-Hadits Ibn Nizar.
Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya
Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih
remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada
usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada
ulama-ulama terkenal di Khulafah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara
guru-gurunya adalah Hammad Ibn Khalid, Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn
Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktamar Ibn Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn
Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq Ibn Humam,
dan Musa Ibn Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih,
Hadits, tafsir, kalam, ushul, dan Bahasa Arab.[4]
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahid.
Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar di malam hari. Ia juga
dikenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid
membagi-bagikan beberapa keeping emas kepada para ulama hadis, yang telah
menjadi kebiasaan para Khalifah masa itu.
Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh Abdul Razaq mengambil
segenggam dinar dari kantongnya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru
Ibn Hanbal mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika
khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban Mihnah
(inquistition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk. Akibatnya,
beberapa kali ia harus dipenjara. Nasib serupa dialaminya pada masapemerintahan
pengganti Al-Ma’mun, yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah
Al-Mutawakil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia
memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn
Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah
Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal
bin Ishaq ASy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullahh. Kedua orang yang disebutkan
terakhir adalah putra Ibn Hanbal.
Bukunya yang paling utama ialah al-Musnad
yang membuktikan keluasan pengetahuan dan penguasaannya atas ilmu-ilmu agama
Islam. Buku tersebut terdiri atas tiga piluh ribu hdis yang disandarkan kepada
lebih dari tujuh ratus orang sahabat, diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari
tujuh ribu ratus hadis. Buku ini dan buku lainnya telah membantu menempatkan
hadis pada tempat yang proposional, sebagai salah satu sumber Fikih Islam.[5]
2. Pemikiran
Teori Ibn Hanbal
a. Tentang
ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibn Hanbal
lebih suka menerapkan pendekatan lafdzy (tekstual) dari pada pendekatan Ta’wil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat Mutsyabihat. Hal
itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat :
Artinya: “ (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah,
Yang bersemayam diatas Arsy.”(Q.S. Thaha [20]:5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal
menjawab:
إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا
شَآءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya: “istawa diatas Arasy terserah pada
Allah dan bagaimana saja Dia khendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun
yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul
(Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan
di akhirat), dan Hadits tentang telapak kaki TUhan, Ibn Hanbal menjawab:
Artinya: “ kita mengimani dan membenarkannya,
tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn
Hanbal bersikap menyerahkan (Tafwid) makna-makna ayat dan Hadits
mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mensucikan-Nya dari keserupaan
dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b. Tentang
setatus Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi
Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentag
status Al-Quran, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru)
ataukah tidak dicipakan yang karenanya Qadim? Faham yang diakui oleh
pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun,
Al-Mu’tasim, dan Al-Wtsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak
bersifat Qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya Qadim disamping Tuhan,
berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar
yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham
tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus Mihnah oleh
aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Quran dapat dilihat dari
dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubrernur Irak: [6]
Ishaq bertanya : Bagaimana pendapatmu
tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq : Apakah ia makhluk?
Ahmad : Ia
adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar
dan Maha Melihat?
Ahmad :
Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq :
Apakah maksudnya?
Ahmad : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia
sifatkan kepada diri- Nya.[7]
Ibn Hanbal,
berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status
Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola
pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada
Allah dan Rasul-Nya. [8]
Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah
perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain
iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan
perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemakiatan. [9]
C.
RIWAYAT
HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH
1. Riwayat singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin
Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim
Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah
dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar
melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia
mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama
Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan
perjalanan haji moyangnya itu.[10]
Ibnu
Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun
661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun
729 H. kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam,
dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu
Ahmad Abdul Halim Bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh,
Khatib dan Hakim di kotanya. Dikatan oleh Ibrahim Madkur bahwa Ibn Taimiyah
merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada
akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta
seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai
seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih,
teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Ia telah
mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang
Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritiknya ditunjukan pula kepada kelompok-kelompok
agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya. Berulang kali Ibn
Taimiyah masuk ke penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama
sezamannya.
Ibn
taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya
masyarakat untuk memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara
resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati
terhadap kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan
pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan
oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik,
antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo
kemudian dipenjara.
Masa
hidup Ibn Taimiyah bebarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami
disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya
terjadi lima tahun setelah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan.
Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyakan
tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.[11]
2. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim
Madzkur, adalah sebagai berikut :
a.
Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan
Al-Hadits)
b.
Tidak
memberikan ruang gerak kepada akal
c.
Berpendapat
bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d.
Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi
saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang
mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika
kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang
tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai
pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat baha pengakuan Ibn Taimiyah
sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah
tentang sifat-sifat Allah :
a.
Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah
yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud
adalah:
1.
Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul
lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
2.
Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat,
sama’, bashar dan kalam.
3.
Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran
dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti
keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah
turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak;
wajah, tangan, dan mata Allah.
4.
Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan
(di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan
lain-lain.
b.
Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang
Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
c.
Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut
dengan:
1.
Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak
dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
2.
Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri
ta’thil)
3.
Tidak
mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
4.
Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam
pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
5.
Tidak
menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya
(min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).[13]
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak
menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau
hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya
dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah
keterpaksaan dan iktiar manusia, yaitu
1.
Allah
pencipta segala sesuatu;
2.
Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan
mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung
jawab atas perbuatannya.[14]
3.
Allah
meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah
mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.
Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang
mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode
rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis
manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[15]
Menurut suatu sumber, bahwa Ibnu
taimiyah memiliki karangan lebih dari 300 kitab, meliputi masalah tafsir, fiqh,
retorika (jadal), fatwa- fatwa yang merupakan kumpulan jawaban atas pertanyaan
masyarakat. Dia juga melakukan kritikan pedas terhadap berbagai masalah,
terutama tentang tasawuf, filsafat, ziarah kubur, tawassul, dan sebagainya.
Diantara karangan-karangannya, antara lain:
a. Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li
Shahih al-Manqul
b. Al-jawab al-Shahih Liman Baddala
Dina al- Masih
c. Al-Rasail Wa al-Masail
d. Al-Iman
e. Al-Istiqamah
f. Kitab al-Tauhid
g. Naqd al-Mantiq[16]
Menurut Ibn Taimiyah, umat Islam hanya satu
umat; tidak ada umat lain. Umat ialah sebuah wadah anggota yang memiliki tujuan
yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadits, yaitu mewujudkan kehendak Allah
swt. Anggota umat Islam harus bekerja sama dengan yang lainnya untuk melakukan
kebaikan dan menjauhi kejahatan. Mereka harus menjadikan kerja sama sebagai
dasar bagi perbuatan yang dilakukan bersama-sama.[17]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat diambil
beberapa kesimpulan diantaranya adalah:
1.
Salaf adalah uluma-ulama
shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Atau golongan yang tidak
menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak
mempunyai faham tasybih (antropomorphisme). Diantara tokoh ulama salaf
adalah Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah.
2.
Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780
M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Diantara pemikiran teologi Ibnu Hanbal
adalah dalam menanggapi ayat mutasyabihat ia lebih suka menggunakan
pendekatan lafdzi (tekstual) daripada ta’wil dan ia tidak mau mengatakan bahwa
Quran itu diciptakan.
3.
Ibnu Taimiyah mempunyai nama lengkap Ahmad Taqiyudin
Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim, ia lahir di Harran pada
hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada
malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729
DAFTAR PUSTAKA
Abbad
Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.
Amin Husayn Ahmad, Seratus Tokoh
Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
A.
Nasir Sahilun. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers.
2010.
fauzi
Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press,
Hanafi,
Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.
Rozak
Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Mustopa,
Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011.
[1]
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011. Hlm.
53
[2]
Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995. Hlm. 138
[3] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2011. Hlm. 109-110
[4]
Mustopa, Op. Cit. hlm. 54
[5]
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2000. Hlm. 83
[6]
Abdul rozak, Rosihon Anwar, Op. Cit. Hlm. 111-114
[7]
Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers.
2010. Hlm. 126-127
[8]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 114
[9]
Ahmad fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press, hlm. 99
[10]
Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.
1987. Hlm. 261
[11]
Abdul rozak, Rosihon Anwar, OP.Cit. hlm. 115
[12]
Mustopa, Op. Cit. Hlm. 56
[13]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 116-117
[14]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 116-117
[15] Mustopa, OP. Cit, hlm. 58
[16]
Sahilun A. Nasir, Op. Cit. hlm. 281
[17]
Husayn Ahmad Amin. Op.Cit. Hlm. 230
Komentar
Posting Komentar